Fund
rising di Sektor Pangan
Posman
Sibuea ; Guru Besar Tetap Jurusan Teknologi Hasil
Pertanian Unika Santo Thomas SU Medan, Direktur dan Pendiri Center for
National Food Security Research
|
MEDIA
INDONESIA, 26 Februari 2014
TERUNGKAPNYA praktik mafia
pangan yang mengimpor beras ilegal, beberapa waktu lalu, mengindikasikan
pemerintah belum serius membangun kedaulatan pangan seperti yang diamanatkan
UU No 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Kedaulatan pangan disebutkan sebagai
kemandirian untuk menentukan kebijakan pangan sesuai dengan potensi sumber
daya lokal.
Kedaulatan pangan kini
tercederai dan semakin jauh dari jangkauan bangsa Indonesia yang dikenal
sebagai negara agraris dengan masuknya beras impor asal Vietnam. Pemerintah
selama ini selalu `bernyanyi' tentang keberhasilan program pembangunan
pertanian pangan dengan produksi beras yang meningkat setiap tahun. Bahkan produksi
gabah kering giling (GKG) dipacu ke angka 76,57 juta ton pada 2014 untuk
pencapaian surplus 10 juta ton beras. Peningkatan itu terkesan sebatas wacana
politik kampanye jelang Pemilu 2014 sebab pasar tetap digelontori beras
impor.
Pemerintah yang selalu
menempatkan politik perberasan menjadi isu yang seksi, tetap memunculkan
pertanyaan klasik yang belum dijawab, mau dibawa ke mana kedaulatan pangan?
Jika merujuk kepada UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, tidak
mengidentikkan pangan hanya pada beras. Pangan diartikan segala sesuatu yang
berasal dari sumber hayati yang diperuntukkan makanan manusia. Konsumsi beras
di Indonesia mendekati angka 140 kg per kapita per tahun, mengindikasikan
sistem pola konsumsi pangan masyarakat belum benar.
Harga
murah
Sektor pertanian selama ini
selalu diposisikan untuk menyediakan beras dengan harga murah untuk
mengamankan variabel-variabel makro (inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan
kemiskinan). Sektor pertanian juga dituntut mendukung sektor industri dengan
menyediakan bahan baku murah bagi para pekerja di kota. Sementara itu,
keseriusan pemerintah untuk membangun pertanian pangan yang berdaya saing
tinggi untuk mengawal kedaulatan pangan semakin lama kian melemah.
Revitalisasi pertanian yang digulirkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada
2005 untuk menciptakan kemandirian pangan yang kuat dan meningkatkan
kesejahteraan petani, kini roh dan semangatnya terasa kian menjauh.
Sebaliknya pemerintah
negara-negara maju amat melindungi petani mereka. Mereka menyadari persoalan
kebutuhan dasar itu tidak boleh bergantung pada negara lain sehingga sektor
pertanian mereka disubsidi dalam jumlah luar biasa besar untuk meningkatkan
produksi pangan mereka--dalam arti luas--dan terjadi surplus produksi.
Kelebihan
pangan itu memungkinkan mereka menjual di bawah harga dasar ke negara-negara
berkembang. Itulah yang mengganggu pasar. Namun, yang membuat para pengamat
ketahanan pangan di negeri ini takjub ialah produksi beras menurut versi
pemerintah selalu di atas kebutuhan konsumsi dan surplus lagi. Seperti halnya
produksi gabah 2013 yang mencapai 70,87 juta ton GKG, meningkat sebesar 2,62%
jika dibandingkan dengan tahun produksi 2012. Peningkatan produksi yang
signifikan itu seakan abai terhadap sejumlah kendala yang menghambat peningkatan
produksi beras. Harga pupuk yang kian mahal, meningkatnya laju konversi lahan
pertanian, dan buruknya penyediaan benih unggul sudah pasti bermuara pada
produktivitas padi yang kian melandai.
Lahan pertanian pangan kian
menyempit dengan laju tahunan konversi lahan yang mencapai rata-rata sekitar
100 ribu hektare (ha). Tanpa diikuti pencetakan sawah baru di luar Pulau
Jawa, bagaimana mungkin mengharapkan peningkatan produksi padi yang
signifikan? Upaya pemerintah kabupaten untuk meningkatkan pendapatan asli
daerah di tengah hiruk pikuk pelaksanaan otonomi daerah menetaskan pencapaian
kedaulatan pangan semakin kehilangan arah. Lahan sawah irigasi yang subur
kini beralih fungsi menjadi kawasan nonpertanian pangan. Pencapaian surplus
10 juta ton beras di 2014 semakin jauh dari harapan.
Berpusat
pada beras
Secara gradual produksi
beras Indonesia selama beberapa tahun terakhir memang meningkat, walau tidak
mampu menutup keran impor. Jumlah penduduk Indonesia yang sudah mendekati 250
juta jiwa mengindikasikan pertumbuhan penduduk sudah beradu cepat dengan
produksi pangan yang secara alamiah bergerak melambat. Konsekuensi logisnya
keran impor beras akan selalu dibuka. Implikasinya petani semakin susah
karena kebijakan politik impor itu memicu pemiskinan petani dan mengganggu
mekanisme pasar.
Pola konsumsi masyarakat
yang masih berpusat pada beras memaksa pemerintah menutup defisit beras
dengan membuka keran impor yang justru memukul harga beras produk domestik.
Petani yang sudah lama menjadi objek pembangunan kembali mengalami hidup di
bawah bayang-bayang kemelaratan. Mereka bahkan semakin terpuruk dalam
kesengsaraan karena terus rugi setiap siklus tanam.
Jika angka produksi GKG
2013 bisa dipercaya sebanyak 70,87 juta ton, artinya kebutuhan konsumsi
sebesar 34 juta ton beras sudah mencukupi. Bahkan Indonesia surplus beras
yang bisa digunakan sebagai stok nasional di gudang Bulog. Lantas mengapa di
2013 pemerintah masih mengimpor beras? Impor terjadi akibat gurihnya rente
yang dinikmati para importir yang pada gilirannya memukul petani kita.
Pemerintah sepatutnya melarang sementara impor beras untuk mencegah anjloknya
harga bahan makanan pokok ini. Sudah bukan rahasia lagi, urusan logistik
beras yang dipenuhi dengan cara mengimpor menjadi lahan empuk untuk meraup
uang (fund rising) oleh suatu rezim
yang berkuasa. Indonesia sudah lama masuk perangkap pangan impor karena
perilaku semacam ini. Ditambah dengan kesepakatan yang menguntungkan m antara
pembeli dan penjual, `tradisi impor' itu menjadi seakan legal sebagai pilihan
yang tepat daripada memproduksi dari dalam negeri.
Terciptalah lingkaran setan
penyediaan beras nasional. Impor dihentikan maka defisit beras otomatis
terjadi. Jika impor beras dilakukan, dapat membunuh hidup dan kehidupan
petani kecil, yang pada gilirannya mendorong stagnannya proses produksi
perberasan dalam negeri. Namun, yang pasti, jika pemerintah masih tetap
mempertahankan kebijakan lama mengimpor beras dalam jumlah besar, pengaruh
jangka panjangnya bak menyimpan bom waktu. Patut disadari karakteristik pasar
beras global sangat tipis. Volume beras yang diperdagangkan hanya sekitar 4%
dari total produksi global. Dengan jumlah penduduk besar--keempat terbesar
setelah China, India dan AS--dan sekitar 60% dari mereka membelanjakan
pendapatannya sejumlah 25% untuk beras, sangatlah berbahaya jika Indonesia
mengandalkan pasokan beras dari pasar internasional.
Pemerintah harus mengakhiri
politik beras guna mengatasi kemiskinan. Dengan mengatur tata niaga beras
sehingga harganya tetap rendah, pemerintah sesungguhnya menekan petani secara
tidak adil. Meski para pemimpin silih berganti yang menjanjikan pembangunan
pertanian dengan berbagai istilah dan program, masalah beras tidak ada
akhirnya. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah melontarkan gagasan revitalisasi
pertanian. Namun, sampai sekarang belum terlihat jelas di bidang apakah
sektor pertanian yang sedang dan telah direvitalisasi yang mampu mengatrol
kesejahteraan petani.
Sudah saatnya politik beras
murah diakhiri dengan mendorong pembangunan pertanian yang berkelanjutan
seraya memperluas diversifikasi produk pangan untuk mengawal penguatan
kedaulatan pangan guna memutus mata rantai beras impor. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar