Menggugat
Pembonsaian KPK
Pangki
T Hidayat ; Peneliti di Bulaksumur Empat, Yogyakarta
|
KORAN
JAKARTA, 27 Februari 2014
Saat
ini, fokus masyarakat seharusnya diarahkan ke DPR karena tengah berlangsung
upaya-upaya mengerdilkan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam
acara yang disebut revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang dilakukan Komisi III DPR. Ini hanyalah
akal-akalan mengerem langkah agresif KPK memberantas korupsi.
Meskipun
argumen Komisi III demi memperbaiki kualitas hukum, arah perbaikan malah
menggerogoti kewenangan lembaga yang paling dipercaya masyarakat saat ini,
KPK. Maklum, banyak anggota DPR, DPRD, dan lembaga lain yang berhasil diseret
KPK ke meja hijau. Tak heran bila masyarakat melihat revisi sesuatu yang
tidak mendesak dipandang sebagai langkah balas dendam.
Masa
kerja kurang dari 3 bulan, revisi KUHAP dan KUHP jelas dipaksakan. Dengan waktu
yang sedemikian sempit dan dalam kondisi persiapan Pemilu 2014, pembahasan
revisi KUHAP dan KUHP jelas tidak akan maksimal karena banyaknya masalah
substansial dan kompleks di dalam KUHAP dan KUHP itu sendiri.
Artinya,
diperlukan upaya serius dengan waktu longgar supaya revisi memuaskan.
Tidak
ada alasan yang urgen sehingga tiba-tiba DPR dan pemerintah merevisi
ketentuan tersebut. Masih banyak agenda perampungan rancangan undang-undang
yang belum dikerjakan, akan tetapi mereka tampak bersemangat empat lima untuk
mengubah KUHAP dan KUHP.
Dalam
draf yang diserahkan Kementerian Hukum dan HAM kepada Komisi Hukum DPR pada
tanggal 6 Maret 2013 tersebut, harus diakui bahwa secara implisit isinya
mengarah pada pelemahan wewenang KPK. Misalnya saja, KPK tidak bisa mecekal,
menyadap, memblokir rekening bank, atau operasi tangkap tangan.
Yang
paling aneh, penyadapan atau penyitaan harus izin hakim. KUHAP memang tidak
serta-merta hanya membahas mengenai KPK, namun imbas revisi membonsai
wewenang KPK dalam menangani kasus-kasus korupsi.
KPK
ibarat tokoh antagonis bagi politikus dan pemegang kekuasaan lainnya. Namun,
di mata rakyat jelas berbeda 180 derajat. KPK merupakan dewa penyelamat bagi
rakyat. Hal ini tak lain dan tak bukan karena rakyat biasa tak akan tersentuh
KPK sebab rakyat biasa tidak memunyai alasan dan kemampuan korupsi.
Ibaratnya
sekarang ini, boleh dikata, rakyat tinggal bergantung pada KPK untuk
memberantas korupsi. Langkah-langkah KPK jelas, persisten, dan berbuah.
Kepada siapa lagi masyarakat akan memercayakan penegakan hukum terkait
korupsi, selain ke KPK? Lembaga lain sudah jauh dari kepercayaan masyarakat.
Pada
hakikatnya, revisi adalah memperbaiki agar kualitas hukum dalam KUHAP dan
KUHP lebih relevan dan kontekstual. Pada masa ini, revisi KUHAP dan KUHP
seyogianya mampu mengakomodasi pemberantasan korupsi yang semakin mendarah
daging.
Dengan
kata lain, revisi seharusnya memberi kekuatan hukum maksimal bagi lembaga
penegak hukum untuk memberantas korupsi. Namun, nalar politik jelas berbeda
dengan nalar penegak hukum seperti KPK. Tanpa melebih-lebihkan KPK, faktanya
rakyat memang semakin apatis terhadap para politikus. Antitesis dari
perbuatan masa lalu serta tindakan korupsi yang mayoritas dilakukan para
polikus inilah yang kemudian membuat idiom buruk polikus.
Kembali
pada konteks revisi KUHAP dan KUHP, nalar politik terkait lembaga penegak
hukum harus dibenahi lebih dulu. Perlu persamaan visi dan misi antara pembuat
undang-undang dan lembaga penegak hukum, khususnya KPK.
Namun,
ini jelas sulit terwujud karena dengan memberi kewenangan yang leluasa pada
KPK, karier politikus yang terjerat korupsi bisa saja "terbunuh".
Sejak KPK berdiri tahun 2004 hingga kini sudah puluhan anggota DPR masuk bui.
Fenomena seperti itulah yang kemudian membuat politikus cenderung memusuhi
KPK.
Kontrol Publik
Revisi
KUHAP dan KUHP tidak boleh mengurangi kewenangan KPK, kepolisian, dan
kejaksaan. Sepatutnya para penggodok undang-undang bertindak sebagai
negarawan. Perilaku korupsi jelas tidak bisa ditoleransi.
Maka,
DPR seyogianya bersinergi dengan semua lembaga penegak hukum yang perlu
diperbaiki dalam KUHAP dan KUHP. Maka, sayang KPK sebagai salah satu lembaga
hukum tidak dilibatkan.
Masyarakat
dapat menilai kejujuran revisi. Jika hasilnya makin memperkuat KPK jelas itu
sebuah perbaikan yang berguna dan jujur.
Akan
tetapi bila buahnya justru memberangus dan membatasi wewenang KPK, jelas itu
sebuah ketidakjujuran revisi dan tidak berguna.
Saat
ini, lembaga yang harus diperkuat terutama adalah KPK sebab begitu masif
tindakan korupsi. Saat ini, korupsi sudah menjadi gurita yang merasuki
seluruh lembaga negara dari tingkat paling rendah hingga tertinggi, seperti
Mahkamah Konstitusi. Siapa lagi yang dapat diandalkan jika bukan KPK? Lembaga
lain sudah tidak dipercaya masyarakat.
Publik
hendaknya mengawal revisi KUHAP dan KUHP dengan cermat. Aroma semangat
kodifikasi hukum, yakni keinginan menyatukan korupsi dengan pidana umum yang
menyeruak ke permukaan, harus benar-benar menjadi perhatian serius
masyarakat.
Jika
hal itu terjadi, maka pengadilan tipikor akan dihapus, dan vonis bebas di
tingkat peradilan pertama tidak dapat dikasasi. Ini jelas merupakan angin
segar para koruptor dan kabar buruk penegakan hukum. Dengan keadaan yang
demikian, maka kesejahteraan rakyat sebagaimana diamanatkan Pembukaan UUD
1945 semakin jauh panggang dari api.
Masyarakat
sepatutnya aktif memantau perkembangan revisi KUHAP dan KUHP agar wewenang
lembaga penegak hukum, khususnya KPK, bisa terpenuhi, bukannya teramputasi.
Peran media massa sangat diharapkan dalam mengawal dan mengawasi revisi
tersebut. Sebab mengharapkan kejujuran dewan jelas sulit. Terlalu banyak
kepentingan yang melingkungi upaya-upaya revisi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar