Selasa, 25 Februari 2014

Moratorium Impor dan Statistik Beras

Moratorium Impor dan Statistik Beras

Khudori  ;   Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat, Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Penulis Buku Ironi Negeri Beras (2008)
KORAN SINDO,  25 Februari 2014
                                                                                                                      
                                                                                         
                                                                                                                       
Silang sengkarut impor beras asal Vietnam masih belum jelas ujung pangkalnya. Bagaimana hasil akhir juga belum bisa ditebak.

Di tengah ketidakpastian itu, pemerintah membuat keputusan penting: moratorium impor beras. Moratorium diberlakukan hingga tata kelola beras tuntas dibenahi. Tentu tujuannya agar kisruh impor beras tidak kembali berulang.Keputusan pemerintahpatutdiapresiasi. Namun, dalam masa moratorium tidak cukup hanya membenahi tata kelola impor/ekspor beras. Yang tidak kalah mendesak dan penting adalah membenahi data-data tentang beras, terutama data produksi padi/beras. Pembenahan data beras, terutama produksi, merupakan keniscayaan.

Karena dari data produksi inilah keputusan impor/ ekspor diambil. Kita tidak mungkin membiarkan silang sengkarut data terus terjadi. Karena dari data itulah keputusan- keputusan penting dibuat. Silang sengkarut data sebenarnya bukan hal baru. Sudah begitu lama kita abai dan ceroboh dengan angka-angka. Produksi beras setiap tahun dilaporkan selalu naik. Kita menganggap sudah surplus beras dengan cara otak-atik data. Tapi klaim itu di masa lalu tidak pernah terbukti. Tiap tahun kita impor beras.

Wajar jika impor selalu menimbulkan resistensi, pro-kontra, dan penentangan karena basis data batu pijak impor tidak kukuh. Produksi padi tahun 2013 adalah 70,87 juta ton gabah atau setara 40,39 juta ton beras (dengan angka konversi 0,57). Jika konsumsi beras 113,5 kg/kapita, total konsumsi 250 juta penduduk: 28,25 juta ton. Jadi, sudah surplus lebih 10 juta ton beras. Artinya, target surplus 10 juta ton beras tahun 2014 sudah tercapai. Bahkan, surplus 10 juta ton sudah tercapai sejak 2010.

Jika memakai angka konsumsi yang tinggi, 139 kg/kapita, konsumsi total hanya 34,75 juta ton beras. Jadi, masih surplus sekitar 5,5 juta ton beras. Kenyataannya, tiap tahun ada impor beras. Rata-rata impor rentang 2009–2011 sekitar 2 juta ton per tahun. Bahkan, tahun 2011 jumlahnya 2,7 juta ton beras. Tahun 2012 jumlah impor beras 1,9 juta ton dan tahun 2013 sebesar 0,4 juta ton. Kalau benar surplus, mestinya tidak impor tetapi ekspor. Mengapa ini terjadi? Ada dua kemungkinan. Pertama, meraih rente ekonomi yang besar dengan cara mudah lewat lisensi impor.

Sampai sekarang harga beras domestik masih lebih tinggi dari beras impor. Pada 2010, selisih harga beras lokal dan impor mencapai Rp1.000 per kg. Dengan izin impor beras saat itu 1,95 juta ton ada keuntungan Rp1,95 triliun (kurs Rp10.000 per dolar AS)? Pertanyaannya, ke mana larinya uang itu? Siapa saja yang menikmati? Benarkah ada yang lari ke politikus dan birokrat (selain dinikmati pengusaha)? Kemungkinan ini terjadi bukan hanya karena keuntungan impor besar, tapi menggaruk fee dari lisensi impor tidak banyak mata yang memelototi.

Apalagi, tidak banyak juga pihak yang mengerti soal ekspor-impor ini. Sebaliknya, apabila menggaruk dana dari APBN banyak pihak yang mengawasi. Bukan hanya DPR, BPK dan LSM/warga, melainkan juga KPK. Kedua, data padi/beras tidak benar. Data statistik produksi padi yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) saat ini tidak layak dijadikan landasan (Suwito, 2007). Statistik produksi padi dihasilkan dari perkalian dua komponen utama: luas panen padi kali rata-rata hasil per hektare.

Sistem penghitungan itu kini disebut “angka BPS”, hasil kompromi dua sistem berbeda: sistem yang digunakan Kementerian Pertanian dan BPS. Kompromi dua sistem perhitungan sejak 1973 itu nyaris tanpa perbaikan berarti. Data produktivitas dikumpulkan melalui survei statistik pada petak sawah yang akan dipanen dengan metode probability sampling. Data dihasilkan dari ubinan ukuran 2,5x2,5 meter yang dikonversi ke satuan hektare. Hasil panen pada ubinan langsung ditimbang.

Jadi, diterapkan sistem objective measurement. Separuh dari sampel ubinan ini dikerjakan mantri statistik BPS, dan separuh sisanya dikerjakan mantri pertanian. Jadi, untuk memperoleh data yield rate, BPS hanya mengerjakan separuh dari seluruh sampel. Luas panen sepenuhnya dikumpulkan mantri tani dengan cara penaksiran melalui sistem blok pengairan, penggunaan bibit, dan pandangan mata (eye estimate) di sawah. Pengumpulan data luas panen ini tidak berdasarkan survei statistik, tidak ada objective measurement di lapangan.

Dalam teori statistik data ini, termasukcatatanadministrasi sehingga akurasinya sulit diuji secara statistik. Data luas panen inilah biang overestimate data produksi padi saat ini. Menurut berbagai studi BPS (Sastrotaruno dan Maksum, 2002), besarnya overestimate mencapai 17%. Artinya, jika tahun 2013 menurut BPS produksi beras 40,39 juta ton, masih harus dikurangi 6,87 juta ton beras. Itu berarti bukan surplus (dengan konsumsi per kapita 139 kg beras), kita minus beras 1,37 juta ton beras.

Laporan produksi berlebih itu terasa masuk akal. Konversi lahan pertanian untuk real estate, kawasan industri, dan infrastruktur terus berlangsung tanpa jeda. Ada yang menyebut 70.000, 110.000, bahkan 145.000 ha per tahun (Sapuan, 2006). Di sisi lain, pencetakan sawah baru hanya 35.000 ha per tahun. Anehnya, laporan luas panen tidak menurun. Pada 1996 luas panen padi sawah/ ladang dilaporkan 11.569.000 ha, lima tahun kemudian (2001) jadi 11.500.000 ha, dan 2013 seluas 13.769.000 ha. Dibandingkan 2012, pada 2012 terjadi kenaikan luas panen 324.389 ha.

Dari jumlah itu, 259.915 ha di antaranya disumbang dari Jawa. Padahal, di Jawa praktis tak ada pencetakan lahan baru. Data hanya deretan angka. Data hanya alat. Masalahnya, jika data itu bias karena dikumpulkan lewat cara yang tidak reliable lalu dijadikan batu pijak kebijakan, output-nya tak hanya menyesatkan tapi juga menyengsarakan. Sudah saatnya data atau statistik padi/beras dibenahi. Ini dimulai dengan data konsumsi beras per kapita. Sampai sekarang pemerintah memakai data konsumsi per kapita 139 kg beras per tahun, padahal data ini tak jelas asalusulnya.

Data itu merupakan kesepakatan politik. Anehnya, sejak 1996 data konsumsi beras per kapita ini tidak berubah. Di sisi lain, ada data konsumsi per kapita yang valid: 113 kg beras per tahun. Ini hasil survei Badan Ketahanan Pangan Kementan dengan BPS pada 2012. Anehnya, data ini tidak pernah dipublikasikan untuk umum. Lalu membenahi data luas panen. Data luas panen harus dikumpulkan lewat survei statistik. Teknologi pengumpulan data berdasarkan objective measurement telah berkembang pesat. Indonesia dipastikan bisa melakukannya.

Jika data statistik produksi padi itu dipakai terus, berasnya hanya di atas kertas (semu), riil di lapangan tidak ada. Kalau ada berasnya, penduduk miskin tidak mungkin harus makan nasi aking dan kelaparan. Keengganan mengubah data berikut metode pengumpulannya sama artinya membiarkan kesalahan (data) terus berulang tanpa jeda. Atau memang ada pihak yang kehilangan proyek dan kedoknya terbongkar karena tidak bisa lagi menipu (dengan) data?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar