Moratorium
Impor dan Statistik Beras
Khudori
; Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan
Pusat, Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Penulis Buku Ironi
Negeri Beras (2008)
|
KORAN
SINDO, 25 Februari 2014
Silang sengkarut impor beras asal Vietnam masih belum jelas
ujung pangkalnya. Bagaimana hasil akhir juga belum bisa ditebak.
Di tengah ketidakpastian itu, pemerintah membuat keputusan
penting: moratorium impor beras. Moratorium diberlakukan hingga tata kelola
beras tuntas dibenahi. Tentu tujuannya agar kisruh impor beras tidak kembali
berulang.Keputusan pemerintahpatutdiapresiasi. Namun, dalam masa moratorium
tidak cukup hanya membenahi tata kelola impor/ekspor beras. Yang tidak kalah
mendesak dan penting adalah membenahi data-data tentang beras, terutama data
produksi padi/beras. Pembenahan data beras, terutama produksi, merupakan
keniscayaan.
Karena dari data produksi inilah keputusan impor/ ekspor
diambil. Kita tidak mungkin membiarkan silang sengkarut data terus terjadi.
Karena dari data itulah keputusan- keputusan penting dibuat. Silang sengkarut
data sebenarnya bukan hal baru. Sudah begitu lama kita abai dan ceroboh
dengan angka-angka. Produksi beras setiap tahun dilaporkan selalu naik. Kita
menganggap sudah surplus beras dengan cara otak-atik data. Tapi klaim itu di
masa lalu tidak pernah terbukti. Tiap tahun kita impor beras.
Wajar jika impor selalu menimbulkan resistensi, pro-kontra, dan
penentangan karena basis data batu pijak impor tidak kukuh. Produksi padi
tahun 2013 adalah 70,87 juta ton gabah atau setara 40,39 juta ton beras
(dengan angka konversi 0,57). Jika konsumsi beras 113,5 kg/kapita, total
konsumsi 250 juta penduduk: 28,25 juta ton. Jadi, sudah surplus lebih 10 juta
ton beras. Artinya, target surplus 10 juta ton beras tahun 2014 sudah
tercapai. Bahkan, surplus 10 juta ton sudah tercapai sejak 2010.
Jika memakai angka konsumsi yang tinggi, 139 kg/kapita, konsumsi
total hanya 34,75 juta ton beras. Jadi, masih surplus sekitar 5,5 juta ton
beras. Kenyataannya, tiap tahun ada impor beras. Rata-rata impor rentang
2009–2011 sekitar 2 juta ton per tahun. Bahkan, tahun 2011 jumlahnya 2,7 juta
ton beras. Tahun 2012 jumlah impor beras 1,9 juta ton dan tahun 2013 sebesar
0,4 juta ton. Kalau benar surplus, mestinya tidak impor tetapi ekspor.
Mengapa ini terjadi? Ada dua kemungkinan. Pertama, meraih rente ekonomi yang
besar dengan cara mudah lewat lisensi impor.
Sampai sekarang harga beras domestik masih lebih tinggi dari
beras impor. Pada 2010, selisih harga beras lokal dan impor mencapai Rp1.000
per kg. Dengan izin impor beras saat itu 1,95 juta ton ada keuntungan Rp1,95
triliun (kurs Rp10.000 per dolar AS)? Pertanyaannya, ke mana larinya uang
itu? Siapa saja yang menikmati? Benarkah ada yang lari ke politikus dan
birokrat (selain dinikmati pengusaha)? Kemungkinan ini terjadi bukan hanya
karena keuntungan impor besar, tapi menggaruk fee dari lisensi impor tidak
banyak mata yang memelototi.
Apalagi, tidak banyak juga pihak yang mengerti soal ekspor-impor
ini. Sebaliknya, apabila menggaruk dana dari APBN banyak pihak yang
mengawasi. Bukan hanya DPR, BPK dan LSM/warga, melainkan juga KPK. Kedua,
data padi/beras tidak benar. Data statistik produksi padi yang dikeluarkan
Badan Pusat Statistik (BPS) saat ini tidak layak dijadikan landasan (Suwito,
2007). Statistik produksi padi dihasilkan dari perkalian dua komponen utama: luas
panen padi kali rata-rata hasil per hektare.
Sistem penghitungan itu kini disebut “angka BPS”, hasil kompromi
dua sistem berbeda: sistem yang digunakan Kementerian Pertanian dan BPS.
Kompromi dua sistem perhitungan sejak 1973 itu nyaris tanpa perbaikan
berarti. Data produktivitas dikumpulkan melalui survei statistik pada petak
sawah yang akan dipanen dengan metode probability sampling. Data dihasilkan
dari ubinan ukuran 2,5x2,5 meter yang dikonversi ke satuan hektare. Hasil
panen pada ubinan langsung ditimbang.
Jadi, diterapkan sistem objective
measurement. Separuh dari sampel ubinan ini dikerjakan mantri statistik
BPS, dan separuh sisanya dikerjakan mantri pertanian. Jadi, untuk memperoleh
data yield rate, BPS hanya mengerjakan separuh dari seluruh sampel. Luas
panen sepenuhnya dikumpulkan mantri tani dengan cara penaksiran melalui
sistem blok pengairan, penggunaan bibit, dan pandangan mata (eye estimate) di sawah. Pengumpulan
data luas panen ini tidak berdasarkan survei statistik, tidak ada objective
measurement di lapangan.
Dalam teori statistik data ini, termasukcatatanadministrasi
sehingga akurasinya sulit diuji secara statistik. Data luas panen inilah
biang overestimate data produksi
padi saat ini. Menurut berbagai studi BPS (Sastrotaruno dan Maksum, 2002),
besarnya overestimate mencapai 17%.
Artinya, jika tahun 2013 menurut BPS produksi beras 40,39 juta ton, masih
harus dikurangi 6,87 juta ton beras. Itu berarti bukan surplus (dengan
konsumsi per kapita 139 kg beras), kita minus beras 1,37 juta ton beras.
Laporan produksi berlebih itu terasa masuk akal. Konversi lahan
pertanian untuk real estate, kawasan industri, dan infrastruktur terus
berlangsung tanpa jeda. Ada yang menyebut 70.000, 110.000, bahkan 145.000 ha
per tahun (Sapuan, 2006). Di sisi lain, pencetakan sawah baru hanya 35.000 ha
per tahun. Anehnya, laporan luas panen tidak menurun. Pada 1996 luas panen
padi sawah/ ladang dilaporkan 11.569.000 ha, lima tahun kemudian (2001) jadi
11.500.000 ha, dan 2013 seluas 13.769.000 ha. Dibandingkan 2012, pada 2012
terjadi kenaikan luas panen 324.389 ha.
Dari jumlah itu, 259.915 ha di antaranya disumbang dari Jawa.
Padahal, di Jawa praktis tak ada pencetakan lahan baru. Data hanya deretan
angka. Data hanya alat. Masalahnya, jika data itu bias karena dikumpulkan
lewat cara yang tidak reliable lalu dijadikan batu pijak kebijakan,
output-nya tak hanya menyesatkan tapi juga menyengsarakan. Sudah saatnya data
atau statistik padi/beras dibenahi. Ini dimulai dengan data konsumsi beras
per kapita. Sampai sekarang pemerintah memakai data konsumsi per kapita 139
kg beras per tahun, padahal data ini tak jelas asalusulnya.
Data itu merupakan kesepakatan politik. Anehnya, sejak 1996 data
konsumsi beras per kapita ini tidak berubah. Di sisi lain, ada data konsumsi
per kapita yang valid: 113 kg beras per tahun. Ini hasil survei Badan
Ketahanan Pangan Kementan dengan BPS pada 2012. Anehnya, data ini tidak
pernah dipublikasikan untuk umum. Lalu membenahi data luas panen. Data luas
panen harus dikumpulkan lewat survei statistik. Teknologi pengumpulan data
berdasarkan objective measurement telah berkembang pesat. Indonesia
dipastikan bisa melakukannya.
Jika data statistik produksi padi itu dipakai terus, berasnya
hanya di atas kertas (semu), riil di lapangan tidak ada. Kalau ada berasnya,
penduduk miskin tidak mungkin harus makan nasi aking dan kelaparan.
Keengganan mengubah data berikut metode pengumpulannya sama artinya
membiarkan kesalahan (data) terus berulang tanpa jeda. Atau memang ada pihak
yang kehilangan proyek dan kedoknya terbongkar karena tidak bisa lagi menipu
(dengan) data? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar