Negeri
Seribu Pasal 100 Hari
Driantama
; Jurnalis
|
KORAN
SINDO, 25 Februari 2014
Negeri ini makin hari makin nampak cantik dan memesona. Kekayaan
alam dan budayanya demikian memikat. Meski ribuan tahun adanya sudah begitu,
kemolekannya makin memesona sejak dua dekade terakhir ini.
Hingga negeri-negeri lain sangat iri dan ingin ”ngeriung”di
dalamnya. Betapa tidak, keindahan Sipadan-Ligitan dan sejumlah budaya yang
kita miliki makin saja populer sebagai milik Malaysia, karena kuatnya
propaganda yang dilancarkannya. Kemudian, betapa aktivitas ratusan juta
manusia dan kekuatan hasil produknya, konon, telah merangsang antusiasme
Australia untuk menyadap komunikasi seluler penduduk negeri ini, atas nama
persoalan komoditi dagang yang terjadi antara negeri ini dengan negeri lain,
yaitu Amerika Serikat.
Masih banyaklah contoh ”seksi” lainnya, yang sedemikian rupa
sangat menunjukkan betapa negeri elok rupawan ini diincar negeri lainnya,
dengan segala macam justifikasi dan perumpamaan yang seolah olah telah
menjadi sebuah kebenaran dan pembenaran. Mereka sepertinya sangat ingin agar
negeri ini, tak perlu menjadi besar, tak perlu maju dan sangat berharap, agar
makin hari harus makin mudah ”direnggangkan” kesatuannya, seperti bentuk
geografis pulau pulaunya yang terpisah pisah dan tersebar.
Alih-alih menyadari ancaman dari luar dan lalu bersatu demi
menghadapi gangguan ini, ternyata negeri ini makin asyik-masyuk sendiri
dengan aneka persoalan dan ”terurai” persatuannya. Karena alasan ekonomi dan
atas nama peradaban yang sudah mendunia, yang tak kenal batas wilayah, dan
demi agar tidak ingin dianggap kuno serta terbebas dari keterkucilan, maka
sejumlah orang justru, seperti tidak sadar, berduyun duyun terlibat, dengan
aneka ragam pembenaran untuk merancang sesuatu. Baik terbuka maupun tertutup.
Dengan aneka skenario, dari yang sangat sederhana hingga
skenario yang begitu rumit, sehingga seakan-akan, seolah-olah, di mata
seluruh warganya, maka semua persoalan di negeri ini, benarbenar tampak hanya
sebuah keributan internal belaka. Lihatlah, hal yang saat ini menjadi
tontonan sekaligus panggung pamer yang mengasyikkan ini ada dua, yaitu
Mahkamah Konstitusi (MK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). MK ibarat
gadis molek cantik rupawan dan terpandang, yang tiba-tiba menyedot perhatian
warga seantero negeri.
Tiba-tiba saja, mendadak, MK mencabut sebuah undang- undang (UU)
”penjaganya” sendiri. Sebuah UU yang dilahirkan untuk tidak hanya mengobati
dan membebaskan MK dari keterjebakan kesalahan masa lalu, namun juga demi
untuk meyakinkan publik bahwa wibawa MK akan segera terpulihkan manakala
undangundang itu ada dan dijalankan dengan benar dan tanpa tipu muslihat.
Namun, bukan itu yang terjadi.
MK ”baru”ini, seperti terbangun dari mimpi buruk, tiba-tiba
sudah merasa sangat percaya diri dan terkesan sudah yakin, telah berhasil
merebut kembali ”ruhnya”sebagai penjaga konstitusi terbaik dan tertinggi di
republik ini. Sebuah masa pemulihan rasa percaya diri yang terlalu singkat,
begitu cepat dan luar biasa. Bahkan, masa itu lebih cepat dari penuntasan
kasus korupsi dan pencucian uang, yang diduga kuat dilakukan mantan ketuanya
sendiri, yang juga mantan wakil rakyat negeri ini, sebagai biang kehancuran
dan lumatnya wibawa MK.
Tak lebih dari beberapa minggu sejak keputusan itu, maka semua
jadi tertelanjangi dengan sendirinya, ketika sejumlah wakil rakyat negeri ini
sangat antusias tampil di depan publik, menyatakan minatnya menjadi anggota
hakim baru MK. Manakala direnungkan lebih jauh, apa arti sandiwara politik
ini bagi masa depan kedewasaan demokrasi negeri ini, di masa mendatang?
Begitu jelaslah jawabannya.
Yang kedua, KPK. Sebuah ”kekuatan luar biasa yang tidak
terkontrol”, seperti disitir sekelompok wakil rakyat terpelajar, kembali jadi
pergunjingan dan dipermainkan nasibnya. Riuh rendah dan antusiasnya gandengan
tangan antara DPR dan pemerintah dalam memproses rancangan seribu pasal KUHAP
dan KUHP, tampaknya tak bisa disembunyikan lagi. Dengan aneka argumentasi ,
yang sangat cerdas dan bertutur sangat rapi, mereka, seperti bersahut-sahutan
mempropagandakan dan membius seluruh pelosok negeri.
Mereka berjanji bahwa nyawa dari seribu pasal ini, semata-mata
demi kemaslahatan penegakan hukum seluruh warga negeri dan para pemangku
penegakan hukumnya, di masa depan, dengan sejumlah terobosan yang terjamin
pasti akan terbukti lebih baik. Satu persatu pasal ”pilihan” dikemukakan,
dengan sangat gamblang dan jelas, dengan sistematika rasional yang sangat
logis dan menjanjikan, menggunakan bahasa awam yang sangat mudah dimengerti,
demi meruntuhkan pemikiran lain.
Pikiran-pikiran yang mereka anggap penuh prasangka, trauma,
tuduhan dan bahkan dinilai hasutan. Padahal, pikiran itu disusun dari
runtutan logika jujur yang dikumandangkan sejumlah warga negeri, yang tidak berpangkat,
manusiabiasa, masih waras dan sangat ingin negeri ini makin baik dengan
sesungguh-sungguhnya. Namun di luar hiruk-pikuk retorika tersebut, apakah
benar seribu pasal yang ada dalam rancangan itu, diyakini, dipastikan dan
dijamin bisa terkupas dan terjustifikasi satu-satu hanya dalam waktu 100
hari.
Apakah proses kelahirannya benarbenar disandarkan pada proses
yang benar dan kesamaan kesadaran yang mutlak bahwa korupsi sudah menjadi
sebuah kejadian luar biasa yang secara pasti akan segera meng-hancurkan lahir
batin dan martabat negeri ini, dalam waktu yang sesingkat-singkatnya ? Mengapa
terkesan begitu khawatir? Betapa tidak, tertuduh menjadi koruptor bukan lagi
memalukan, bahkan ketika sudah terbukti. Seluruh tertuduh koruptor yang
pernah ada, berapa banyak yang tampak malu dan tertekan saat dipertontonkan
di muka publik?
Bahkan untuk seorang mantan ketua MK, yang telah membuat
kewalahan KPK, karena lahan parkir tidak muat lagi menyimpan puluhan mobil
mewah sitaan, yang diduga kuat hasil korupsi, apakah terlihat malu, hina dan
jera? Ketika rasa malu sebagai koruptor sudah hilang, kebiadaban perbuatan
korupsi sebagai sebuah kejahatan luar biasa pun dipastikan telah luntur.
Hingga pada akhirnya, terbitlah suatu masa di mana korupsi tidak lebih
sebagai sebuah kebiasaan buruk semata-mata, sebuah hal yang hanya dianggap
tidak sopan dan seterusnya. Menakutkan bukan? Apalah jadinya negeri ini,
tetapi itulah yang akan terjadi nanti, kata seorang bijak di sebuah
perbincangan beberapa waktu lalu.
Benarkah seribu pasal di 100 hari terbaik pasti memecahkan
”kebuntuan hukum”, menyitir istilah seorang mantan pejabat negeri,
benar-benar telah direnungkan oleh para penggagasnya, dengan memosisikan diri
sebagai negarawan atau hanya karena sebuah perkawanan belaka? Benar-benarkah
kebaikan seribu pasal itu akan menjanjikan sebuah keadilan yang tepat bagi
para pelaku kriminal, karena mencuri sandal jepit, tiga potong bambu, atau
pencuri lima mangkuk?
Benarkah, kebaikan seribu pasal tersebut membuat para penegak
hukum negeri ini makin sangat kapok berbuat macam-macam, dan hanya bekerja
atas nama sebuah keadilan? Dan benarkah kebaikan seribu pasal itu diyakini
akan membuat seorang perangsang, perencana dan pelaku korupsi benar- benar
jera dan ketakutan, karena hukumannya telah membuat lahir batinnya tersiksa
dan menyesal? Kalaupun semua pertanyaan di atas dijawab dan dijamin
kemanfaatannya untuk khalayak ramai warga negeri ini, masih adakah yang mau
percaya atas jaminan itu?
Ratusan juta penduduk negeri ini tidak semuanya mampu memahami
seribu pasal itu dengan baik. Namun, mereka setidaknya mampu dengan yakin dan
berani mengemukakan pertanyaan-pertanyaan di atas. Manakala
pertanyaan-pertanyaan itu tidak bisa dijawab dengan segera dengan jawaban
tidak seragam dan simpang siur, itu artinya ada keraguan. Ini tentu akan
sangat menyedihkan, sebab kebaikan seribu pasal itu tentu akan menjadi sirna
dan berubah jadi malapetaka, ketika sebuah keraguan setipis helai benang
sutra melintasi hati penggagasnya.
Wahai negeri yang elok rupawan dan warganya yang terhormat,
menunduklah untuk merendahkan diri dan merenung, merenung untuk menjadi
jujur, mengukur kejujuran dengan mawas diri dan berkacalah, lalu bangkit
segera, untuk bersama sama menghentikan datangnya malapetaka di negeri ini,
yang sangat ditunggu tunggu negeri-negeri lainnya. Seribu pasal kemaslahatan tentu tak cukup hanya dengan 100 hari...
Negeri seribu pasal seribu hari.... ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar