Ustad
dan Pembela Islam
Azis
Anwar Fachrudin ; Penulis
|
TEMPO.CO,
25 Februari 2014
Para dai sering mengajarkan, ketika terjadi suatu kontroversi,
kedepankanlah perilaku berbaik sangka. Untuk itu, saya mula-mula berusaha
berbaik sangka kala ada kontroversi. Apalagi jika kontroversi itu menyangkut
orang atau organisasi dengan label yang keren: ustad atau pembela Islam.
Kala terjadi pembatalan diskusi buku Tan Malaka di Surabaya oleh
para pembela Islam itu, saya berusaha mengajukan tiga cara alternatif dalam
berbaik sangka. Pertama, dengan kejadian ini, mungkin Tuhan sedang
berkehendak mewujudkan ramalan Tan Malaka. "Dari dalam kubur, suara saya akan lebih keras!" ujar
Tan Malaka. Kenyataannya, buku tentang Tan Malaka itu saja belum dibaca, tapi
para pembela Islam sudah mengkhawatirkan nasib akidah kaumnya. Tan Malaka
sakti betul rupanya.
Kedua, mungkin saja para pembela Islam memahami bahwa orang
Indonesia ini malas membaca sejarah bangsanya sendiri. Untuk itu,
dibatalkanlah rencana diskusi buku tentang Tan Malaka itu. Alasannya, agar
Tan Malaka jadi pembicaraan publik. Para pemilik buku Madilog akan kembali
membaca buku itu secara lebih saksama. Atau, setidaknya akan banyak yang
tanya ke Syaikh Google tentang siapa itu Tan Malaka. Jadilah kemudian ada
lebih banyak orang yang pelan-pelan tahu siapa itu Tan Malaka.
Ketiga, mungkin Tuhan sedang ingin menunjukkan cara berpikir
para pembela Islam itu: mendiskusikan
buku berisi ideologi X adalah sama dengan menyetujui dan mempropagandakan
ideologi X. Dengan kejadian itu, Tuhan ingin menunjukkan bahwa: "Ini lo logika para pembela Islam
itu!"
Syukurlah, mayoritas orang di negeri ini tampaknya masih waras
dan bisa menangkap sinyal dari Tuhan itu. Dengan beberapa kejadian mutakhir
ihwal para pembela Islam, publik mendapat data-data untuk dipertimbangkan
apakah kata "membela Islam" layak tersemat kepada mereka.
Begitulah. Baik sangka ini juga coba saya ajukan pula kala
membaca warta tentang ustad yang "mengunci" operator sound-system. Di negeri ini, ustad
adalah panggilan lazim untuk para dai. Mereka bisa tenar ketika sudah
melewati jenjang-jenjang seleksi media, atau setidaknya tertangkap
kompetensinya oleh media.
Kompetensi yang dimaksud oleh media tentunya yang sesuai dengan
logika media: harus sesuai dengan tuntutan pasar. Salah satu syarat mutlak
ujian seleksi itu: harus menghibur. Syarat lainnya yang bisa jadi nilai
tambah: berpenampilan menarik, bersuara bagus, syukur-syukur bisa nyambi jadi
penyanyi, dan alhamdulillah kalau
punya diferensiasi (gaya penyampaian yang beda, unik, dan kalau perlu juga
punya jargon-jargon antik).
Kita jadi tahu, jadi ustad-dai itu tak mudah. Sedikit orang yang
bisa menyampaikan ajaran moral dengan gaya yang disukai banyak orang. Untuk
bisa memasarkan dakwahnya, cara-cara yang ditempuh para dai tentu tak mudah.
Itulah cara alternatif pertama untuk berbaik sangka. Opsi dalam
berbaik sangka yang kedua, mungkin saja ada konspirasi Tuhan yang sedang
bermain di sana. Melalui adegan smackdown
ustad terhadap operator sound-system itu, Tuhan sedang ingin agar umat
memikirkan kembali pengertian mereka tentang ustad.
Lagi-lagi kita mesti bersyukur, kenyataannya publik masih cukup
waras. Ada kesadaran yang pelan-pelan kini menyeruak: ustad harusnya
begini, bukan begitu. Kejadian itu
menjadi blessing in disguise,
sehingga publik mulai mengarahkan kritiknya kepada cara media menyeleksi
dai-dainya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar