Politik
Minus Kebajikan
Buni
Yuni ; Peneliti dari Universitas Leiden, Belanda
|
TEMPO.CO,
26 Februari 2014
Politikus-politikus
busuk sedang merancang siasat untuk melumpuhkan Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) agar tidak lagi efektif memberantas korupsi. Yang paling sistematis dan
tentu saja konstitusional adalah dengan merevisi Undang-Undang KPK.
Apakah
mereka orang-orang tua dan berasal dari partai Orde Baru? Bukan. Mereka termasuk
anak-anak muda yang menikmati kebebasan politik akibat runtuhnya Soeharto
yang dulu dilawan karena korupsi.
Logika
politik ini absurd dan gila, tak bisa diterima akal sehat. Bagaimana mungkin
menentang sesuatu yang dulu diperjuangkan, lalu bergabung dengan penjahat dan
menistakan diri ke dalam kubangan politik yang kotor?
Anak-anak
SD Banten menyeberang jembatan bambu yang bergoyang di atas sungai yang
airnya deras bertaruh nyawa, sementara gubernurnya mengoleksi barang-barang
mewah berharga puluhan bahkan ratusan juta rupiah yang dibeli di luar negeri
dengan uang korupsi.
Harapan
menyehatkan anak bangsa dengan mengkonsumsi protein jadi kandas karena harga
daging sapi setinggi langit, bahkan lebih tinggi daripada negara-negara Barat
karena suap dan korupsi penyelenggara negara yang diotaki oleh parpol. Kisruh
pilkada bisa meledak di mana-mana karena sengketa yang diputuskan MK
didasarkan pada siapa yang berani membayar lebih tinggi. Daftar keculasan dan
penderitaan yang diakibatkannya ini bisa diperpanjang, dan semuanya
disebabkan oleh korupsi.
Pertanyaannya,
apakah politikus-politikus yang tidak terhormat ini ingin bangsanya
terbelakang, bodoh, miskin, dan diremehkan bangsa lain karena tak punya harga
diri?
Kini
sebagian besar ruang publik politik dan ekonomi dikangkangi mereka yang
sedang menikmati keistimewaan melalui korupsi. Sesedikit apa pun langkah
masyarakat madani untuk mengubah kondisi ini merupakan ancaman yang akan
ditanggapi secara reaksioner oleh mereka.
Bagi
para politikus busuk ini, politik bukanlah kebajikan yang akan menuntun
mereka kelak menuju surga di akhirat. Politik bukanlah ibadah yang ketika
setiap kali datang rapat, menemui konstituen, dan membuat undang-undang sama
nilainya dengan pengabdian kepada Tuhan.
Mereka
sudah tercemar sejak dalam niat dan pikiran menjadi politisi yang mengurusi
hajat hidup orang banyak. Sebab, kebajikan yang semestinya menjadi penuntun
mereka dalam bertindak dan merumuskan kebijakan publik bukan lagi menjadi
pelita yang sakral.
Mereka
adalah para mafia yang menjadikan undang-undang dan peraturan sebagai pistol
yang disembunyikan di balik jas mewah mereka. Pistol bisa ditembakkan kapan
saja, bisa melukai siapa saja, bila mereka tersudut dan akan tertangkap.
Namun
mereka lebih berbahaya dibanding para mafia. Sementara mafia cuma bisa
membunuh sedikit orang dengan desing peluru yang membabi-buta, para politikus
busuk ini bisa merenggut nyawa jutaan orang dengan undang-undang dan
peraturan yang tidak berpihak kepada rakyat. Mereka adalah kaum yang
berpesta-pora di tengah penderitaan rakyat. Mereka ingin menjadikan negeri
ini kleptokrasi.
Cuma
satu cara menghentikannya, yaitu dengan melawannya. Kejahatan yang
merajalela, sebagiannya disebabkan oleh diamnya orang-orang baik. Masyarakat
harus menandai muka, nama, dan partai para politikus busuk ini menjelang
pemilu yang sebentar lagi digelar. Bila memilih mereka, itu sama artinya
menciptakan neraka sejak di dunia ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar