Penegasan
Tentara Rakyat
Sumaryoto
Padmodiningrat ; Anggota DPR
|
SUARA
MERDEKA, 27 Februari 2014
PASCABANJIR, sekitar 2.500
anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI), termasuk dari Kodam IV/Diponegoro
dan kodim di Jawa Tengah, sejak Sabtu (8/2/14) dikerahkan untuk memperbaiki
kerusakan jalan pantai utara (pantura) Jawa. Menurut KSAD Jenderal TNI Budiman,
langkah itu atas perintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk
membantu Kementerian PU menangani tanggap darurat di pantura. Perbaikan itu
bersifat sementara, yakni dengan menambal jalan yang berlubang.
Data Direktorat Jenderal
Bina Marga Kementerian PU menyebutkan, terdapat 3.338 lubang di pantura
akibat banjir yang beberapa waktu lalu melanda. Di pantura Jawa Barat ada
1.038 lubang, dan di pantura Jawa Tengah ada 2.300 lubang. Panjang jalan yang
rusak mencapai 200-300 kilometer dari total panjang jalan 1.300 kilometer.
Personel TNI juga diterjunkan dalam evakuasi warga setelah letusan Gunung
Kelud Jawa Timur, pada Kamis 13 Februari 2014, serta mengatasi dampak dari
bencana alam tersebut. Kita perlu mengapresiasi langkah yang dilakukan TNI.
Fakta itu membuktikan bahwa
TNI benar-benar tentara rakyat, yakni berasal dari rakyat dan berbuat untuk
rakyat, sebagaimana dicitacitakan Bapak TNI, Panglima Besar Jenderal
Soedirman. Juga senapas dengan Sapta Marga, Sumpah Prajurit, dan Delapan
Wajib TNI. Poin ke-6 Sapta Marga menyatakan, ”Kami Prajurit Tentara Nasional Indonesia, mengutamakan keperwiraan
di dalam melaksanakan tugas, serta senantiasa siap sedia berbakti kepada
Negara dan Bangsa.” Poin terakhir Delapan Wajib TNI pun menyatakan, ”Menjadi contoh dan memelopori usaha-usaha
untuk mengatasi kesulitan rakyat sekelilingnya.” Hal itu juga sesuai
dengan UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, yakni melaksanakan operasi
militer, selain perang, khususnya Pasal 7 Ayat (2) Butir ke-12 yang
menyatakan, ”Membantu menanggulangi akibat bencana alam, pengungsian, dan
pemberian bantuan kemanusiaan.”
Langkah TNI ini juga
memperkuat kemanunggalan TNI-rakyat. Bila TNI ibarat ikan, rakyat adalah
airnya. Ada kesenyawaan atau kohesivitas antara TNI dan rakyat. Dengan demikian,
potensi konflik TNI dengan rakyat, atau bahkan lebih luas lagi konflik sosial
yang melibatkan TNI, akan tereliminasi.
Mengurangi
Konflik
Kita kerap menyaksikan
konflik antara TNI dan rakyat, bukan saja di Jakarta melainkan juga di
daerah, yang kebanyakan dipicu masalah sengketa lahan. Selasa (4/2/14)
misalnya, seratusan warga sipil memblokir akses masuk ke jalan Asrama Polisi
Tallo, di persimpangan Jalan Urip Sumohardjo, Makassar, Sulawesi Selatan.
Aksi ini merupakan bentuk protes warga terhadap eksekusi yang dilakukan Kodam
VII/Wirabuana terhadap lahan 3.500 m2 yang sebelumnya digunakan warga
berdagang di sekitar asrama.
Indonesia Police Watch
(IPW) mencatat konflik sosial di Indonesia, termasuk yang melibatkan oknum
TNI, tahun 2013 meningkat 23,7% dibanding 2012. Sepanjang 2013 terjadi 153
konflik sosial, baik berupa tawuran, bentrokan massa maupun kerusuhan sosial.
Akibatnya, 203 orang tewas, 361 luka, 483 rumah dirusak dan 173 bangunan
lainnya dibakar. Rincian korban tewas, anggota TNI 10 orang, polisi 4,
sisanya 189 warga sipil. Dari 361 korban luka, 42 polisi dan 7 tentara.
Padahal tahun 2012 hanya ada 154 orang tewas dan 217 luka. Dari jumlah itu, 1
tentara tewas, 2 polisi tewas, 6 tentara luka, dan 6 polisi luka.
Data dari Kementerian
Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, jumlah konflik sosial di Indonesia
tercatat 128 hingga akhir 2012. Jumlah tersebut menurun menjadi 83 kasus hingga
akhir 2013. Sementara Kementerian Sosial mencatat saat ini ada 184 titik
konflik yang menyebar di beberapa wilayah di Indonesia. Langkah TNI ikut
memperbaiki jalan pantura dan mengatasi dampak bencana juga bisa mengurangi
konflik antara oknum TNI dan Polri.
Komisi untuk Orang Hilang
dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mencatat 30 konflik TNI-Polri telah
terjadi di berbagai wilayah Indonesia sepanjang 2005 hingga Maret 2013 dengan
jumlah korban meninggal 14 jiwa, masing-masing 10 polisi dan 4 tentara,
sementara 42 polisi dan 20 tentara lainnya terluka.
Bagaimana logikanya,
sehingga kegiatan TNI dapat meminimalisasi konflik antara oknum tentara dan
polisi?
Indonesia kini dalam
kondisi relatif damai. Sudah tidak ada lagi Gerakan Aceh Merdeka (GAM), dan kalaupun
masih ada Organisasi Papua Merdeka (OPM), tidak memerlukan pengerahan
personel militer secara besar-besaran. Makanya, banyak prajurit TNI yang
lebih banyak tinggal di barak atau asrama. Sementara tiap hari mereka
menjalani latihan kemiliteran. Kondisi semacam ini, atau ketika tidak ada
penyaluran tenaga, menurut psikologi militer, berpeluang meletupkan emosi
prajurit sehingga bila dipantik sedikit saja bisa menghasilkan ledakan luar
biasa. Akibatnya, kerap terjadi bentrok antara oknum TNI dan anggota
masyarakat atau polisi.
Pengerahan prajurit TNI
untuk membantu pemerintah memperbaiki jalan pantura dan dampak bencana
sedikit banyak akan dapat menyalurkan tenaga mereka sehingga risiko berbuat
menyimpang bisa dieliminasi. Di samping itu, melalui kegiatan yang
bersentuhan langsung dengan kebutuhan dan hajat hidup rakyat, anggota TNI
lebih mudah menemukan jati diri sebagai tentara rakyat. Sekali lagi, tentara
yang berasal dari rakyat dan berbuat untuk rakyat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar