Kamis, 27 Februari 2014

Pejabat Tunarasa

Pejabat Tunarasa

Yasmi Adriansyah; Kandidat PhD, School of Politics and International Relations, ANU
REPUBLIKA,  25 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                                                                                       
Pejabat negara sebagai pelayan publik adalah sebuah keniscayaan. Apa pun hierarki yang diemban sang pejabat, dari presiden sampai juru ketik di kantor-kantor desa, secara esensi mereka adalah pelayan yang harus selalu mendengarkan, mempelajari, dan mencari solusi atas permasalahan dan ekspektasi rakyat yang mereka pimpin.

Berangkat dari pemahaman di atas, menjadi fenomena menyedihkan ketika seorang pejabat sekelas Menteri Keuangan RI Dr Chatib Basri yang belum lama ini kira-kira menyatakan bahwa seusai memutuskan sebuah kebijakan, ia menganjurkan untuk tidak membaca atau mendengarkan media lokal (baca: aspirasi publik) karena akan membuat hidup Anda menjadi tidak nyaman. Chatib bahkan berseloroh, "Istri Anda pun dapat marah jika membaca pemberitaan tentang Anda di media massa lokal (Indonesia)."

Penulis berharap bahwa ucapan-ucapan seperti itu hanyalah keseleo lidah (slip of the tongue) yang dapat dimaafkan. Namun, sikap-sikap seperti ini dapat menjadi permasalahan serius jika beberapa atau banyak pejabat di Tanah Air memiliki pandangan serupa. Karena, pengambilan keputusan yang berdampak besar terhadap publik, apalagi dari pejabat setingkat menteri, teramat perlu mendengarkan aspirasi publik. Wajib hukumnya bagi pejabat publik memiliki rasa atau empati terhadap permasalahan yang dihadapi rakyat yang dia layani. Karena, jika tidak ia hanya akan menjadi pejabat yang tunarasa.

Pidato publik

Pernyataan Chatib Basri seperti di atas tentu saja bukan esensi utama kuliah umum yang dia sampaikan pada 21 Februari 2014 di kampus Australian National University, Canberra. Secara umum, penampilan Chatib dalam menjelaskan tantangan ekonomi di Indonesia dan keberhasilannya dalam mengelola ber bagai permasalahan yang muncul, terbilang sangat baik. Chatib telah memukau hadirin, baik akademisi atau pejabat pemerintahan Australia maupun mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang barangkali berimpian menjadi menteri seperti Chatib.

Namun, pernyataan atau pidato di hadapan publik seperti ini rentan terhadap celah etika, terlebih jika sang pejabat lupa bahwa dia bukan lagi seorang akademisi atau profesional yang notabene tidak memiliki kewajiban dalam melayani publik. Karena, menjadi seorang pejabat publik otomatis mempersempit privasi, kebebasan berekspresi, atau bahkan ruang intelektual yang cenderung bebas tak bertepi.

Fenomena ucapan humor, namun menyedihkan seperti sikap Menkeu Chatib Basri kiranya tak jarang kita dengar dari pejabat publik lainnya. Sebagai misal, pada 16 Januari 2014 Bupati Mojokerto Mustafa Kamal Pasa dengan ringan berkata, "Jujur, saya juga minum bir dan minum bir ini membuat sehat." Pernyataan ini adalah pernyataan yang tidak empatik atau bahkan bodoh karena tidak layak diucapkan oleh seorang pejabat publik, apalagi sekelas kepala daerah.

Pernyataan-pernyataan singkat dari pejabat, seperti Mustafa, mungkin dimaksudkan untuk mencairkan suasana (breaking the ice). Namun, bagi masyarakat Indonesia yang mayoritas Muslim di mana Islam dengan tegas mengharamkan alkohol, pernyataan tersebut terasa melecehkan.

Umpan balik

Dalam konteks pejabat-pejabat publik seperti di atas, kiranya kita semua perlu berterima kasih kepada media konvensional ataupun sosial yang tak pernah lelah memberitakan tingkah dan pola perilaku pejabat publik. Tak perlu diperdebatkan bahwa pejabat publik adalah individu yang tak rentan atas kesalahan. Namun, kiranya perlu terus diingatkan bahwa jabatan mereka berdampak kepada orang banyak. Oleh karena itu, sikap dan kinerja mereka tetap perlu diawasi dan dikoreksi agar selalu amanah dalam mengemban jabatan.

Untuk kasus-kasus seperti pernyataan Chatib, perlu diingatkan bahwa media di Tanah Air, apa pun skala maupun sikap politik pemiliknya, tetap memiliki nilai representasi suara publik. Atau, sekiranya ingin lebih selektif dalam memilih media massa, penulis yakin bahwa dari berseraknya merek-merek media di Tanah Air, beberapa nama masih memiliki integritas.

Tidak perlu kapasitas intelektual tinggi bagi pejabat publik untuk memahami atau bertindak yang semestinya. Teori klasik Sistem Politik dari David Easton (1953) yang diperoleh mahasiswa tahun pertama ilmu politik/pemerintahan telah menjelaskan itu semua dengan sederhana.

Intinya, sebuah kebijakan atau sikap pemerintah (atau pejabat publik dalam konteks ini) tidak akan pernah lepas dari sebuah siklus `masukan-pemrosesan-keluaran'. Dari keluaran ini akan ada `umpan balik' (feedback) dari publik dengan berbagai entitasnya guna memperbaiki kebijakan yang sudah diputuskan.

Dengan kata lain, sebuah kebijakan yang tidak `mendengarkan, mempelajari, dan memberikan solusi' atas permasahan publik sudah pasti akan kehilangan ruhnya. Hal itu mungkin berlaku di negara otoritarian. Namun, sudah menjadi tidak laku atau bahkan berbahaya jika di biarkan berkembang di dalam sistem politik demokratis yang kini dijalani Indonesia, terlepas dengan berbagai kekurangannya. Wallahu a'lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar