Pejabat
Tunarasa
Yasmi
Adriansyah; Kandidat PhD, School of Politics and International
Relations, ANU
|
REPUBLIKA,
25 Februari 2014
Pejabat negara sebagai
pelayan publik adalah sebuah keniscayaan. Apa pun hierarki yang diemban sang
pejabat, dari presiden sampai juru ketik di kantor-kantor desa, secara esensi
mereka adalah pelayan yang harus selalu mendengarkan, mempelajari, dan
mencari solusi atas permasalahan dan ekspektasi rakyat yang mereka pimpin.
Berangkat dari pemahaman di
atas, menjadi fenomena menyedihkan ketika seorang pejabat sekelas Menteri
Keuangan RI Dr Chatib Basri yang belum lama ini kira-kira menyatakan bahwa
seusai memutuskan sebuah kebijakan, ia menganjurkan untuk tidak membaca atau
mendengarkan media lokal (baca: aspirasi publik) karena akan membuat hidup
Anda menjadi tidak nyaman. Chatib bahkan berseloroh, "Istri Anda pun dapat marah jika membaca pemberitaan tentang
Anda di media massa lokal (Indonesia)."
Penulis berharap bahwa
ucapan-ucapan seperti itu hanyalah keseleo lidah (slip of the tongue) yang dapat dimaafkan. Namun, sikap-sikap
seperti ini dapat menjadi permasalahan serius jika beberapa atau banyak
pejabat di Tanah Air memiliki pandangan serupa. Karena, pengambilan keputusan
yang berdampak besar terhadap publik, apalagi dari pejabat setingkat menteri,
teramat perlu mendengarkan aspirasi publik. Wajib hukumnya bagi pejabat
publik memiliki rasa atau empati terhadap permasalahan yang dihadapi rakyat
yang dia layani. Karena, jika tidak ia hanya akan menjadi pejabat yang
tunarasa.
Pidato
publik
Pernyataan Chatib Basri
seperti di atas tentu saja bukan esensi utama kuliah umum yang dia sampaikan
pada 21 Februari 2014 di kampus Australian National University, Canberra.
Secara umum, penampilan Chatib dalam menjelaskan tantangan ekonomi di
Indonesia dan keberhasilannya dalam mengelola ber bagai permasalahan yang
muncul, terbilang sangat baik. Chatib telah memukau hadirin, baik akademisi atau
pejabat pemerintahan Australia maupun mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang
barangkali berimpian menjadi menteri seperti Chatib.
Namun, pernyataan atau
pidato di hadapan publik seperti ini rentan terhadap celah etika, terlebih
jika sang pejabat lupa bahwa dia bukan lagi seorang akademisi atau
profesional yang notabene tidak memiliki kewajiban dalam melayani publik.
Karena, menjadi seorang pejabat publik otomatis mempersempit privasi, kebebasan
berekspresi, atau bahkan ruang intelektual yang cenderung bebas tak bertepi.
Fenomena ucapan humor,
namun menyedihkan seperti sikap Menkeu Chatib Basri kiranya tak jarang kita
dengar dari pejabat publik lainnya. Sebagai misal, pada 16 Januari 2014
Bupati Mojokerto Mustafa Kamal Pasa dengan ringan berkata, "Jujur, saya juga minum bir dan minum
bir ini membuat sehat." Pernyataan ini adalah pernyataan yang tidak
empatik atau bahkan bodoh karena tidak layak diucapkan oleh seorang pejabat
publik, apalagi sekelas kepala daerah.
Pernyataan-pernyataan
singkat dari pejabat, seperti Mustafa, mungkin dimaksudkan untuk mencairkan
suasana (breaking the ice). Namun,
bagi masyarakat Indonesia yang mayoritas Muslim di mana Islam dengan tegas
mengharamkan alkohol, pernyataan tersebut terasa melecehkan.
Umpan
balik
Dalam konteks
pejabat-pejabat publik seperti di atas, kiranya kita semua perlu berterima
kasih kepada media konvensional ataupun sosial yang tak pernah lelah
memberitakan tingkah dan pola perilaku pejabat publik. Tak perlu
diperdebatkan bahwa pejabat publik adalah individu yang tak rentan atas
kesalahan. Namun, kiranya perlu terus diingatkan bahwa jabatan mereka berdampak
kepada orang banyak. Oleh karena itu, sikap dan kinerja mereka tetap perlu
diawasi dan dikoreksi agar selalu amanah dalam mengemban jabatan.
Untuk kasus-kasus seperti
pernyataan Chatib, perlu diingatkan bahwa media di Tanah Air, apa pun skala
maupun sikap politik pemiliknya, tetap memiliki nilai representasi suara
publik. Atau, sekiranya ingin lebih selektif dalam memilih media massa,
penulis yakin bahwa dari berseraknya merek-merek media di Tanah Air, beberapa
nama masih memiliki integritas.
Tidak perlu kapasitas
intelektual tinggi bagi pejabat publik untuk memahami atau bertindak yang
semestinya. Teori klasik Sistem Politik dari David Easton (1953) yang
diperoleh mahasiswa tahun pertama ilmu politik/pemerintahan telah menjelaskan
itu semua dengan sederhana.
Intinya, sebuah kebijakan
atau sikap pemerintah (atau pejabat publik dalam konteks ini) tidak akan
pernah lepas dari sebuah siklus `masukan-pemrosesan-keluaran'. Dari keluaran
ini akan ada `umpan balik' (feedback)
dari publik dengan berbagai entitasnya guna memperbaiki kebijakan yang sudah
diputuskan.
Dengan kata lain, sebuah
kebijakan yang tidak `mendengarkan, mempelajari, dan memberikan solusi' atas
permasahan publik sudah pasti akan kehilangan ruhnya. Hal itu mungkin berlaku
di negara otoritarian. Namun, sudah menjadi tidak laku atau bahkan berbahaya
jika di biarkan berkembang di dalam sistem politik demokratis yang kini
dijalani Indonesia, terlepas dengan berbagai kekurangannya. Wallahu a'lam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar