Buka
Rahasia Bank untuk Pajak
Chandra
Budi ; Bekerja di Ditjen Pajak Kementerian Keuangan,
Alumnus Pascasarjana IPB
|
JAWA POS,
27 Februari 2014
PERMINTAAN
Dirjen Pajak Fuad Rahmany agar diberi akses penuh tanpa kecuali ke rekening
nasabah perbankan sempat menjadi polemik yang cukup hangat. Sebagian pihak
mendukung usul ini demi menyelamatkan kepentingan penerimaan negara. Sebagian
lain justru meragukan integritas pegawai pajak yang rawan penyalahgunaan
wewenang apabila diberi akses tersebut. Kekhawatiran tersebut cukup
berasalan.
Namun, apabila dilihat kepentingan yang lebih besar, tentunya
alasan tersebut tidak cukup kuat untuk membuat Ditjen Pajak hanya diberi
akses terbatas yang birokratis terhadap rekening nasabah perbankan. Lantas,
apa perlunya Ditjen Pajak minta akses penuh terhadap rekening nasabah
perbankan?
Persoalan
utama yang dihadapi Ditjen Pajak adalah rendahnya kepatuhan perpajakan masyarakat.
Ketika sistem pemungutan pajak akan beralih dari official assessment -proses
penghitungan dilakukan oleh Ditjen Pajak menjadi self assessment yang
penghitungan pajaknya dilakukan sendiri oleh wajib pajak- seperti kondisi
sekarang, seharusnya dipenuhi beberapa persyaratan terlebih dahulu. Syarat
tersebut adalah tingkat pengetahuan pajak yang cukup baik di masyarakat dan
tingkat kejujuran yang tinggi dalam mengisi dan melaporkan surat
pemberitahuan (SPT) pajak. Namun, sayangnya, dua persyaratan tersebut masih
belum terpenuhi maksimal. Dampaknya, tingkat kepatuhan pajak di Indonesia
masih sangat rendah.
Karena
itu, selain terus melakukan edukasi perpajakan terhadap wajib pajak dan
masyarakat, Ditjen Pajak harus menegakkan hukum perpajakan agar memberikan
efek jera. Dengan demikian, wajib pajak dan masyarakat mau melaporkan
pajaknya secara jujur. Sayangnya, penegakan hukum perpajakan di Indonesia
selalu terkendala akses dan ketersediaan data eksternal. Salah satu data yang
sangat penting dan andal dalam penegakan hukum perpajakan adalah data
rekening nasabah perbankan.
Sebelumnya,
Organisation for Economic Co-operation and Development atau OECD (2010) telah
melakukan studi tentang faktor apa saja yang mengakibatkan masyarakat tidak
patuh atau patuh pajak. Faktor-faktor tersebut adalah ekonomi, norma sosial,
dan penegakan hukum.
Rekening Nasabah
Mengapa
data rekening nasabah bank sangat berarti bagi Ditjen Pajak? Selama ini data
perbankan diibaratkan emas dalam stoples, yang keliatan namun tidak boleh
disentuh siapa pun. Hasil studi LPM FE UI (2012) menyebutkan, ada lebih dua
juta jumlah rekening dengan simpanan di atas seratus juta rupiah. Bahkan,
pemilik rekening di atas Rp 500 juta mencapai 500 ribu nasabah lebih. Data
terakhir yang dirilis oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menyebutkan hingga
31 November 2013, jumlah rekening nasabah bank dengan simpanan Rp 5 miliar
mencapai lebih 63 ribu rekening dengan jumlah simpanan Rp 1.570,1 triliun
atau hampir setara dengan rencana pendapatan negara dalam APBN 2014. Belum
lagi prediksi HSBC Indonesia (2013) yang memperkirakan jumlah nasabah kelas
premium mencapai 2,3 juta rekening. Yang menarik, ada sekitar 45 juta kelas
konsumen di Indonesia yang memiliki pendapatan 35 juta per bulan. Data The
Wealth Report 2013 sebagaimana dikutip Financial Today menyatakan, jumlah
orang kaya dengan aset bersih di atas USD 30 juta di Indonesia telah mencapai
lebih dari 189 ribu orang dan diprediksi terus meningkat. Sayangnya, Ditjen
Pajak mempunyai keterbatasan untuk meneliti kewajiban perpajakan pemilik
rekening "kakap" tersebut karena terbentur aturan rahasia bank.
Rahasia
bank didefinisikan sebagai kewajiban bank untuk merahasiakan segala sesuatu
yang berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan
simpanannya, kecuali dalam hal tertentu, termasuk untuk kepentingan
perpajakan. Agar dapat mengakses data nasabah bank, diperlukan instruksi
tertulis pimpinan Bank Indonesia kepada bank yang bersangkutan setelah
sebelumnya mendapat permintaan dari menteri keuangan. Sayangnya, dalam
Undang-Undang Perpajakan, permintaan tertulis dari menteri keuangan kepada pimpinan
Bank Indonesia hanya bisa dilakukan pada tahap pemeriksaan, penagihan, atau
penyidikan pajak.
Pemanfaatan
pasal 35A Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) yang
mewajibkan Bank Indonesia menyerahkan data debitor ke Ditjen Pajak,
tampaknya, akan terbentur aturan perbankan. Dalam praktiknya, hampir semua
nasabah debitor juga diwajibkan membuka tabungan bank agar memudahkan skema
angsuran pinjamannya. Hal ini mencerminkan bahwa semua nasabah debitor
otomatis akan menjadi nasabah penyimpan. Dengan demikian, sebenarnya, aturan
rahasia bank berlaku bagi nasabah penyimpan dan debitor, tanpa kecuali.
Saking
pentingnaya akses bank untuk pajak, negara-negara yang tergabung dalam OECD
sepakat menyusun panduan tata cara pemberian data perbankan untuk otoritas
pajak. Panduan ini merupakan mandat dari para pemimpin negara-negara G-20.
Dengan begitu, mau tidak mau, Indonesia sebagai anggota G-20 harus menaati
aturan tersebut. Akses terbatas bagi pegawai pajak tertentu yang dapat
mengakses data tersebut harus diciptakan. Juga, diperlukan standard operating
procedure (SOP) dalam rangka pemanfaatan data dan pengawasannya berdasar
prinsip-prinsip good governance. Kalau dilandasi dengan niat baik dan untuk
kepentingan negara, tentu tidak ada keraguan lagi bagi pihak terkait untuk
membuka seluas-luasnya data rekening nasabah perbankan untuk pajak. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar