Anas
dan Hal yang Belum Selesai
Ridho
Imawan Hanafi ; Peneliti dari Soegeng Sarjadi Syndicate
Jakarta
|
SUARA
MERDEKA, 24 Februari 2014
“Mereka berpeluang
membangun opini publik bahwa muatan politiklah yang menjadikan Anas ditahan”
MANTAN ketua umum Partai Demokrat (PD) Anas Urbaningrum memang
sudah mendekam di tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun bukan
berarti keriuhan di internal partai itu akan berhenti. Pada saat terus
menjaga napas pergelaran konvensi capres, orang-orang yang dianggap loyalis
Anas dipecat. Yang terbaru, Gede Pasek Suardika lantaran dinilai telah
melenceng dari pakta integritas.
Dalam rentetan pemecatan, Pasek bukanlah orang pertama. Tri Dianto
dan Saan Mustopa lebih dulu mengalami. Dianto dipecat dari partai dan
kedudukannya sebagai ketua Demokrat Cilacap, sementara Saan harus melepas
posisi sebagai Sekretaris Fraksi Demokrat di DPR. Tidak hanya itu, seperti
dikabarkan banyak media, tidak sedikit loyalis Anas di daerah yang dipecat.
Mereka yang dipecat antara lain yang menjabat pengurus partai di tingkat
provinsi, kabupaten, atau kota.
Ketersingkiran loyalis Anas dari Partai Demokrat tersebut
memperlihatkan, di dalam partai sedang terjadi dua hal. Pertama; partai itu
masih belum sepenuhnya keluar dari bayang-bayang perseteruan antara dua
kelompok: SBY dan Anas. Bayang-bayang ini memang perlahan timpang
kekuatannya. Kelompok yang disebut pertama terus menguat, sementara kelompok
yang disebut belakangan kian menyusut. Dengan kata lain, perseteruan
antarkelompok SBY dan Anas memang sudah memudar, namun bekasnya tidak mudah
terhapus.
Kedua; Partai Demokrat saat ini berupaya memulihkan diri dari
krisis elektabilitas. Upaya ini ditempuh melalui beragam konsolidasi dengan
tujuan untuk menguatkan soliditas internal. Yang terlihat bagi internal
partai tersebut, upaya itu akan sulit memenuhi pencapaian jika di tubuh
partai masih terdapat orang-orang yang dinilai memiliki potensi tidak loyal
pada SBY dan efeknya dikhawatirkan mengganggu soliditas. Karena itu, salah
satu jalan untuk bisa meminimalisasi kemunculan potensi tersebut adalah
menyingkirkan para loyalis Anas.
Apa yang terjadi di internal partai seperti itu memang memiliki
implikasi politik masing-masing. Implikasi dari yang pertama adalah dalam
jangka pendek, perebutan pengaruh antarpatron yang skalanya kuat di partai,
sepertinya kecil peluangnya terjadi. Areal pengaruh figur tidak lagi
menyebar, melainkan sudah memusat pada satu figur: SBY. Untuk rentang waktu
yang tidak panjang, ditambah kondisi partai yang sedang remuk, dominannya
kuasa figur SBY memang bisa dimanfaatkan untuk membantu menguatkan soliditas.
Sementara implikasi pada yang kedua, ketersingkiran para loyalis
Anas bisa memunculkan semacam barisan
kecewa. Kekecewaan ini tak akan dibiarkan, melainkan tentu dikelola. Salah
satu wujud pengelolaan kekecewaaan yang bisa dilihat adalah berdirinya
Perhimpunan Pergerakan Indonesia (PPI). Organisasi yang didirikan Anas dan
loyalisnya ini dideklarasikan bukan disebabkan tiadanya preseden politik di
internal Demokrat. Bagi Anas dan loyalisnya, PPI bisa menjadi instrumen
perlawanan politik terhadap Partai Demokrat.
Muatan Politik
Bagi para loyalis Anas, melawan memang jalan yang mengharuskannya
untuk ditempuh. Keyakinan mereka bahwa keterseretan Anas dalam kasus korupsi
karena kental muatan politik tidak akan banyak berpengaruh dalam wacana
publik jika hal itu tidak diimbangi dengan perlawanan politik. Maka, dengan
perlawanan itulah mereka masih berpeluang membangun opini publik bahwa muatan
politiklah yang menjadikan Anas mendekam di tahanan.
Dalam partai politik, meminjam Hofmeister dan Grabow dalam Political Parties: Functions and
Organisation in Democratic Societies (2011), konflik memang tidak dapat
dihindari, karena pada elemen partai terdapat perbedaan persepsi mengenai
beragam isu politik yang terjadi, serta persaingan pribadi untuk berebut
posisi dan pengaruh. Namun konflik di internal partai perlu diberikan jalan
penyelesaian sesuai dengan batas prosedur yang demokratis dan transparan.
Tanpa cara seperti itu konflik internal akan mengundang sekian risiko.
Terhadap itu, ketersingkiran loyalis Anas menjadi tantangan
kekinian menjelang pileg digelar. Saat ini, Demokrat dihadapkan pada kondisi
partai yang mengalami kemerosotan kepercayaan publik. Berbagai hasil survei
yang dilakukan oleh banyak lembaga memperlihatkan kisaran angka elektabilitas
partai tersebut di bawah 10 persen.
Beragam upaya yang dilakukan untuk memulihkan kembali tingkat
elektabilitas partai, termasuk salah satunya dengan menggelar konvensi juga
belum menunjukkan peningkatan elektabilitas yang signifikan.
Tidak cukup itu, Demokrat juga perlu menyiapkan berbagai
antisipasi kemungkinan kemunculan perlawanan balik dari mereka yang merasa
tersingkirkan dari internal partai. Bukan tidak mungkin mereka akan bersuara
untuk mengalihkan dukungan dari Demokrat dengan satu tujuan: agar perolehan
suara partai itu jeblok. Hal inilah yang sepertinya pada Anas dan partai
berlambang bintang mercy tersebut, masih terdapat ”hal-hal” yang belum
selesai. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar