Jumat, 28 Februari 2014

Kala KPK Merawat Mainan Koruptor

Kala KPK Merawat Mainan Koruptor

Rohman Budijanto  ;   Wartawan Jawa Pos
JAWA POS,  28 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                                                                                       
BENDA - benda mainan duniawi yang cantik disita KPK dalam serbuan ke sarang korupsi. Mulai mobil Innova, moge, hingga supercars sekelas Ferrari dan Rolls Royce antre memasuki kompleks KPK. Lahan parkir KPK pun berubah jadi semacam ruang pamer (showroom) berbagai jenis kendaraan sitaan. Seandainya ada salesgirls mesam-mesem dengan rok cekak di dekatnya, pastilah tempat itu dianggap showroom betulan.

Tak hanya orang kebanyakan yang silau dengan benda-benda simbol keserakahan korupsi itu. KPK pun tampak kikuk dengan sitaan benda-benda mainan mewah itu. KPK menyewa orang bengkel khusus mobil-mobil mewah agar mobil-mobil itu tetap kinclong dan tidak dijilat karat. KPK punya anggaran Rp 300 juta untuk perawatan barang bukti.

Perawatan barang bukti itu juga bentuk akuntabilitas lembaga negara atas kewenangannya. Berani menyita, berani merawat. Tujuan praktisnya, kelak kalau si pemilik benda-benda mewah itu terbukti bersalah dan masuk penjara, KPK bisa melelangnya dengan harga yang tetap baik untuk disetor ke kas negara.

Semestinya perlakuan kepada benda-benda wah itu juga diterapkan kepada benda sitaan KPK lainnya. Misalnya, bangunan kompleks olahraga Hambalang. Kabar yang terdengar dari lokasi proyek Hambalang bukanlah perawatan bangunan itu, tetapi pencurian besi, pipa, dan keran serta perangkat bangunan lain. Proyek Rp 2,5 triliun itu mangkrak berat dan makin rusak.

Bisa dibayangkan kelak ketika para tersangka dan terdakwa Hambalang sudah divonis, negara menderita kerugian berganda. Kalau orang-orang yang dituduh terlibat dalam korupsi itu divonis bersalah, sulit diharapkan dari vonis dendanya bisa menutupi kerugiaan negara yang amat besar itu. Kalaupun divonis tidak bersalah, bangunan proyek Hambalang itu tak bisa dikembalikan kepada para tervonis bebas, karena Hambalang adalah proyek milik negara. Para terdakwanya bersalah atau tak bersalah, negara tetap rugi bertimbun-timbun.

Ini memang dilema akut penegakan hukum. Tak hanya di KPK. Kita sering melihat barang-barang bukti, terutama kendaraan bermotor, yang disita polisi atau jaksa dari hasil kejahatan, menjadi besi karatan. Selain lamanya proses hukum (penyidikan, penuntutan, vonis, banding, kasasi, bahkan PK) yang bisa makan waktu bertahun-tahun, juga tidak adanya kewajiban kepada aparat hukum dan tak ada anggaran khusus untuk perawatan barang bukti. Karena itulah, si pemilik sekalipun sudah tahu barangnya yang dicuri sudah diamankan aparat, mereka sering enggan mengambil karena sudah rusak.

Baik negara atau rakyat biasa, sebagai pihak yang dirugikan, bila sudah memasuki proses hukum memang harus sabar. Tak bisa main rampas untuk digunakan kembali, meskipun itu demi mencegah kerugian lebih besar. Ada contoh kasus di Kejari Blitar yang menyita tower dinas kependudukan karena diduga ada korupsi Rp 1,9 miliar. Karena tak terawat, akhirnya tower itu ambruk menimpa bangunan lain.

Untuk kasus yang menimbulkan kerugian negara dengan angka raksasa, kita ingat kasus tambak Dipasena yang diserahkan Sjamsul Nursalim untuk membayar utang ke negara Rp 28,4 triliun. Tambak seluas sekitar 16 ribu hektare (sepertiga Kota Surabaya) di Lampung ini dinilai Rp 19 triliun. Namun, nilai ini makin merosot karena tak terurus dengan baik, ditambah konflik berkepanjangan dengan petani petambak. Meski kini sudah berproduksi lagi, tambak terbesar di Asia Tenggara itu tak bisa mencapai prestasi puncak.

Sangat banyak kasus seperti ini. Bahkan, mungkin "setiap" kasus penegakan hukum yang berhasil dituntaskan (pelakunya dipenjarakan atau didenda), kerugian takkan pernah bisa dipulihkan sepenuhnya. Namun, tak ada pilihan lain. Kalau hukum tak ditegakkan, kerugiannya bisa makin tak terperikan, karena chaos.

Ada contoh aktual yang membesarkan hati. Dalam kasus pidana perpajakan oleh Asian Agri Group (AAG), Kejaksaan Agung harus mengeksekusi putusan MA denda Rp 2,5 triliun. Menjelang tenggat 1 Februari lalu, Kejagung memblokir aset AAG Rp 5,3 triliun. Bila dilanjutkan dengan penyitaan seperti biasa, bisa-bisa perusahaan AAG itu kacau, karena produksi terganggu dan karyawan resah. Bisa-bisa perusahaannya bubar.

Karena itu, Jaksa Agung Basrif Arief menggandeng Menteri BUMN Dahlan Iskan untuk jaga-jaga apabila eksekusi atas aset-aset AAG dilaksanakan. BUMN ditugasi menjaga keberlanjutan kegiatan perusahaan. Taktik ini ampuh. Eksekusi fisik akhirnya tak jadi dilaksanakan karena AAG mulai membayar Rp 720 miliar. AAG juga sanggup mencicil Rp 200 miliar per bulan hingga Oktober 2014 untuk pelunasannya.

Eksekusi ala Kejagung itu mampu mencegah kerugian lebih besar. Pola ini mestinya bisa ditiru, disesuaikan dengan kekhususan masalah. Selain dengan BUMN, bisa saja kerja sama diperluas dengan lembaga-lembaga lain representasi pemerintah atau negara. Untuk merawat proyek Hambalang yang mangkrak, bisa saja Kemen PU dilibatkan. Jadi, yang dipedulikan aparat tak hanya sitaan berupa benda-benda mainan mewah nan "seksi".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar