Menyambut
Kampanye Mencerdaskan
Nuswantoro
Dwiwarno ; Dosen Fakultas Hukum Universitas Diponegoro
|
SUARA
MERDEKA, 25 Februari 2014
MENJELANG pelaksanaan Pemilu 2014 yang kurang dari 60 hari, suhu
politik lokal mulai meningkat dengan kemerebakan baliho, spanduk, dan banner
di sepanjang jalan. Sayang, alat peraga kampanye tersebut terpasang
sembarangan di gardu listrik, terpaku di pohon pinggir jalan atau pojok
perempatan jalan. Tidak saja mengurangi keindahan kota, alat peraga kampanye
itu mengganggu pandangan pengguna
jalan.
Alih-alih menarik simpati warga, justru jadi sampah visual yang
merampas hak masyarakat di ruang publik. Peraturan KPU tentang pemasangan
alat peraga kampanye menjadi tak berwibawa karena diabaikan dan tidak
ditaati calon anggota legislatif
(caleg). Apalagi batasan kampanye dan sosialisasi sangat sumir, yang
mendorong caleg menyiasati celah hukum aturan kampanye.
Setidak-tidaknya ada tiga alasan atas hal itu. Pertama; imbas
dari mekanisme perekrutan caleg yang instan, tidak mengakar di konstituen.
Ini berakibat hilangnya ikatan moral caleg dengan partai dan justru
memunculkan simbiosis partai dan para caleg. Bagi caleg, partai hanya sebagai
kendaraan atas keinginannya menjadi anggota legislatif. Sebaliknya, partai
mendapat keuntungan finansial dari caleg
bermodal kuat.
Kedua; persaingan ketat di internal dan eksternal partai dalam
satu daerah pemilihan (dapil). Ketatnya persaingan antarcaleg dalam satu
dapil mendorong mereka berlomba memasang gambar di sembarang tempat.
Celakanya, pemasangan dilakukan orang suruhan yang tidak memahami peraturan
KPU.
Ketiga; kalkulasi biaya berkampanye melalui penyebaran bahan dan
alat peraga kampanye lebih murah ketimbang pertemuan dengan masyarakat untuk
menjabarkan visi-misi program partai. Fenomena ini tidak lepas dari
kepentingan praktis sebagian masyarakat dan juga kekhawatiran caleg akan
banyaknya proposal permintaan bantuan tiap menjelang pemilu. Pemberian
bantuan dari caleg dianggap sebagai kewajaran dan menjadi kebiasaan, sehingga
tidak dianggap melanggar hukum karena masyarakat dan caleg sama-sama
diuntungkan.
Regulasi Kampanye
Secara substansial, semangat Peraturan KPU Nomor 15/2013 cukup
progresif karena mengatur zonasi dan
membatasi jumlah alat peraga kampanye yang dipasang. Harapannya, caleg tidak
jor-joran memasang alat peraga di sembarang tempat yang mengganggu keindahan
ruang publik. Sayang, peraturan baru diberlakukan mulai 29 Agustus 2013,
padahal sejak 11 Januari 2013 partai
sudah boleh berkampanye dalam bentuk pemasangan alat peraga di tempat
umum.
Keterlambatan regulasi juga berimbas pada mundurnya koordinasi
KPU dengan pemangku kepentingan. Penegasan luasan zonasi dan jumlah alat
peraga kampanye yang boleh dipasang tidak saja penting bagi pemda dan para
caleg, tetapi juga bagi masyarakat yang turut terlibat dalam pengawasan.
Di samping itu, juga penting bagi Panwaslu untuk menjamin
keadilan dan penegakan hukum. Sebab, dapil untuk caleg DPRD kabupaten/kota,
DPRD provinsi, DPR, dan DPD tentunya berbeda, sehingga tidak bijak kalau
perlakukannya disamakan. Sebaliknya, tanpa pengaturan tegas, ruang publik akan tampak semrawut,
tidak elok dipandang karena dijejali alat peraga.
Demikian halnya pemasangan alat peraga kampanye di titik-titik
reklame yang berbayar (pajak). Secara yuridis mereka terikat dengan asas-asas
perikatan yang tunduk pada hukum perdata. Sebaliknya, demi menjamin keadilan,
seharusnya tidak boleh ada alat peraga
kampanye di titik itu jika titik reklame berbayar termasuk zona terlarang.
Penyelesaian aspek hukum ini perlu mengingat kompetensi hukum yang mengatur
berbeda. Pembiaran atas hal ini berarti mencederai rasa keadilan karena
perlakuan diskriminatif pada caleg yang bermodal besar.
Ketidaktaatan pemasangan alat peraga kampenye sejatinya tidak
lepas dari UU Nomor 8 Tahun 2012. Meskipun secara eksplisit disebut sebagai
larangan, pelanggaran pemasangan alat peraga bukan sebagai pidana pemilu.
Sanksi yang dikenakan pun hanya penertiban, sehingga tidak menimbulkan efek
jera bagi pelanggar.
Demikian halnya penegakan hukum oleh aparat pemda (Satpol PP)
ketika harus menertibkan alat peraga kampanye sebagaimana diperintahkan
peraturan KPU. Tupoksi mereka sebagai aparat pemda secara hierarkis taat pada
kepala daerah (yang juga sebagai kader/ketua partai politik di daerah).
Kampanye Cerdas
Kampanye idealnya sebagai bagian dari pendidikan politik
masyarakat yang dilakukan secara bertanggung jawab. Masyarakat harus jadi
subjek untuk mengembalikan kepercayaan politik mereka agar tidak apatis
terhadap pemilu. Ironisnya, sampai saat ini masyarakat hanya jadi objek
klaim-klaim dukungan partai, bahkan dipaksa memaklumi perilaku kampanye
partai yang tidak mencerdaskan.
Konstruksi kampanye efektif dan mencerdaskan dapat digagas KPU
bersinergi dengan pemangku kepentingan. Misalnya, KPU memfasilitasi
pelaksanaan kampanye pertemuan dialogis di masing-masing dapil dengan
melibatkan tokoh/kelompok masyarakat, partai, dan caleg. Dalam konteks ini kampanye dimaknai
sebagai penyampaian gagasan yang akan diperjuangkan partai dan calegnya atas
masalah dan kebutuhan di dapil itu. Sementara masyarakat dapat menilai
kualitas partai dan caleg dalam menyelesaikan masalah agar layak dipilih.
Dapat pula disertakan kontrak/deklarasi moral-politik sebagai ikatan caleg
dan partai dengan masyarakat di dapilnya.
Dengan demikian masyarakat dapat mengawal, menagih, dan mendorong
pergantian antarwaktu (PAW) caleg jika tidak menepatinya. Dapat juga
disosialisasikan, partai/caleg yang mengelabui tak akan dipilih lagi dalam
pemilu mendatang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar