Relokasi
Pascabencana Berbasis HAM
Mimin
Dwi Hartono ; Penyelidik Komnas HAM
|
SINAR
HARAPAN, 25 Februari 2014
Belum selesai kita menyaksikan erupsi Gunung Sinabung yang menelan
17 korban jiwa akibat embusan awan panas, Gunung Kelud pun ikut meletus.
Tercatat beberapa orang meninggal akibat menghirup debu vulkanik dan
kecelakaan di pengungsian.
Ratusan ribu jiwa di tiga kabupaten sekitar Gunung Kelud
diungsikan, samap seperti warga sekitar Gunung Sinabung. Wacana untuk
merelokasi warga pun muncul mengingat puluhan ribuan kepala keluarga tinggal
di zona bahaya utama.
Langkah merelokasi warga tentu bukan kebijakan yang populer,
bahkan banyak ditentang warga. Hal ini tampak dari respons warga sekitar
Kelud yang menolak relokasi (Jakarta Post, 19/2). Hal ini juga terjadi saat
relokasi pascaerupsi Merapi pada 2010.
Kebijakan relokasi berimplikasi pada perubahan sosial, ekonomi,
dan budaya masyarakat. Merelokasi manusia bukanlah persoalan yang mudah. Itu
karena terkait berbagai aspek kehidupan masyarakat yang sudah tinggal
turun-temurun di tempat yang lama dan mempunyai profesi yang tetap.
Meyakinkan masyarakat agar mau dipindahkan bukanlah hal yang
bisa sekejap dilaksanakan. Dibutuhkan pendekatan dan dialog yang
berkelanjutan serta memastikan setiap orang terlibat di dalamnya. Pendekatan
relokasi tidak bisa dilakukan berbasis pada proyek, tetapi harus berdasarkan
nilai-nilai, norma, budaya, dan kapasitas masyarakat.
Untuk itu, pemerintah perlu belajar dari penolakan kebijakan
relokasi sebagian masyarakat di sekitar Gunung Merapi yang di antaranya
disebabkan pengabaian hak asasi manusia (Hartono, 2012). Jika sejak awal
hak-hak masyarakat dihormati dan dipenuhi, tidak ada penolakan atas kebijakan
relokasi yang bertujuan menyelamatkan manusia.
Hak-hak masyarakat yang terkait erat dengan relokasi adalah
pertama, hak masyarakat untuk berpartisipasi. Langkah-langkah untuk
mempersiapkan relokasi harus disusun bersama dengan masyarakat sebagai subjek
(participatory approach).
Dengan demikian, masyarakat akan memiliki sense of ownership atau rasa memiliki atas kebijakan relokasi
yang disusunnya. Hal-hal yang penting dalam merancang program relokasi adalah
di mana, kapan, dan bagaimana relokasi akan dilaksanakan. Hal-hal tersebut
harus dijawab sendiri oleh masyarakat dengan mempertimbangkan kesiapan dan
kapasitas yang dimilikinya.
Persoalan tempat relokasi menjadi hal yang sangat penting dan
pokok. Tempat yang baru harus bisa memenuhi kriteria dan standar hak asasi
manusia, yaitu aksesibilitas (terjangkau secara fisik dan ekonomi) dan
adaptabilitas (sesuai sosial dan budaya). Namun, harus juga memenuhi aspek
keselamatan dan jarak yang aman dari potensi bencana ke depan.
Gagalnya program relokasi pada sebagian dusun di Merapi dan
tempat-tempat lainnya adalah absennya partisipasi masyarakat dalam menyusun
kebijakan relokasi. Pemerintahlah yang menyusunnya tanpa melibatkan
masyarakat yang akan menjadi subjek relokasi. Akibatnya, masyarakat kecewa
dan merasa tidak dimanusiakan (Hartono, 2012).
Biasanya, program relokasi akan berjalan dengan lamban. Padahal,
masyarakat ingin segera mendapatkan kepastian tempat tinggal untuk
melanjutkan kehidupannya.
Buruknya koordinasi antarpemerintah di pusat dan daerah menjadi
salah satu sebabnya, sebagaimana terjadi di Merapi dan Sinabung. Pemerintah
Daerah Karo menyatakan belum siap dengan lahan relokasi, sedangkan pemerintah
pusat sudah siap membangunkan rumah.
Untuk itu, masyarakat bisa menyusun langkah-langkah relokasi
secara mandiri agar bisa berproses lebih cepat. Hal ini, misalnya, dilakukan
masyarakat Dusun Pelemsari Gunung Merapi yang membeli tanah dengan biaya
sendiri.
Secara komunal, mereka memilih dan membiayai sendiri pembelian
tanah sehingga bisa menampung seluruh keluarga di dusun tersebut. Terbukti,
mereka bisa mendapatkan tempat hunian secara lebih cepat dan nyaman dibanding
menunggu kebijakan dari pemerintah. Pemulihan sosial dan ekonomi mereka juga
berjalan dengan cepat dibandingkan dengan masyarakat lainnya, (Hartono,
2012).
Kedua adalah hak atas penghidupan bagi masyarakat. Pada masa
transisi tinggal dan hidup di tempat yang baru, mereka membutuhkan dukungan,
baik secara sosial maupun ekonomi. Untuk itu, pemerintah mesti menyediakan
dukungan yang mampu memberikan jaminan hidup bagi mereka, sebelum mempunyai
pendapatan yang tetap.
Persoalan ekonomi adalah sangat krusial. Sebagaimana yang
terjadi di Merapi, sebagian masyarakat menolak direlokasi karena secara
ekonomi, tinggal di tempat yang lama jauh lebih menguntungkan. Jika pindah ke
tempat yang baru, mereka khawatir akan kehilangan peluang ekonomi tersebut.
Ketiga adalah pemenuhan hak atas informasi. Pemerintah harus
terbuka dan transparan dalam menjelaskan kebijakan relokasi.
Jangan sampai timbul perasaan diskriminasi di antara para
pengungsi. Misalnya di Merapi, masyarakat mempertanyakan penyusunan dan
penetapan peta kawasan rawan bencana yang minim proses konsultasi dengan
masyarakat. Padahal, peta ini sangat penting karena menjadi dasar mana
kawasan yang harus direlokasi dan mana yang tidak.
Sebagian masyarakat di Merapi mengeluh karena peta kawasan rawan
bencana ditetapkan secara tiba-tiba. Mereka kecewa karena tiba-tiba
wilayahnya dimasukkan dalam kawasan rawan bencana, sedangkan kawasan lain
yang berdekatan tidak.
Sedini mungkin, penyusunan dan penetapan kawasan rawan becana
harus terbuka berdasarkan masukan masyarakat. Sepanjang penjelasannya logis
dan ilmiah, serta masyarakat didengar pendapatnya, pasti akan bisa diterima
dengan baik.
Pendekatan HAM menjadi sangat penting di saat kapasitas
pemerintah yang lemah dalam penanganan bencana. Dengan pendekatan ini,
potensi dan kapasitas masyarakat akan terbangun dan diberdayakan untuk
berpartisipasi dalam menangani bencana. Karena umumnya, masyarakat lebih
paham dan mempunyai kearifan lokal dalam menghadapi dan menyikapi bencana
sebagai bagian dari kehidupannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar