Rabu, 26 Februari 2014

Relokasi Pascabencana Berbasis HAM

Relokasi Pascabencana Berbasis HAM

Mimin Dwi Hartono  ;   Penyelidik Komnas HAM
SINAR HARAPAN,  25 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                                                                                       
Belum selesai kita menyaksikan erupsi Gunung Sinabung yang menelan 17 korban jiwa akibat embusan awan panas, Gunung Kelud pun ikut meletus. Tercatat beberapa orang meninggal akibat menghirup debu vulkanik dan kecelakaan di pengungsian.
Ratusan ribu jiwa di tiga kabupaten sekitar Gunung Kelud diungsikan, samap seperti warga sekitar Gunung Sinabung. Wacana untuk merelokasi warga pun muncul mengingat puluhan ribuan kepala keluarga tinggal di zona bahaya utama.

Langkah merelokasi warga tentu bukan kebijakan yang populer, bahkan banyak ditentang warga. Hal ini tampak dari respons warga sekitar Kelud yang menolak relokasi (Jakarta Post, 19/2). Hal ini juga terjadi saat relokasi pascaerupsi Merapi pada 2010.

Kebijakan relokasi berimplikasi pada perubahan sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat. Merelokasi manusia bukanlah persoalan yang mudah. Itu karena terkait berbagai aspek kehidupan masyarakat yang sudah tinggal turun-temurun di tempat yang lama dan mempunyai profesi yang tetap.

Meyakinkan masyarakat agar mau dipindahkan bukanlah hal yang bisa sekejap dilaksanakan. Dibutuhkan pendekatan dan dialog yang berkelanjutan serta memastikan setiap orang terlibat di dalamnya. Pendekatan relokasi tidak bisa dilakukan berbasis pada proyek, tetapi harus berdasarkan nilai-nilai, norma, budaya, dan kapasitas masyarakat.

Untuk itu, pemerintah perlu belajar dari penolakan kebijakan relokasi sebagian masyarakat di sekitar Gunung Merapi yang di antaranya disebabkan pengabaian hak asasi manusia (Hartono, 2012). Jika sejak awal hak-hak masyarakat dihormati dan dipenuhi, tidak ada penolakan atas kebijakan relokasi yang bertujuan menyelamatkan manusia.

Hak-hak masyarakat yang terkait erat dengan relokasi adalah pertama, hak masyarakat untuk berpartisipasi. Langkah-langkah untuk mempersiapkan relokasi harus disusun bersama dengan masyarakat sebagai subjek (participatory approach).

Dengan demikian, masyarakat akan memiliki sense of ownership atau rasa memiliki atas kebijakan relokasi yang disusunnya. Hal-hal yang penting dalam merancang program relokasi adalah di mana, kapan, dan bagaimana relokasi akan dilaksanakan. Hal-hal tersebut harus dijawab sendiri oleh masyarakat dengan mempertimbangkan kesiapan dan kapasitas yang dimilikinya.

Persoalan tempat relokasi menjadi hal yang sangat penting dan pokok. Tempat yang baru harus bisa memenuhi kriteria dan standar hak asasi manusia, yaitu aksesibilitas (terjangkau secara fisik dan ekonomi) dan adaptabilitas (sesuai sosial dan budaya). Namun, harus juga memenuhi aspek keselamatan dan jarak yang aman dari potensi bencana ke depan.

Gagalnya program relokasi pada sebagian dusun di Merapi dan tempat-tempat lainnya adalah absennya partisipasi masyarakat dalam menyusun kebijakan relokasi. Pemerintahlah yang menyusunnya tanpa melibatkan masyarakat yang akan menjadi subjek relokasi. Akibatnya, masyarakat kecewa dan merasa tidak dimanusiakan (Hartono, 2012).

Biasanya, program relokasi akan berjalan dengan lamban. Padahal, masyarakat ingin segera mendapatkan kepastian tempat tinggal untuk melanjutkan kehidupannya.

Buruknya koordinasi antarpemerintah di pusat dan daerah menjadi salah satu sebabnya, sebagaimana terjadi di Merapi dan Sinabung. Pemerintah Daerah Karo menyatakan belum siap dengan lahan relokasi, sedangkan pemerintah pusat sudah siap membangunkan rumah.

Untuk itu, masyarakat bisa menyusun langkah-langkah relokasi secara mandiri agar bisa berproses lebih cepat. Hal ini, misalnya, dilakukan masyarakat Dusun Pelemsari Gunung Merapi yang membeli tanah dengan biaya sendiri.

Secara komunal, mereka memilih dan membiayai sendiri pembelian tanah sehingga bisa menampung seluruh keluarga di dusun tersebut. Terbukti, mereka bisa mendapatkan tempat hunian secara lebih cepat dan nyaman dibanding menunggu kebijakan dari pemerintah. Pemulihan sosial dan ekonomi mereka juga berjalan dengan cepat dibandingkan dengan masyarakat lainnya, (Hartono, 2012).

Kedua adalah hak atas penghidupan bagi masyarakat. Pada masa transisi tinggal dan hidup di tempat yang baru, mereka membutuhkan dukungan, baik secara sosial maupun ekonomi. Untuk itu, pemerintah mesti menyediakan dukungan yang mampu memberikan jaminan hidup bagi mereka, sebelum mempunyai pendapatan yang tetap.

Persoalan ekonomi adalah sangat krusial. Sebagaimana yang terjadi di Merapi, sebagian masyarakat menolak direlokasi karena secara ekonomi, tinggal di tempat yang lama jauh lebih menguntungkan. Jika pindah ke tempat yang baru, mereka khawatir akan kehilangan peluang ekonomi tersebut.

Ketiga adalah pemenuhan hak atas informasi. Pemerintah harus terbuka dan transparan dalam menjelaskan kebijakan relokasi.

Jangan sampai timbul perasaan diskriminasi di antara para pengungsi. Misalnya di Merapi, masyarakat mempertanyakan penyusunan dan penetapan peta kawasan rawan bencana yang minim proses konsultasi dengan masyarakat. Padahal, peta ini sangat penting karena menjadi dasar mana kawasan yang harus direlokasi dan mana yang tidak.

Sebagian masyarakat di Merapi mengeluh karena peta kawasan rawan bencana ditetapkan secara tiba-tiba. Mereka kecewa karena tiba-tiba wilayahnya dimasukkan dalam kawasan rawan bencana, sedangkan kawasan lain yang berdekatan tidak.

Sedini mungkin, penyusunan dan penetapan kawasan rawan becana harus terbuka berdasarkan masukan masyarakat. Sepanjang penjelasannya logis dan ilmiah, serta masyarakat didengar pendapatnya, pasti akan bisa diterima dengan baik.

Pendekatan HAM menjadi sangat penting di saat kapasitas pemerintah yang lemah dalam penanganan bencana. Dengan pendekatan ini, potensi dan kapasitas masyarakat akan terbangun dan diberdayakan untuk berpartisipasi dalam menangani bencana. Karena umumnya, masyarakat lebih paham dan mempunyai kearifan lokal dalam menghadapi dan menyikapi bencana sebagai bagian dari kehidupannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar