Konflik
Politik Lokal
Asmadji
AS Muchtar ; Dosen Pascasarjana UII Yogyakarta,
Purek III
Unsiq Wonosobo
|
REPUBLIKA,
27 Februari 2014
Ketika Wali Kota Surabaya
Tri Rismaharini menangis dalam suatu acara televisi tentang adanya tekanan
politik yang membuatnya berkeinginan untuk mundur dari jabatannya, publik
semakin jelas melihat adanya konflik politik lokal yang makin marak di negeri
ini.
Sejak berlakunya otonomi
daerah di era reformasi yang ditandai dengan pemilihan kepala daerah secara
langsung oleh rakyat, konflik politik lokal memang sering mengemuka, tapi
selalu samar-samar. Dengan kata lain, banyak konflik politik lokal
berlangsung sejak pelantikan kepala daerah dan wakilnya hingga tiba masa
tugasnya selesai yang tidak mengemuka di ruang publik.
Yang menarik, dalam konflik
politik lokal, antara kepala daerah dan wakilnya seringkali sang wakil yang
merasa tertekan secara politik justru karena banyak urusan pemerintahan daerah
ditangani langsung oleh kepala daerah.
Dengan kata lain, mayoritas
wakil kepala daerah hanya bisa menggerutu karena disingkirkan atau dijadikan
seperti ban serep oleh kepala
daerah akibat koalisi politik yang dibentuknya memang seperti pepesan kosong.
Dalam kondisi tersingkir,
wakil kepala daerah sering mendapat kritikan pe das yang menyakitkan.
Misalnya, banyak pihak mengolok-olok selalu menerima gaji dan tunjangan,
padahal setiap hari tidur melulu karena semua urusan pemerintahan nyaris
ditangani semua oleh kepala daerah.
Karena itu, ketika ada
wakil kepada daerah yang mencoba aktif dan kebetulan tidak sesuai dengan
kemauan kepala daerah, barulah konflik politik mengemuka. Dalam hal ini,
terlepas siapa yang salah dan siapa yang benar, ujung-ujungnya menimbulkan
suasana tidak nyaman bagi kedua pihak dan juga bagi rakyat.
Dengan demikian, sebaiknya
konflik politik lokal dicegah sejak dini sebelum pemilukada berlangsung.
Misalnya, jika calon kepala daerah dan calon wakilnya berasal dari dua
partai, koalisi harus diberi catatan kaki untuk menjelaskan pem bagian tugas
dalam mengurus pemerintahan daerah.
Ibarat pilot dan kopilot
pesawat, posisi dan tugasnya masing-masing sudah jelas sehingga sejak pesawat
lepas landas hingga mendarat tak ada kesalahpahaman atau benturan
kepentingan. Demikian juga, kepala daerah dan wakilnya sejak semula harus
saling mengerti tugasnya masing-masing sehingga tak akan berbenturan yang
bisa merusak kinerja dalam arti luas.
Persaingan
politik
Kalau memang ada persaingan
politik antara kepala daerah dan wakilnya, hal itu tak boleh dibesar-besarkan
atau diekspresikan selama keduanya menjabat sesuai sumpah yang telah
diucapkan ketika dilantik. Persaingan politik antar partai tak boleh merusak
koalisi yang telah disepakati. Hal ini harus dimengerti dan dihormati kedua
pihak. Dan, jika suatu ketika muncul masalah di dalam pemerintahan, keduanya
tak boleh saling menyalahkan atau rebutan dominasi.
Harus diakui, persaingan
politik lokal antara kepala daerah dan wakilnya sering disebabkan oleh ambisi
partai masing-masing yang hendak merebut proyek-proyek basah. Dalam hal ini,
perda pun sering seperti seutas tali dalam permainan tarik tambang yang
diperankan kepala daerah dan wakilnya yang sama-sama dikendalikan oleh partai
masing-masing.
Hal yang lebih runyam,
persaingan politik di daerah yang sudah berkembang menjadi konflik politik
lokal sering kali bermuara dalam pusaran kasus korupsi yang dibongkar oleh
KPK. Dalam hal ini, bisa saja kepala daerah mela- porkan adanya karut-marut
di daerahnya yang terindikasi korup kepada KPK dan ternyata yang terjerat
kasus korupsi adalah wakilnya atau sebaliknya.
Saling
jegal
Banyaknya kasus korupsi
yang menjerat jajaran pejabat di daerah, ketika masih bertugas maupun setelah
selesai bertugas, konon memang bermula dari laporan orang-orang terdekat atau
koleganya dalam suasana konflik politik. Dengan kata lain, banyak pejabat
daerah punya keinginan menjegal kolega sendiri sehingga terjadilah saling
jegal.
Jika hal demikian yang
terjadi, lazimnya korupsi sudah sangat kompleks dan berkelindan dengan
kekuasaan koalisi. Misalnya, kekuasaan daerah menjadi seperti lahan subur
untuk korupsi yang diperebutkan oleh sejumlah partai.
Karena itu, konflik politik
lokal sama sekali tak akan menguntungkan bagi daerah. Bahkan, jika konflik
politik dibiarkan berlarut-larut, daerah akan terancam mengalami kemunduran
dalam banyak hal karena jajaran pengelolanya sibuk saling sikut dan saling
jegal.
Maka, jika ada salah satu
pihak memilih opsi mundur dari jabatannya untuk mencegah konflik politik
lokal berlarut-larut, layak diapresiasi meskipun risikonya juga bisa
merugikan daerah. Apalagi kalau yang ingin mundur itu sebetulnya figur yang
bersih, jujur, dan amanah, karena jika ia betul-betul mundur, daerah
berpotensi dikelola oleh pihak lain yang belum tentu bersih, jujur, dan
amanah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar