Irasionalitas
Pasar
Muhammad
Syarkawi Rauf ; Peneliti
pada Lembaga
Pengkajian Ekonomi dan Bisnis, FE Unhas
|
KOMPAS,
24 Februari 2014
Penghargaan Nobel Ekonomi 2013
yang diumumkan oleh The Royal Swedish
Academy of Sciences pada Oktober lalu diberikan kepada tiga ekonom
Amerika Serikat atas kontribusi mereka dalam menjelaskan pergerakan harga
aset. Ketiganya—Robert J Shiller, Eugene F Fama, dan Lars Peter
Hansen—menyimpulkan bahwa teori dan penelitian empiris ekonomi keuangan hanya
bisa memprediksi dengan baik pergerakan harga aset dalam jangka panjang,
bukan jangka pendek.
Penghargaan ini menjadi sangat
menarik karena diberikan kepada dua ekonom, yaitu Shiller dan Fama, yang
memiliki pandangan bertolak belakang. Bahkan, The New York Times (14/10/2013)
membuat judul Economist Clash on
Theory, but Will Still Share the Nobel. Adapun Hansen berkontribusi dalam
temuan Generalized Method of Moments
(GMM) untuk memprediksi pergerakan harga aset keuangan.
Perbedaan pandangan antara Fama
dan Shiller terletak pada asumsi bahwa investor bersifat rasional dan pasar
efisien.
Fama (1970) dikenal melalui
penelitian empirisnya tentang Efficient
Market Hypothesis (EMH). Sementara Shiller pada awal tahun 1990-an
terkenal melalui gagasannya mengenai behavioral
economics yang mengaplikasikan ilmu psikologi dalam analisis keuangan.
Gagasan Fama yang menonjol
adalah bahwa proses pembentukan harga aset keuangan selalu mencerminkan semua
informasi yang dibutuhkan pelaku pasar.
Pelaku pasar yang bersifat
rasional akan mampu secara tepat memprediksi pergerakan harga aset keuangan,
dan dengan demikian harga yang terbentuk adalah harga yang sebenarnya.
Hal ini mendasari penolakan
Fama terhadap pendapat Shiller pada tahun 2005 bahwa kenaikan harga properti
di AS yang sangat tinggi mengarah pada bubble (gelembung).
Fama yakin pasar memiliki
mekanisme koreksi, yaitu ketika harga aset rendah, maka investor rasional
akan membeli dan menjualnya kembali saat harga naik sehingga tidak terjadi
bubble.
Pandangan Fama mengenai
rasionalitas investor dan efisiensi pasar menjadi dasar deregulasi sektor
keuangan.
Wall Street—sebutan untuk pusat
keuangan terbesar AS—mendesain berbagai produk derivatif dan melakukan
sekuritisasi secara masif terhadap berbagai instrumen keuangan. Akibatnya,
sektor keuangan berkembang menjadi tidak terkendali melampaui perkembangan
sektor riil (kegiatan produksi).
Kecenderungan ini tidak
berlangsung lama karena terhenti oleh krisis keuangan tahun 2007 yang
sekaligus melahirkan pertanyaan mengenai kredibilitas para ekonom di Wall
Street dan juga ilmu ekonomi.
Gagasannya mengenai
rasionalitas investor dan efisiensi pasar menyatakan bahwa investor dengan
ketersediaan informasi baik (smart investor) akan bertransaksi melawan
investor yang tidak memiliki informasi memadai (noisy trader).
Faktanya, investor rasional
atau smart investor terbukti ikut memanfaatkan kenaikan harga aset. Investor
rasional yang diharapkan mendorong harga ke posisi yang sesungguhnya ikut
larut melakukan spekulasi sehingga ikut berkontribusi dalam menciptakan
bubble.
Irasionalitas pasar
Gagasan Shiller mengenai
behavioral economics membantah asumsi rasionalitas investor dan efisiensi
pasar.
Shiller menolak asumsi dasar
bahwa manusia sangat percaya dengan kemampuannya sendiri dan bahkan cenderung
mentransfer kecenderungan saat ini ke masa depan yang menyebabkan terjadinya
bubble.
Shiller jugalah yang pertama
kali membunyikan alarm adanya masalah di pasar aset keuangan dan perumahan
yang selama ini dikonstruksi dari asumsi investor rasional dan efisiensi
pasar.
Terbukti pada tahun 1990-an
Shiller memperingatkan terjadinya bubble di pasar saham yang disebabkan oleh
irasionalitas investor.
Secara empiris, kegagalan
ekonom dan ilmu ekonomi yang mengusung asumsi investor rasional dan efisiensi
pasar ditunjukkan oleh penerapan pendekatan EMH dalam memprediksi pergerakan
nilai tukar.
EMH menyatakan bahwa pasar
forward efisien jika secara penuh merefleksikan semua informasi yang ada dalam
memprediksi nilai tukar spot sehingga tidak memungkinkan investor rasional
memperoleh keuntungan tidak normal (Fama, 1970).
Hasil pengujian empiris EMH
menggunakan selisih suku bunga dalam negeri dengan suku bunga AS (dollar AS)
untuk memprediksi pergerakan nilai tukar rupiah per dollar AS menunjukkan
bahwa EMH ditolak (Rauf, 2002).
EMH dalam penelitian ini
menyatakan bahwa perubahan selisih tingkat bunga domestik dan luar negeri
secara keseluruhan tercermin dalam perubahan nilai tukar spot rupiah Indonesia
per dollar AS.
Implikasinya, penolakan EMH
juga dapat berarti menolak asumsi bahwa pelaku pasar bersifat rasional dan
terbukti pasar tidak efisien.
Karena itu, merujuk pada
Shiller, dalam kasus Indonesia, irasionalitas dan inefisiensi pasar keuangan
harus diatur oleh Otoritas Jasa Keuangan sehingga terhindar dari bubble.
Transaksi di pasar aset keuangan tidak boleh didominasi oleh transaksi yang
bersifat spekulatif yang bermotif rent seeker.
Akhirnya gagasan Shiller dapat
menjadi dasar bagi BI dan pemerintah untuk mengontrol lalu lintas modal
jangka pendek (hot money).
Hot money digunakan untuk spekulasi
yang menyebabkan gelembung harga saham, harga properti, mengganggu nilai
tukar, dan bahkan menyebabkan tekanan inflasi.
Menghilangkannya tidak mungkin
karena transaksi spekulatif pada taraf tertentu diperlukan untuk mendorong
perkembangan pasar keuangan nasional.
Solusinya, perlu disiapkan
alternatif penyedia likuiditas di pasar SUN, SBI, dan efek-efek yang saat ini
sangat tergantung pada pemasukan modal jangka pendek. Alternatif itu adalah
dengan membangun institutional
investors seperti asuransi dan dana pensiun (Nasution, 2013). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar