Gelombang
Kelima dan Bandara Kita
Rhenald
Kasali ; Pendiri Rumah Perubahan
|
KORAN
SINDO, 27 Februari 2014
Setiap
kali pulang bepergian dari luar negeri, seperti ke Eropa atau Amerika
Serikat, saya—dan mungkin juga Anda—kerap mengalami jetlag.
Maaf,
jetlag yang saya maksud kali ini bukan sekadar gangguan tidur akibat harus
beradaptasi dengan perbedaan zona waktu, tetapi lebih dari itu. Ini semacam
gegar kondisi atau satu-dua level di bawah gegar budaya. Misalnya, saat
berada di luar negeri mungkin kita terbawa pada kebiasaan setempat untuk
antre dengan tertib, tetapi begitu tiba di Tanah Air tibatiba kita mesti
salip-salipan atau serobot-serobotan dengan rasa waswas.
Atau,
kalau kita terbiasa dengan layanan bus kota yang tepat waktu, di sini
tiba-tiba semuanya menjadi serba-tak pasti. Salah satu hal yang juga saya
rasakan sebagai jetlag adalah kondisi bandara. Di luar negeri, bandaranya
begitu bersih, lapang, teratur, dan nyaman. Itu sebabnya begitu masuk ke
bandara, stres yang kita rasakan selama perjalanan menuju bandara langsung
menguap. Suasana di bandara-bandara luar negeri terasa begitu teduh. Makan minum
selama di bandara juga terasa enak dan menyenangkan. Lalu, toiletnya kering,
bersih, dan harum.
Kondisi
yang sebaliknya kita rasakan ketika berada di Tanah Air. Bandara-bandara kita
begitu padat, koridornya sempit, dan maaf, masih banyak bandara kita yang
terkesan kumuh dan kurang terawat. Semakin ke timur Indonesia, kita bisa
dengan mudah menemukan puntung-puntung rokok (dan bahkan kantong sampah
pinang) di berbagai sudut bandara. Kalau tidak sangat terpaksa, saya juga
enggan pergi ke toiletnya. Lalu, kalau tidak sangat lapar, saya juga enggan
makan minum di bandara.
Bukan
hanya ragu akan kebersihan dan kualitas rasanya, tetapi juga karena harganya
membuat saya merasa diperas. Kalau hanya 10–20% lebih mahal ketimbang harga
di luar bandara, saya masih bisa mengerti. Tak jarang selisih harganya bisa
100–200% lebih tinggi dengan rasa seadanya. Potret-potret kecil tadi sekadar
ilustrasi betapa dalam hal pengelolaan bandara, kita masih tertinggal
dibandingkan dengan bandara-bandara lain di dunia.
Mungkin
itu pula sebabnya pada tahun 2013, bandarabandara internasional milik kita,
termasuk Bandara Soekarno-Hatta sekalipun, belum ada yang berhasil masuk
dalam peringkat 100 besar bandara terbaik di dunia versi Skytrax. Oya,
Skytrax adalah lembaga independen asal London yang setiap tahun melakukan
survei dan memeringkat maskapai-maskapai penerbangan dan bandara-bandara di
dunia.
Gelombang Kelima
Sebagian
Anda, saya yakin, masih ingat dengan istilah World 1.0, 2.0, atau 3.0 yang
pernah saya ulas dari buku Pankaj Ghemamat. Di dunia transportasi pun kita
mengenal gelombang perkembangan peradaban. Pakar transportasi dan bandar
udara John D Kasarda membaginya dalam lima gelombang peradaban. Gelombang
pertamaterjadi pada abad ke-17 seiring dengan adanya pelabuhan- pelabuhan
laut. Lalu, gelombang kedua terjadi ketika masyarakat mulai memanfaatkan
sungai dan kanal-kanal sebagai jalur transportasi.
Ini
terjadi pada abad ke-18. Gelombang ketiga, perkembangan transportasi terjadi
pada abad ke-19 seiring dengan mulai dibangunnya rel-rel kereta api.
Kemudian, gelombang keempat terjadi dengan adanya pembangunan jalan-jalan tol
pada abad ke-20. Bagaimana dengan gelombang kelima? Ini adalah era
transportasi udara. Era ini dipicu oleh semakin banyaknya pergerakan manusia
maupun barang yang menggunakan layanan angkutan udara. Saya akan kutip saja
beberapa proyeksi dari International
Air Transport Association (IATA).
Selama
tahun 2012 hingga 2032, jumlah penumpang angkutan udara komersial dunia
diperkirakan tumbuh dari 5,4 miliar menjadi hampir 14 miliar atau setara
dengan 40 juta penumpang per hari. Masih menurut IATA, pertumbuhan jumlah
penumpang terbesar akan terjadi di Asia. Hal serupa terjadi pada layanan
angkutan barang yang volumenya diperkirakan bertumbuh hingga tiga kali lipat.
Menurut perkiraan Kasarda, akan lebih banyak lagi barang-barang seperti ikan
tuna, bunga, obat-obatan, komponen penerbangan, serta gadget dan
produk-produk berteknologi tinggi yang diangkut dengan menggunakan pesawat.
Bahkan
kelak sepertiga dari nilai total perdagangan dunia bakal memanfaatkan jasa
angkutan udara. Lagi-lagi IATA memperkirakan, pertumbuhan tertinggi angkutan
barang tersebut bakal terjadi di kawasan Asia. Nah, di antara negara-negara
Asia itu, tahukah Anda di mana saja terjadi pertumbuhan paling tinggi? Anda
benar, selain China, pertumbuhan besar itu ada di sini, di Indonesia, yang
membuat Garuda Indonesia habis-habisan mengeksploitasi pasar domestik dengan
pesawat ATR.
Gubernur
Kaltim Awang Farouk pun bersurat kepada Garuda agar tujuh bandara di daerah
terpencilnya pun dapat didarati pesawat-pesawat baru itu. Garuda pun
menyambutnya. Untuk mengimbangi pertumbuhan angkutan manusia danbarang,
maskapai-maskapai penerbangan pun terus menambah jumlah pesawatnya. Selama
tahun 2012 hingga 2032, IATA meramalkan, jumlah pesawat di seluruh dunia akan
bertambah dari 20.310 unit menjadi 41.240.
Bandara Faktor Kunci
Apa
yang bisa kita simpulkan dari beberapa perkiraan tersebut? Buat saya, bandara
bakal menjadi faktor kunci dari gelombang kelima peradaban transportasi, yang
terjadi pada abad ke-21. Sebab, ke mana lagi tujuan dari pesawat-pesawat tadi
kalau bukan ke bandara? Tentu saja konsepnya bukanlah bandara di masa lalu
yang membuat semuanya berpusat di Jakarta. Bayangkan kalau semua pesawat
harus bertemu di Jakarta untuk transit, apa jadinya Cengkareng?
Untuk
terbang dari Kalimantan Barat ke Kalsel misalnya, semua harus via Jakarta
dulu. Lantas selama ini, semua warga Cirebon, Bandung, dan Tasik pun harus
terbang dari Cengkareng, padahal mereka punya Bandara Husein Sastranegara di
Bandung. Ini tentu menambah beban bagi bandara di Cengkareng serta
jalan-jalan darat yang datang dan pergi dari dan ke bandara tersebut.
Jadi,
untuk melayani jumlah penumpang yang bakal mencapai 14 miliar tadi, kita
jelas membutuhkan bandara yang lebih banyak, lebih luas, lebih mudah diakses,
dan lebih cepat prosesnya. Saya sengaja tidak menyebut lebih bersih dan lebih
nyaman karena itu sudah menjadi standar minimal yang tidak bisa dikompromikan
lagi. Lalu, jika semakin banyak barang mudah rusak (seperti ikan tuna, bunga,
dan obat-obatan) yang bakal diangkut dengan layanan angkutan udara, para
pengelola bandara tentu mesti menyiapkan dukungan logistik yang prima.
Akses
ke bandara mesti lancar dan gudang-gudang berpendingin mesti tersedia di
kawasan dekat bandara. Barang-barang berteknologi tinggi juga membutuhkan
dukungan pergudangan yang memadai. Jadi, bandara, akses dan fasilitas yang
tersedia di sekitarnya adalah faktor kunci. Jika suatu bandara mampu
menampung lebih banyak pesawat—terutama yang berbadan besar–– serta mampu
membangun sistem untuk membuat arus manusia dan barang di bandara dan
sekitarnya menjadi lebih lancar, tentu akan lebih banyak peluang dari
gelombang kelima peradaban transportasi yang berhasil ditangkap dan baik bagi
perekonomian Indonesia.
Fenomena
inilah yang mencuatkan anggapan kemajuan perekonomian dari suatu negara akan
sangat ditentukan oleh perkembangan bandaranya. Menurut saya, anggapan
tersebut sama sekali tidak berlebihan. Rasanya kita juga mesti bergerak lebih
cepat lagi ke arah sana, yakni dengan membenahi bandara-bandara kita.
Setelah
Kualanamu (Medan), menyusul Bandara Sepinggan (Balikpapan), lalu juga
bandara-bandara di bandar-bandar ekonomi di seluruh Indonesia. Bandung pun
kini mulai padat dengan kunjungan wisatawan dari Malaysia yang berbelanja di factory-factory outlet kita. Demikian
juga di Sumatera Barat. Butuh kecepatan dan kesungguhan untuk menyambut
gelombang kelima ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar