Menakar
Kudeta Militer
Anwar
Hudijono ; Jurnalis dan Media Consultant
|
JAWA
POS, 25 Februari 2014
AKHIR – AKHIR ini berkembang sinyalemen kalau keadaan negara
sejak reformasi ini tidak kunjung membaik, kemungkinan militer bisa mengambil
alih pemerintahan.
Sinyalemen demikian memiliki dalih faktual maupun historikal.
Alasan historikal, militer memiliki kesejarahan yang kuat tidak begitu
percaya terhadap pemerintahan sipil. Dimulai pada 19 Desember 1948 ketika
Presiden Soekarno menyerah kepada Belanda. Jenderal Soedirman membangkang dan
menolak mematuhi Soekarno sebagai Panglima Tertinggi Tentara Nasional
Indonesia (TNI). Soedirman melanjutkan perang secara gerilya.
Militer menekan Presiden Soekarno untuk membubarkan parlemen
pada 1952. Itu artinya sama saja militer hendak melakukan kudeta atas
parlemen.
Ketika negara dalam keadaan sangat kritis menyusul peristiwa
Gestapu 1965, pada 11 Maret 1966 militer mengepung istana dan memaksa
Presiden Soekarno menyerahkan kekuasaan kepada Jenderal Soeharto melalui
Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar). Kemudian, militer/Soeharto
berkuasa selama lebih kurang 32 tahun.
Alasan faktual, kudeta militer masih dimungkinkan sebagai
penyelesaian terhadap krisis kenegaraan. Misalnya, di Thailand ketika militer
mengudeta Perdana Menteri Thaksin Shinawatra pada 20 September 2006.
Kasus terakhir adalah di Mesir yang memiliki banyak kemiripan
dengan Indonesia. Pada 3 Juli 2013 militer di bawah pimpinan Menteri
Pertahanan Jenderal Abdul Fatah Al Sisi mengudeta Presiden Mesir Mohamed
Morsi yang terpilih melalui pemilu yang sangat demokratis.
Ternyata langkah militer Mesir ini mendapat dukungan atau
minimal pembiaran Barat yang sering mengklaim diri sebagai kampiun demokrasi.
Padahal, kudeta atas Morsi benar-benar antidemokrasi. Artinya, dunia
internasional masih menoleransi kudeta militer.
Tahun lalu isu mempercepat berakhirnya
masa jabatan Presiden SBY yang dalam kata lain adalah kudeta, santer. Menurut
sahibul isu, sejumlah jenderal nonjob ada di balik rencana tersebut.
Sudah Dipereteli
Banyak juga yang tidak sepaham dengan sinyalemen adanya peluang
tentara melakukan kudeta. Atau setidaknya kemungkinan itu sangat kecil atau
hampir mustahil.
Yang berpandangan demikian berdalih, secara formal dwifungsi TNI
dihapus sejak awal reformasi. Berarti sudah tidak ada toleransi militer
memasuki ranah politik.
Secara substansial, sebenarnya kekuatan sosial politik TNI sudah
dipereteli oleh Soeharto sendiri di saat-saat terakhir kekuasaannya. Ketika
melihat Panglima ABRI Jenderal Benny Moerdani dengan kekuatan dan
kekuasaannya yang sangat besar sebagai ancaman, Soeharto melakukan
de-Benny-isasi atau mempereteli kekuatan pendukung Benny Moerdani.
Prof Dr Salim Said dalam bukunya, Dari Gestapu ke Reformasi
Serangkaian Kesaksian, menyatakan, tentara oleh Soeharto lebih difungsikan
sebagai penjaga dirinya dan keluarganya. Dengan memereteli kekuatan sosial
politik tentara, Soeharto ingin melahirkan pemerintahan sipil yang dipimpin
anak sulungnya, Tutut. Soeharto ingin menciptakan rezim dinastik.
Sudah terjadi perubahan mendasar dalam mind set para perwira.
Perwira produk 1980-an atau angkatan baru sudah berbeda dengan mind set
perwira angkatan revolusi dan angkatan peralihan. Pada angkatan revolusi, TNI
adalah organisasi perjuangan. Pada masa angkatan peralihan perwira lulusan
akademi militer mulai 1960-an sampai 1970-an, masih memegang sikap dasar
pendahulunya bahwa TNI adalah organisasi perjuangan, sekaligus sudah memiliki
kesadaran profesionalisme. Ada kesadaran bahwa militer tetap harus masuk
ranah politik.
Adapun angkatan baru memandang tentara itu pure profesi seperti
halnya wartawan, pokrol alias pengacara, hakim. Dengan demikian, tentara
lebih berfokus pada tuntutan pertahanan negara dari ancaman luar.
Pengetahuan perwira angkatan baru tentang sosial politik juga
tidak sekuat angkatan sebelumnya akibat perubahan orientasi pendidikan di
Akabri. Setelah kegagalan dalam Operasi Seroja Timor Timur, dilakukan perubahan
kurikulum Akabri dengan lebih banyak ilmu tentang kemiliteran. Ilmu tentang
sosial politik dikurangi cukup signifikan.
Saat ini tidak muncul perwira yang memiliki karisma, kekuatan,
sumber daya, dan jaringan sebagai modal untuk melakukan kudeta. Perwira
terakhir yang memiliki modal demikian hanya Jenderal Benny Moerdani dan
Letjen TNI Prabowo Subianto. Tetapi, kekuatan mereka tinggal sejarah.
Kekuatan Benny sudah dipereteli Soeharto, sedangkan modal Prabowo dihabisi
oleh Presiden Habibie.
Presiden SBY sepertinya juga tidak mau ada perwira yang bisa
memiliki modal untuk melakukan kudeta. Hal itu bisa dilihat dari langkahnya
mengangkat Panglima TNI dari luar TNI-AD dan positioning para jenderal
TNI-AD. Sebab, potensi kudeta itu ada di TNI-AD.
Tidak tahu persis alasan SBY mencegah munculnya jenderal
”gangland boss”. Untuk pengamanan dirinya dari kudeta, atau komitmennya
terhadap reformasi TNI, konsepnya dia susun.
Dalam pandangan ini, kudeta tentara tinggal menjadi sejarah.
Hanya, sejarah itu secara substansial dengan hukumnya sendiri terkadang
berulang. Bukankah kehidupan ini cakra manggilingan, berputar terus. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar