Menanti
Kepemimpinan Din
Mohammad
Bisri ; Mantan
Wakil Ketua Pimpinan Wilayah GP Ansor
Provinsi Jawa Tengah
|
SUARA
MERDEKA, 26 Februari 2014
RAPAT
harian Pengurus MUI Pusat pada Selasa (18/2) menetapkan Prof Dr Din
Syamsuddin sebagai ketua umum menggantikan Dr KH Sahal Mahfudh yang wafat
pada 24 Januari 2014. Din, yang sebelumnya wakil ketua umum, akan menjabat
hingga 2015. Adapun kursi yang ditinggalkan diserahkan kepada KH Ma’ruf Amin.
Din diharapkan mampu membawa MUI menjadi lebih baik. Keberadaan MUI di tengah
umat Islam kini menampakkan potret buram karena kurang bisa mewadahi aspirasi
dan kepentingan umat Islam. Beberapa persoalan justru diadukan ke Komnas HAM,
Komnas Penyiaran Indonesia, Komnas Perlindungan Anak Indonesia, Komnas Anti
Kekerasan terhadap Perempuan, dan sebagainya. Lembaga komnas tersebut dinilai
objektif dan diperhitungkan.
Karena
itu jika kehadiran MUI dianggap masih diperlukan, diharapkan mampu menjadi
artikulator aspirasi masyarakat sekaligus memperjuangkannya di tingkat elite,
untuk merealisasikan kebutuhan dan menyelesaikan masalah umat. Pembentukan
MUI pada 26 Juli 1975 antara lain dimaksudkan sebagai lembaga keagamaan yang
bisa meneruskan tugas rasul al ulama warosatul ambiya, mengajak masyarakat
untuk beramal makruf nahi mungkar. Ulama seyogianya memiliki kepekaan untuk
mendorong masyarakat berbuat baik dan mencegah dari hal-hal yang merendahkan
nilai-nilai kehidupan.
Selebritis Politik
Konsekuensinya,
MUI harus berani menunjukkan yang benar itu benar dan yang salah itu salah.
Karena itu, jika masyarakat atau umat, termasuk pemerintah, menyimpang dari
rel etika dan moral, MUI perlu mengingatkan. Prof Dr Ahmad Syafii Maarif
berpendapat, saat ini kemungkaran politik berjalan begitu saja tanpa hambatan
berarti. Rakyat begitu mudah kehilangan harapan dalam menatap masa depan
kehidupan.
Bagaimana
mungkin harapan mereka dapat hadir, sementara moral para elite bangsa yang
seharusnya menjadi tempat bersandar, begitu rapuh. Tak jauh berbeda ketika
rakyat mendengar berita politik dengan menonton infotainment selebritis, karena ternyata isi berita politik itu
hanya pergulatan kepentingan para selebritis politik. Intrik-intrik politik
di lingkaran kekuasaan saat ini bukan lagi hal baru (Agama dan Politik Moral, 2013).
Posisi
MUI saat ini memang sulit, lembaga itu dibentuk dan dibiayai oleh pemerintah,
tetapi kiprahnya sebagai ahli waris rasul ditunggu-tunggu umat. Meminjam
kata-kata Buya HAMKA, ketua umum pertama, MUI bagaikan kue bika yang sedang
dimasak dalam periuk belanga. Api dinyalakan dari bawah, sebagai ibarat
berbagai ragam aspirasi keluhan umat. Api pun mengimpit dari atas, sebagai
ibarat kepentingan pemerintah. Berat ke atas, niscaya putus dari bawah. Putus
dari bawah berarti berhenti sebagai ulama yang didukung umat.
Berat
kepada umat, kehilangan hubungan dengan pemerintah karena dianggap tidak
berhasil, tidak loyal kepada kekuasaan, atau antikemapanan. Ujungujungnya,
subsidi dana bisa dihentikan. Sejarah MUI dipenuhi tarik-menarik antara
kepentingan pemerintah dan suara nurani ulama. Sejak awal langkah sarat
dengan perjuangan ulama untuk melindungi umat dari berbagai kesulitan,
sekaligus mendukung berbagai program pemerintah yang makin berbobot, rasional
dan pragmatis. Melihat hal itu, yang dapat dilakukan MUI adalah berupaya
lebih menjaga jarak dengan kekuasaan serta kepentingan politik, ekonomi, dan
budaya yang bersifat sesaat artifisial. Kita membutuhkan political will
pemerintah, agar MUI relatif terbebas dari tarikan kepentingan politik,
sosial, dan ekonomi. Hal itu supaya kemandirian, independensi dan kedewasaan
dalam kerangka hubungan yang konstruktif, dinamis dan kritis dengan
pemerintah atau negara bisa terwujud.
Dalam
situasi demikian, pertanyaan yang kemudian muncul adalah bisakah negara
benar-benar independen dan tidak bernafsu mencampuri urusan MUI dengan
umatnya. Dengan ungkapan yang agak ekstrem, hal itu bisa diungkapkan dengan
kata ”posisi MUI di luar negara”. Maksud dari ungkapan itu adalah bagaimana
antara MUI dan negara berdiri pada wilayah masing-masing dan tidak ada
intervensi satu sama lain. Bukan MUI yang menafikan kehidupan bernegara dan
bukan negara yang menjadi polisinya MUI. Kalau terjadi saling keterpengaruhan
antara MUI dan negara, hal itu hanya terjadi pada tingkat moralitas seperti
pengelolaan negara yang didasarkan pada moral universal keagamaan.
Memang
tidak sepenuhnya bijak jika gerakan moralitas itu kemudian melakukan
pemutusan hubungan secara mutlak dengan negara. Jika harus mengambil pilihan
moderatif, sebaiknya MUI tetap berpolitik. Namun itu cukup menjadi jalan
sekunder, dan yang utama adalah peran sosial keagamaan. Selain untuk menjaga
netralitas, yang terpenting adalah posisi mereka sebagai pelayanan umat tidak
terlupakan.
Kebutuhan umat biasanya hadir pada saat-saat genting, yakni
ketika umat mulai tidak percaya kepada penguasa. Umat akan mencari
kepemimpinan alternatif yang sekiranya netral dan tidak memiliki keberpihakan
kepada parpol mana pun. Jika yang dicari itu tidak ada, mereka merasa
kehilangan tanpa perlindungan. Hal itu bisa berakibat pada rasa tidak percaya
terhadap situasi dan nasib bangsa sendiri.
Padahal,
kepercayaan merupakan social capital
yang niscaya adanya. MUI seharusnya bisa menghadirkan kepemimpinan alternatif
itu yang berada di luar kekuasaan. Umat yang frustrasi dan tidak percaya
terhadap negara, memiliki kecenderungan mencari tempat perlindungan baru yang
bisa memperbaiki kondisi hidup. Kaum marginal seperti pedagang kaki lima,
anak jalanan, tenaga kerja wanita, buruh, tani dan nelayan bila ditindih oleh
kebijakan negara yang tidak memihak, pasti membutuhkan advokasi. Peran ini
hanya bisa dilakukan dengan baik oleh MUI, bila bebas dari kepentingan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar