Pelajaran
dari Kasus Akil Mochtar
Zainal
Arifin Mochtar ; Pengajar Ilmu Hukum Ketua PuKAT Korupsi
FH UGM
Yogyakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 24 Februari 2014
KITA semua sudah memahami
betapa gonjang-ganjingnya dunia hukum di Republik ini akibat kasus Akil
Mochtar, mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) yang mempermainkan begitu
banyak kasus dengan tujuan mendapatkan uang. Dari sidang perdana, setidaknya
sudah ada beberapa tuduhan yang tersaji untuk Akil, yakni perihal hakim yang
menerima hadiah atau janji. Padahal, diketahuinya atau patut diduga pemberian
itu untuk memengaruhi perkara yang sedang ia adili. Selain itu, pemerasan
yang dilakukan oleh penyelenggara negara, juga perihal menerima hadiah atau
janji. Padahal, diketahuinya atau patut diduga pemberian itu karena kekuasaan
atau kewenangan yang berkaitan dengan jabatan dan dakwaan yang berkaitan
dengan pidana pencucian uang. Hal yang dilakukan Akil berkaitan dengan
belasan pemilu kada yang ditangani oleh MK.
Tentu proses persidangan ialah
satu hal yang baik. Namun, hal lain yang harus dikelola saat ini yaitu
bagaimana meramu dan melihat kasus Akil dalam rangka membuat resep dalam
bentuk peta perbaikan dan perubahan. Karena tanpa upaya membuat ramuan
perbaikan, dengan mudah kasus Akil jilid kedua atau bahkan ketiga tersaji
untuk negeri ini. Jika ada, itu akan semakin menggerus begitu banyak aspek
penegakan hukum dan demokrasi di negeri ini.
Pertama, tentu saja bagaimana
memperlakukan kasus Akil itu. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) punya
tanggung jawab yang sangat besar di kasus ini. Tentu, secara hukum, Akil
tetap bisa dijatuhi sanksi meski tidak terjelaskan dengan detail siapa yang
menyuap, oleh karena pasal-pasal mengenai pemberi suap dan penerima suap
ditempatkan secara berbeda. Akan tetapi, akan sulit diterima akal sehat jika
pemberi suap malah tidak mendapat sanksi hukum. Kita semua menolak dengan apa
yang terjadi pada kasus Gayus beberapa waktu silam. Gayus diberi sanksi menerima
suap, tetapi hingga saat ini perusahaan pemberi suapnya menghilang tanpa
jejak.
Dalam hal ini, tentu saja para
kandidat kepala daerah yang bermain dengan Akil harus dikejar. Mereka sudah
menjadi bagian dari perusak hukum dan demokrasi di negeri ini. Termasuk para
perantara penyuapan yang beberapa di antaranya adalah tokoh partai dan
namanya sudah berseliweran di bukti-bukti yang dimiliki oleh KPK dan
terungkap di media. Termasuk pengacara-pengacara yang bermodus operasi suap
dalam memenangi perkara di MK. KPK harus bisa mengejar semuanya. Mereka ialah
sel-sel kanker bagi penegakan hukum dan demokrasi yang jika tidak mampu
dikejar dan diamputasi, setiap saat akan menjadi bahaya aktual bagi negeri
ini.
Sederhana saja, jika ada yang menyuap hingga miliaran rupiah untuk duduk
pada jabatan kepala daerah, mudah untuk membayangkan apa yang akan terjadi
pada kekayaan daerah yang dipimpinnya. Logikanya, ada nada upaya
besar-besaran merampok kekayaan daerah untuk mengembalikan ongkos yang telah
dia keluarkan ketika bertarung dalam pemilu kada, termasuk untuk menyuap
Akil.
Kewajiban KPK bukan hanya pada
daerah yang sudah terungkap ada permainan Akil, tetapi juga daerah-daerah
lain yang ada sengketa hasil pemilihan di MK ketika Akil masih menjadi hakim
MK. Data menyebutkan ada berpuluh-puluh kasus pemilu kada lainnya yang dibawa
ke MK ketika itu. Saya termasuk orang yang tidak percaya bahwa hanya belasan
daerah itulah yang ‘dimainkan’ oleh Akil. Sangat mungkin banyak daerah
lainnya yang juga bermain dengan Akil. Karena itu, KPK harus bisa
mengungkapnya secara maksimal. Ketika gagal menyasar daerah lain yang juga
melakukan permainan, sama dengan membiarkan mereka tetap bertakhta di daerah
secara tidak benar dan kembali ke apa yang dituliskan di atas, mudah untuk
membayangkan kemungkinan perampokan pada daerah yang dipimpinnya.
Benturan kepentingan
Kedua, MK wajib untuk becermin pada
kasus Akil. Artinya, ada bangunan proses penyelenggaraan kewenangan MK yang
masih harus diberikan catatan garis tebal. Misalnya saja soal-soal upaya
mengatur panel hakim yang lebih memadai. Kasus di daerah tertentu yang memiliki
kesamaan latar belakang dengan hakim tertentu harus dihindari, termasuk
pemohon yang berlatar belakang partai tertentu dan dekat dengan partai yang
dulunya mengusung sang hakim MK harus juga dihindari. Rajinnya Akil memegang
perkara partai tertentu yang dekat dengan latar belakangnya, serta beberapa
daerah yang dekat dengan asal Akil membuktikan bahwa MK belum membangun cara
menghindari benturan kepentingan secara maksimal.
MK tentu bisa beralasan bahwa
hakim MK ialah negarawan yang bisa membedakan kepentingan pribadi dan bangsa.
Namun, hal yang keliru ketika hanya bersandar pada kualitas individu tanpa
membangun prinsip dan mekanisme yang bisa menghindari benturan kepentingan.
Apalagi, status kenegarawanan di MK bukan MK yang menentukan, tetapi lembaga
pengusung hakim MK yakni Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Mahkamah
Agung (MA). MK hanya mendapatkan kandidat yang dipikir oleh presiden, DPR,
dan MA ialah seorang negarawan.
Apalagi, MK sudah membuat
blunder dengan membiarkan kemungkinan benturan kepentingan calon dari parpol
yang tidak harus memutus hubungan dengan partai beberapa tahun sebelum
menjadi hakim MK dalam Putusan MK No 1-2/PUU-XII/2014 perihal Pengujian UU No
4 Tahun 2014 tentang Penetapan Perppu No 1 Tahun 2013 yang mengubah beberapa
ketentuan UU No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (dapat disebut
Perppu Penyelamatan MK). Akibatnya, MK kemungkinan akan dibanjiri eksodus
politisi yang bisa masuk melalui pintu presiden dan DPR. Tentu kita bisa
mengatakan Putusan MK keliru, tetapi seketika sudah diputuskan ia telah
menjadi hukum yang mengikat. Karena itu, upaya membangun hal-hal penunjang
agar tidak terjadi lagi adalah menjadi bagian yang penting. MK wajib
membangunnya karena ketiadaan aturan perihal menekan benturan kepentingan
ini.
Bukan hanya secara kelembagaan,
tetapi personal hakim MK juga harus menunjukkan sikap yang menghindari
hal-hal yang tidak pas. Kegigihan salah seorang hakim MK misalnya yang
mendatangi KPK saat Akil ditangkap, bahkan hadir di persidangan awal Akil
dapat bermakna ganda. Bisa saja beralasan perkawanan dan dukungan moril, akan
tetapi dapat juga diberi makna lain misalnya mendukung tindakan Akil. Orang akan
mudah berpikir bahwa ada apa antara Akil dan hakim MK ini? Jika soal
persahabatan dan dukungan moril, apakah dapat dikatakan tujuh orang hakim
yang lainnya tidak bersahabat dan tidak memberikan dukungan moril pada Akil
jika tidak mengunjungi Akil? Hal-hal yang sebenarnya jauh lebih dapat
dihindari jika dukungan moril tidak perlu diterjemahkan dengan antusiasme
mendatangi Akil.
Bukankah seorang negarawan yang baik bukan hanya berpikir
romantisme persahabatan dirinya, tetapi harusnya berpikir soal kegeraman
publik pada perilaku koruptif?
Ketiga, presiden dan DPR dalam
rangka mendorong kandidat hakim konstitusi. Secara logika konsekuensi ketika
mendorong dan menerima Perppu Penyelamatan MK, presiden dan DPR sudah
menerima bahwa hakim MK seharusnya diseleksi secara lebih baik oleh mereka, termasuk
melakukan sterilisasi dari parpol dengan sekurang-kurangnya 7 (tujuh) tahun
tanpa bau partai. Ketika presiden menawarkan ide tersebut, lalu DPR secara
kolektif menerimanya, harusnya dapat dikatakan bahwa mereka sangat setuju dan
ingin melaksanakan hal itu. Walau kemudian dibatalkan MK, setidaknya gairah
memperbaiki itu harusnya masih tetap bisa ditunjukkan dengan cara mengusung
orang yang benar-benar lepas dari bau partai dan dengan melakukan proses yang
lebih transparan, akuntabel, dan partisipatif.
Kerja Pengawas
Di sinilah anehnya ketika baru
saja mereka menerima dan mendorong substansi perppu, tetapi kemudian
orang-orang itulah yang mendorong kandidat yang masih sangat berbau partai
untuk masuk ke MK. Pertanyaannya sederhana, perenungan macam apa yang mereka
lakukan ketika menginisiasi maupun ketika menerima perppu? Seharusnya, ada
kesamaan antara pemikiran dan tindakan yang dilakukan oleh ketika beritikad
membuat perppu dan ketika menerimanya sebagai upaya ‘Penyelamatan MK’.
Jangan-jangan, benar yang dibicarakan beberapa pihak yang mengatakan inisiasi
perppu bukanlah bahasa substansi hukum, tetapi hanya gimmick politik. Termasuk
pihak yang mengesahkan perppu menjadi UU adalah bukan atas dasar pertimbangan
substansi hukum, tetapi hanya kepentingan politik.
Keempat, negara inilah yang
harus menyelamatkan pemilu kada secara khusus dan demokrasi secara lebih
luas. Negara adalah semua komponen negara ini. Partai harus diperbaiki agar
tidak menjadikan kandidat kepala daerah sebagai ‘sapi perahan’ untuk membeli
‘perahu’. Sudah mengeluarkan uang di awal untuk membeli perahu membuat mereka
semakin berani untuk mengeluarkan uang di proses akhir di MK demi memenangi
kontestasi yang sudah sangat mahal ia biayai sedari awal.
Pelaksana dan
pengawas pemilu juga harus bekerja jauh lebih baik agar menjaminkan tidak ada
kecurangan di daerah. Kualitas pemilu kada tanpa kecurangan sebenarnya
sebagian ialah cerminan kualitas penyelenggara dan pengawas pemilu. Semakin
baik mereka mengawal proses kontestasi, semakin rendah tingkat kecurangan dan
kemungkinan di bawa ke MK.
Sebaliknya, sebagian lainnya
juga ialah kualitas masyarakat dan kesadaran publik untuk mengatakan pemilu
kada adalah upaya mencari orang yang sangat baik memimpin daerah dan bukan
orang yang hanya murah hati menjanjikan dan membagikan hal tertentu ketika
sedang dicalonkan. Kualitas yang dibutuhkan untuk membangun daerah secara
jauh lebih baik. Tanpa peserta pemilu kada yang baik, kesadaran publik, dan
kualitas penyelenggaraan pemilu kada yang baik, kita hanya sedang naif
menunggu perbaikan kualitas demokrasi lokal.
Tentu, ada begitu banyak catatan
terserak yang dapat diambil dari mempelajari kasus Akil, tetapi tetap ada hal
yang harus segera diambil dan dilakukan. Tanpa itu, kita tak pantas disebut
manusia yang harusnya dapat menghindari untuk jatuh ke lubang yang sama,
berkali-kali. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar