Duhai,
Raksasa Gemulai
Bisma
Yadhi Putra ; Fasilitator Sekolah Demokrasi Aceh Utara;
Koordinator
Butuh Irigasi
|
OKEZONENEWS,
25 Februari 2014
SEDIKIT hal yang mungkin tidak bersedia kita terima adalah
kenyataan bahwa rakyat seperti kerumunan pin tanpa daya ketika menghadapi
hantaman bola boling (negara dan pasar). Menariknya rakyat masih mengaku
“perkasa”, meski hanya dengan ungkapan hiperbolis: rakyat berdaulat. Kasihan.
Maka berhubung enggan menerima asumsi di atas telah menjadi
pandangan bersama, tentu kita, sebagai rakyat, merasa nyaman untuk
mengabaikan kelemahan dan kekalahan diri dalam pertarungan “aktor segitiga”
(pasar-rakyat-negara). Terkadang orang-orang malas memikirkan kepelikan
dirinya, sehingga tak mau ambil pusing. Biarlah nasib berjalan sebagaimana
adanya. Dan jujur saja, kita seperti itu.
Akhir-akhir ini, rakyat kehilangan kekagetannya ketika
dibeberkan bukti-bukti korupsi elite. Dari seorang koruptor disita 40 mobil
mewah. Hebat. Tetapi rakyat enteng saja menyikapinya. Rakyat sudah terbiasa,
sebagaimana mereka terbiasa ditundukkan oleh pasar dan negara sambil tetap
meyakini dirinya berdaulat. Di sini negara merujuk pada elite. Rakyat mulai
pesimis dengan masa depan. Kesukaran menyerbu ingin diabaikan saja. Inilah
yang seharusnya kita akui saja.
Omong kosong kedaulatan
rakyat
Berhadapan dengan pasar, ketidakberdayaan rakyat begitu
gamblang. Pasarlah yang paling berdaulat. Kita terlena sebagai “masyarakat
pemakan”. Jika negara memerlukan aparatusnya (militer, pegawai negeri)
sebagai alat paksa untuk mempertahankan statusnya sebagai penguasa ketaatan
warganya (misalnya keharusan bayar pajak, wajib militer, atau memerintahkan
anak-anak lugu untuk menyambut presiden tercela di pinggir jalan), pasar sama
sekali tak membutuhkan itu.
Pasar bisa membuat kita membuka pakaian tanpa memaksa, lalu
menggantinya dengan yang terbaru. Kitalah yang memaksa diri sendiri. Rakyat
adalah aparatus pasar. Apa saja yang menarik mata, kita merasa bersalah kalau
tak memilikinya. Kalaupun masih ada kedaulatan yang tersisa, bukanlah
kedaulatan menghadang penetrasi pasar, melainkan kedaulatan memilih apa saja
yang ditawarkan. Sejujurnya, karena menjadi mesin pemakan, maka kita adalah pasar.
Rakyat adalah pasar itu sendiri.
Omong kosong selanjutnya adalah posisi kita di hadapan elite
sebagai pengendali negara. Di sini benar-benar lucu: kurcaci bisa
mengempaskan raksasa dengan gampang. Raksasa bukan pihak yang berdaulat. Pada
tingkat bahasa saja, kita diperlakukan sebagai bukan apa-apa. Rakyat adalah
entitas “yang secara akademik kita jorokkan dalam istilah akar rumput”
(Dahana, 2014). Rakyat bukan hanya rumput, tetapi akarnya: bagian terbawah
dari yang terbawah.
Elite-elite parpol menggunakan “akar rumput” untuk menyebut
konstituennya, pihak yang jumlah dan pengaruhnya vital bagi mereka. Cukup
melecehkan. Namun kita tak menyadarinya atau mungkin malas ambil pusing. Kan
sekadar istilah, hanya merendahkan lewat bahasa. Istilah tidak sampai membunuh
atau bikin lapar. Hem!
Pada contoh lain adalah soal kekeliruan raksasa yang ternyata
mengemis pada kurcaci. “Kami berharap ada bantuan pemerintah,” kata seorang
petani tebu yang jadi korban erupsi Gunung Kelud (Tempo.com, 17/2). Ini cuma satu contoh untuk mewakili begitu
banyak contoh lain. Bagi saya, ungkapan “bantuan
pemerintah kepada rakyat” itu keliru. Yang sebenarnya membantu adalah rakyat:
menyumbang uang kepada negara untuk kemudian diberikan kepada elite dalam
bentuk tunjangan; membantu pemerintah membeli perlengkapan kantor; membantu
pejabat supaya punya biaya perjalanan
dinas. Celakanya, tidak ada garansi bahwa rakyat akan mendapat layanan
atau perlindungan yang memadai setelah mereka membayar kepada negara.
Bersangkutan dengan politik, dapat dilihat bagaimana rakyat tak
kuasa pula menghadapi tarikan para elite. Jika elite bilang “bunuh”, rakyat
pun membunuh sesamanya. Jika diperintahkan “mampuskan”, maka seorang sipil
memampuskan sipil lainnya. Jika diimbau agar mendukung mantan—yang berpotensi
juga akan kembali menjadi—pembunuh, sipil mendukung sepenuh hati. Raksasa itu
digiring.
Padahal elite berjumlah lebih sedikit. Tidak perlu malu mengakui
bahwa rakyat yang postur kuantitatifnya ratusan kali lebih besar ternyata,
mohon maaf, sejujurnya lembek. Bukan lawan seimbang elite. Lalu di manakah
kedaulatan itu? Di mulut. Terutama Anda akan banyak mendengar celotehan
tentang kedaulatan rakyat dari mulut para (calon) elite sebelum pemilu.
Dalam hal ini rakyat tak sepenuhnya salah. Namun sistem,
demokrasi namanya, patut pula disalahkan. Dia terbukti lebih banyak memuaskan
elite. Rakyat mungkin tidak antisistem, tetapi sistemlah yang bisa dibuat
antirakyat. Demokrasi merupakan sebuah sistem politik yang longgar: seperti
celana dalam yang sebenarnya tak muat, tetapi dipakai secara paksa dengan
ikatan akar tanaman (kultur lokal).
Ada yang lebih menyedihkan. Ternyata kaum intelektual
kebanyakan, yang katanya “rakyat pemikir”, terutama ilmuwan politik, tidak
berdaya mencari sistem lain di luar demokrasi. Katakanlah bukan untuk
menggantikannya, tetapi sekadar melakukan riset dan eksperimen politik untuk
mencari sistem ideal yang benar-benar mendaulatkan intelektual itu sendiri.
Kita butuh sistem politik lain, sebuah sistem yang walaupun secara terang-terangan
tidak hendak menempatkan rakyat sebagai raksasa penuh kedaulatan, tetapi
punya potensi menutup celah terpilihnya elite-elite busuk dan lemah seperti
di Indonesia saat ini.
Menghadapi diri
Mungkin negara dan pasar adalah lawan yang terlampau tangguh.
Baiklah. Mari kita tinggalkan dan cari lawan lain. Bagaimana kalau kita
melawan diri sendiri saja? Mungkin bisa menang.
Sayangnya tidak juga. Rakyat juga kalah telak ketika menghadapi
perilaku destruktif dirinya sendiri. Ambillah contoh terdekat, yakni
menumpah-numpahkan sampah sembarangan sebagai kebiasaan purba orang-orang
kota dan desa di negara ini.
Di sini, elite yang jumlahnya jauh lebih kecil itu tak bisa
disalahkan sebagai penyumbang sampah terbesar. Kalaupun elite harus
disalahkan, itu lebih kepada kegagalan mereka dalam menggunakan politik untuk
menghadirkan kebijakan penanganan sampah yang efektif. Rakyatlah “penderma
sampah” yang konsisten, hingga membukit dan memampatkan aliran air got. Got
yang kecil saja tidak mampu ditangani oleh raksasa.
Ada begitu banyak ekspresi hidup manusia. Semua ekspresi
menghasilkan limbah. Tetapi saluran ideal untuk menyalurkan dan membuang
aneka wujud limbah ekspresi kerja manusia itu hanya satu, yakni got. Karena
ketidakmampuan itu, maka raksasa kemudian dibuat menderita oleh got, meski
bukan dalam jangka waktu seketika (Dahana, 2007).
Bahkan limbah sendiri pun tak mampu ditangani. Rakyat harusnya
berdaulat atas lingkungan hidupnya yang bersih sebagai haknya sendiri.
Kegagalan mengendalikan diri dan got tersebut pun membawa bermacam dampak:
makan tak selera, pernapasan terganggu, banjir, dan ditambah
implikasi-implikasi lanjutannya. Yang merusak manusia adalah manusia sendiri,
dengan bermacam ulahnya. Got yang macet adalah pertanda macetnya otak rakyat
dan elite. Tidak perlu malu mengakuinya.
Saya bukan hanya pesimis pada elite, tetapi juga pada rakyat.
Dan bukan racauan-racauan para motivator yang dibutuhkan, tetapi—selain
sistem politik baru yang dikhayalkan tadi— perilaku dan kesadaran diri yang
baru. Percuma punya sistem politik baru jika perilaku negatif masih
dipertahankan.
Sekarang coba renungkan sendiri contoh lain untuk membuktikan
bahwa kita memang kalah telak saat menghadapi diri sendiri. Kenali diri
sendiri dulu, baru kemudian bersitegang dengan pasar dan elite. Sudah cukup kita menjadi raksasa gemulai.
Mari sudahi ini semua. Duhai, raksasa, tegaplah! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar