Selasa, 25 Februari 2014

Kick Andy Heroes

Kick Andy Heroes

Ahmad Baedowi  ;   Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
MEDIA INDONESIA,  24 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                                                                                       
TRIBUTE dan salut pantas disematkan kepada Andy Flores Noya dan tim yang selama delapan tahun terus konsisten menjaga tali hati pemirsanya dengan tayangan yang inspiratif. Banyak kisah dan cerita tersaji secara mengalir ke relung hati setiap orang tanpa henti, dan Kick Andy tetap menjadi anomali tayangan di antara ratusan program TV yang terus membombardir masyarakat dengan persoalan kekerasan, dongeng yang menyesatkan, pertarungan politik yang menyesakkan, serta karut-marut hukum yang sengaja dipertontonkan secara tak bernurani.

Tradisi yang terus dijaga Kick Andy ialah menyajikan cerita dan kisah yang diangkat dari keseharian dan kesenyapan publikasi orang-orang yang tetap memercayai nurani sebagai pembimbingnya. Selain itu orang-orang sederhana dengan pikiran sederhana, tetapi melakukan pekerjaan yang tidak sederhana bersama komunitasnya, ialah pilihan cerdas Kick Andy dalam menentukan kriteria pahlawan sejati. Satu di antara yang terpilih ialah Ibu Fitri Nugraha Ningrum, seorang wanita tunanetra yang bekerja mendampingi anak-anak kurang beruntung untuk terus belajar dan belajar. 

Jika dilihat dari beragam latar belakang para pahlawan Kick Andy, jelas tampak bahwa kondisi masyarakat yang perlu diberdayakan ialah karena problem pendidikan.
Entah karena mereka miskin, kurang beruntung, salah kebijakan, atau apa pun alasannya, masalah pendidikan jelas merupakan akar masalah yang membuat semua potret buram kehidupan menyemburat. Ini berarti membenarkan hipotesis yang mengatakan bahwa akar setiap masalah yang ada di dalam masyarakat sebenarnya lebih didominasi oleh persoalan pendidikan tinimbang urusan sosial, ekonomi, politik, budaya, dan sebagainya.

Pertanyaannya ialah mengapa kita tetap bermainmain dengan persoalan pendidikan, bahkan menarik-narik pendidikan ke dalam ranah politik dan hukum? Inilah kebijakan 
yang tidak disadari para pengelola negara karena menjadikan persoalan pendidikan sebagai ajang untuk pertarungan politik, pembuk tian hukum, dan pembelaan terhadap kesenjangan sosialbudaya. Padahal, sejatinya pendidikan harus diyakini sebagai persoalan moral, yang prosesnya harus dijaga oleh kesungguhan hati nurani, bukan oleh kepura-puraan politik dan hukum. Ini terlihat dari bagaimana para pengelola negara ini membuat dan merekayasa program pendidikan dalam balutan kebijakan yang sangat politis dan tak berpihak pada aspek moral.

Kehilangan entitas

Selain itu, karena dominasi ekonomi lebih kuat dari apa pun di negeri ini, kapitalisme tetap merupakan fondasi yang sering digunakan dalam membuat kebijakan pendidikan. Kajian-kajian terbaru tentang filsafat pendidikan membuktikan bahwa masyarakat melihat tujuan pendidikan tidak lagi untuk mendidik manusia sebagai manusia, tetapi untuk penciptaan makhluk yang berpusat pada kepentingan ekonomi. 

Beberapa ahli bahkan berpendapat bahwa arti sebenarnya pendidikan bagi umat manusia di era globalisasi telah kehilangan entitas yang sebenarnya, yaitu moral hazard, dan lebih berorientasi pada kepentingan bisnis. Efek buruk cara pandang seperti ini dapat dilihat dari cara proses belajar-mengajar di sekolah yang tidak jarang antirealitas karena yang ada di otak mereka, tujuan akhir pendidikan adalah hasil, dan itu berarti harus ada ijazah.

Bagi saya, para pengambil kebijakan di bidang pendidikan harus secara sungguh-sungguh memiliki keinginan untuk membebaskan anak didik dari keterasingan realitas sosial yang berlangsung di sekitar mereka. Belajar dari warisan Paulo Freire, seyogianya pendidikan harus dibebaskan dari penindasan dan kesewenang-wenangan birokrasi, serta guru dan pendidik yang selalu mencoba membuat siswa/mahasiswa terperangkap, tak berdaya, dan terbenam ke dalam `kebudayaan bisu' (submerged in the culture of silence).

Proses pendidikan yang benar, baik di sekolah maupun di kampus, seharusnya dipenuhi sikap kritis dan daya cipta guru dan dosen yang berorientasi pada pengembangan bahasa pikiran (thought of language) siswa sehingga anak didik memiliki kemampuan untuk mengasah daya jelajah imajinasinya sesuai dengan lingkungan tempat tinggal mereka. Karena itu, sangat penting dalam proses belajarmengajar, guru dan dosen harus lebih banyak memperhatikan aspek kesadaran (consciousness) siswa mereka yang terpusat pada aspek afektif dan psikomotorik.

Dalam bahasa yang gamblang, bahkan Fraire membuat ilustrasi dialektika yang ajek dalam komponen pendidikan, yaitu pengajar (guru/dosen), pelajar (siswa/mahasiswa), dan realitas dunia. Pengajar dan pelajar ialah subjek yang sadar (cognitive), sedangkan realitas dunia merupakan objek yang harus disadari (cognizable). Pertanyaannya, apakah skema pengajaran dalam sistem pendidikan kita selama ini menggunakan jenis dialektika ini? Kita berani mengatakan tidak, karena hampir semua bahan ajar yang diajarkan di ruang-ruang kelas terasa jauh dari realitas dunia mereka.

Pengulangan demi pengulangan sering kali terjadi sehingga guru menjadi mati rasa karena tak memiliki kemampuan membaca pesan realitas sosial dalam subjek yang mereka ajarkan.

Dalam konteks inilah Paula Allman, dalam Critical Education against Global Capitalism: Karl Marx and Revolutionary Critical Education (2010), dengan gamblang menjelaskan kegagalan sistem pendidikan yang terlalu berorientasi kepada pasar dan dunia industri. Ada dua alasan mengapa Allman sangat pesimistis, yaitu 1) dunia saat ini tidak bisa menghindari kapitalisme dalam segala bentuknya; 2) hampir dapat dipastikan bahwa seluruh proses belajar yang berlangsung di ruang-ruang kelas saat ini justru cenderung antirealitas, sehingga antara das sein dan das solen dalam dunia pendidikan tak pernah nyambung.

Padahal sejatinya, seperti ditunjukkan oleh tayangan Kick Andy, pendidikan haruslah didasari pada cinta kasih yang tulus dan ikhlas, serta berdasarkan realitas sosial yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Tanpa cinta dan keikhlasan, pendidikan menjadi kering dan mudah terjerembap ke dalam ranah politik dan hukum. Pendidikan harus menjadi instrumen untuk mewujudkan dan melaksanakan nilai-nilai kemanusiaan, dengan moral sebagai panglimanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar