Kick
Andy Heroes
Ahmad
Baedowi ; Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 24 Februari 2014
TRIBUTE dan salut pantas
disematkan kepada Andy Flores Noya dan tim yang selama delapan tahun terus
konsisten menjaga tali hati pemirsanya dengan tayangan yang inspiratif.
Banyak kisah dan cerita tersaji secara mengalir ke relung hati setiap orang
tanpa henti, dan Kick Andy tetap menjadi anomali tayangan di antara ratusan
program TV yang terus membombardir masyarakat dengan persoalan kekerasan,
dongeng yang menyesatkan, pertarungan politik yang menyesakkan, serta
karut-marut hukum yang sengaja dipertontonkan secara tak bernurani.
Tradisi yang terus dijaga Kick
Andy ialah menyajikan cerita dan kisah yang diangkat dari keseharian dan
kesenyapan publikasi orang-orang yang tetap memercayai nurani sebagai
pembimbingnya. Selain itu orang-orang sederhana dengan pikiran sederhana,
tetapi melakukan pekerjaan yang tidak sederhana bersama komunitasnya, ialah
pilihan cerdas Kick Andy dalam menentukan kriteria pahlawan sejati. Satu di
antara yang terpilih ialah Ibu Fitri Nugraha Ningrum, seorang wanita
tunanetra yang bekerja mendampingi anak-anak kurang beruntung untuk terus
belajar dan belajar.
Jika dilihat dari beragam latar belakang para pahlawan
Kick Andy, jelas tampak bahwa kondisi masyarakat yang perlu diberdayakan
ialah karena problem pendidikan.
Entah karena mereka miskin,
kurang beruntung, salah kebijakan, atau apa pun alasannya, masalah pendidikan
jelas merupakan akar masalah yang membuat semua potret buram kehidupan
menyemburat. Ini berarti membenarkan hipotesis yang mengatakan bahwa akar
setiap masalah yang ada di dalam masyarakat sebenarnya lebih didominasi oleh
persoalan pendidikan tinimbang urusan sosial, ekonomi, politik, budaya, dan
sebagainya.
Pertanyaannya ialah mengapa
kita tetap bermainmain dengan persoalan pendidikan, bahkan menarik-narik
pendidikan ke dalam ranah politik dan hukum? Inilah kebijakan
yang tidak disadari
para pengelola negara karena menjadikan persoalan pendidikan sebagai ajang
untuk pertarungan politik, pembuk tian hukum, dan pembelaan terhadap
kesenjangan sosialbudaya. Padahal, sejatinya pendidikan harus diyakini
sebagai persoalan moral, yang prosesnya harus dijaga oleh kesungguhan hati
nurani, bukan oleh kepura-puraan politik dan hukum. Ini terlihat dari
bagaimana para pengelola negara ini membuat dan merekayasa program pendidikan
dalam balutan kebijakan yang sangat politis dan tak berpihak pada aspek
moral.
Kehilangan entitas
Selain itu, karena dominasi
ekonomi lebih kuat dari apa pun di negeri ini, kapitalisme tetap merupakan
fondasi yang sering digunakan dalam membuat kebijakan pendidikan. Kajian-kajian
terbaru tentang filsafat pendidikan membuktikan bahwa masyarakat melihat
tujuan pendidikan tidak lagi untuk mendidik manusia sebagai manusia, tetapi
untuk penciptaan makhluk yang berpusat pada kepentingan ekonomi.
Beberapa
ahli bahkan berpendapat bahwa arti sebenarnya pendidikan bagi umat manusia di
era globalisasi telah kehilangan entitas yang sebenarnya, yaitu moral hazard,
dan lebih berorientasi pada kepentingan bisnis. Efek buruk cara pandang
seperti ini dapat dilihat dari cara proses belajar-mengajar di sekolah yang
tidak jarang antirealitas karena yang ada di otak mereka, tujuan akhir
pendidikan adalah hasil, dan itu berarti harus ada ijazah.
Bagi saya, para pengambil
kebijakan di bidang pendidikan harus secara sungguh-sungguh memiliki
keinginan untuk membebaskan anak didik dari keterasingan realitas sosial yang
berlangsung di sekitar mereka. Belajar dari warisan Paulo Freire, seyogianya
pendidikan harus dibebaskan dari penindasan dan kesewenang-wenangan
birokrasi, serta guru dan pendidik yang selalu mencoba membuat
siswa/mahasiswa terperangkap, tak berdaya, dan terbenam ke dalam `kebudayaan
bisu' (submerged in the culture of
silence).
Proses pendidikan yang benar,
baik di sekolah maupun di kampus, seharusnya dipenuhi sikap kritis dan daya
cipta guru dan dosen yang berorientasi pada pengembangan bahasa pikiran (thought of language) siswa sehingga anak didik memiliki kemampuan untuk mengasah
daya jelajah imajinasinya sesuai dengan lingkungan tempat tinggal mereka.
Karena itu, sangat penting dalam proses belajarmengajar, guru dan dosen harus
lebih banyak memperhatikan aspek kesadaran (consciousness) siswa mereka yang terpusat pada aspek afektif dan
psikomotorik.
Dalam bahasa yang gamblang,
bahkan Fraire membuat ilustrasi dialektika yang ajek dalam komponen pendidikan,
yaitu pengajar (guru/dosen), pelajar (siswa/mahasiswa), dan realitas dunia. Pengajar
dan pelajar ialah subjek yang sadar (cognitive),
sedangkan realitas dunia merupakan objek yang harus disadari (cognizable). Pertanyaannya, apakah
skema pengajaran dalam sistem pendidikan kita selama ini menggunakan jenis
dialektika ini? Kita berani mengatakan tidak, karena hampir semua bahan ajar
yang diajarkan di ruang-ruang kelas terasa jauh dari realitas dunia mereka.
Pengulangan demi pengulangan
sering kali terjadi sehingga guru menjadi mati rasa karena tak memiliki
kemampuan membaca pesan realitas sosial dalam subjek yang mereka ajarkan.
Dalam konteks inilah Paula
Allman, dalam Critical Education
against Global Capitalism: Karl Marx and Revolutionary Critical Education
(2010), dengan gamblang menjelaskan kegagalan sistem pendidikan yang terlalu
berorientasi kepada pasar dan dunia industri. Ada dua alasan mengapa Allman
sangat pesimistis, yaitu 1) dunia saat ini tidak bisa menghindari kapitalisme
dalam segala bentuknya; 2) hampir dapat dipastikan bahwa seluruh proses
belajar yang berlangsung di ruang-ruang kelas saat ini justru cenderung
antirealitas, sehingga antara das sein
dan das solen dalam dunia
pendidikan tak pernah nyambung.
Padahal sejatinya, seperti
ditunjukkan oleh tayangan Kick Andy, pendidikan haruslah didasari pada cinta
kasih yang tulus dan ikhlas, serta berdasarkan realitas sosial yang terjadi
di tengah-tengah masyarakat. Tanpa cinta dan keikhlasan, pendidikan menjadi
kering dan mudah terjerembap ke dalam ranah politik dan hukum. Pendidikan
harus menjadi instrumen untuk mewujudkan dan melaksanakan nilai-nilai
kemanusiaan, dengan moral sebagai panglimanya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar