Golput
dan Pilihan yang Tersisa
Tamrin
Amal Tomagola ; Sosiolog
|
KOMPAS,
25 Februari 2014
SUDAH jatuh, tertimpa tangga pula. Demikianlah suasana penuh
penderitaan yang mencengkam hati dan pikiran banyak rakyat di negeri kita di
tahun politik ini.
Bukan hanya bencana alam beruntun: letusan gunung, banjir, dan
longsor yang meluluhlantakkan jembatan atau rumah dan sawah/ladang sebagian
dari mereka, melainkan juga letusan-letusan megakorupsi di puncak-puncak
lembaga negara dan banjir tebar janji-janji politik dusta yang melongsorkan
kepercayaan rakyat kepada elite nyaris ke titik dasar. Tergerus sisa-sisa
kepercayaan rakyat kepada politisi, partai politik, dan para pengelola negara
ini.
Dipaksa untuk golput
Berbeda dengan status golongan putih (golput) di era Orde Baru
yang murni pilihan bebas berdasarkan keyakinan ideologis dan analisis politik
rasional; golput dalam sepuluh tahun terakhir—yang proporsinya kian mendekati
angka 40 persen—sebagian besar karena dipaksa oleh dua hal. Pertama, kealpaan
sistem pendataan. Kedua, tak ada pilihan waras-rasional yang tersisa.
Keamburadulan sistem pendataan calon pemilih sudah telanjur
menjadi cacat sistemik—walau tidak sistematik—dan kronis yang terus berlanjut
tak terpecahkan tuntas dalam sepuluh tahun terakhir. Demikian pula dengan
keterpaksaan sebagian rakyat pemilih untuk menjadi golput karena
berkelanjutannya realita kualitas mayoritas calon anggota legislatif (caleg)
atau karena sebagian besar kandidat presidensial 2014 sama sekali tidak
meyakinkan. Keraguan dan ketidakyakinan calon pemilih yang kian mengental ini
digelembungkan oleh rekam jejak para petarung politik itu sendiri.
Ketiadaan pilihan waras-rasional yang tersisa, yang potensial
berujung pada membengkaknya proporsi golput di Pemilu Legislatif dan Pemilu
Presiden 2014, dilandasi paling kurang tiga faktor. Pertama, nyaris 100
persen anggota DPR adalah petahana yang terekam sebagai juara bolos, tukang
tidur, dan tunaprestasi; sekitar 90 persen (501 orang) mencalonkan diri
kembali sebagai caleg DPR; dan selebihnya bergeser ke gedung tetangga menjadi
calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Kedua, para caleg ini sama sekali tidak mumpuni dalam hal
kapabilitas kompetensi profesional (professional
incompetency). Ketunaan kompetensi profesional ini terukur pada (a)
rendahnya kemampuan menangkap dan mengagregasikan benang merah kegundahan
publik (political aggregation)
untuk kemudian diartikulasikan, baik dalam komunikasi politik (political articulation) maupun
pilihan-pilihan strategi perundang-undangan untuk mengatasi kegundahan publik
dan menyelesaikan permasalahan bangsa secara mendasar berkesinambungan; serta
(b) rendahnya penguasaan landasan/kerangka konstitusional dan keterampilan
perumusan perundang-undangan yang paling elementer di sebagian besar anggota
DPR petahana.
Rendahnya kapabilitas kompetensi profesional pada akhirnya
membuahkan bencana legislasi, yakni: (a) banyak rumusan perundang-undangan
yang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK); dan (b) kegagalan kronis dalam
memenuhi target legislasi setiap tahun.
Ketiga, kerapuhan kompetensi moral-publik (public-morality incompetency) para pejabat publik, khususnya para
legislator di Senayan. Tunakompetensi moral publik yang bisa berbeda tetapi
bisa juga tumpang-tindih dengan moralitas personal ini terlacak, baik pada
tingkat individual maupun pada tingkat institusional sebagai lembaga. Kian
panjangnya daftar legislator yang secara berjejaring menjarah Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN) serta betapa luas skalanya—sampai ke
perangkat-perangkat internal partai politik—dan begitu mendalamnya
cengkeraman jejaring korupsi di hampir semua perangkat kelembagaan DPR, makin
memunculkan kekhawatiran publik bahwa DPR sedang bertransformasi menjadi
Dewan Penjarah Rakyat.
Publik kian terperangah ketika dalam beberapa kesempatan
pembahasan dan perumusan perundang-undangan, beberapa koboi Senayan di Komisi
3 DPR berupaya dengan segala cara membonsai dan melemahkan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK). Mereka yang sangat bernafsu menyunat wewenang
KPK ini berargumen bahwa KPK tidak perlu diberikan wewenang luar biasa dan
malah tidak perlu ada karena negara sudah punya perangkat kelembagaan
pemberantasan korupsi baku yang sudah lama ada.
Para koboi Senayan ini mengabaikan fakta bahwa, menurut Transparency International Indonesia,
justru lembaga-lembaga baku seperti kejaksaan, kepolisian, dan jajaran
pengadilan bersama-sama dengan DPR adalah lembaga-lembaga yang berlumuran
dengan korupsi kronis yang sistemik dan sistematik. Menjelang Pemilu
Legislatif 9 April, upaya pelemahan KPK terus gencar diupayakan dalam 12
butir Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang diajukan oleh pemerintah.
Capres yang ditolak
Berbeda dengan mayoritas caleg petahana berlabel ”rongsok” yang
ditawarkan partai politik kepada calon pemilih 2014, para capres yang
nama-namanya sudah beredar luas di publik terdiri atas dua kelompok. Pertama,
kelompok capres ”stok lama” yang punya cacat masa lampau dalam bidang hak
asasi manusia (HAM), cacat dalam penyengsaraan rakyat di masa kini, dan
capres yang ”tunaprestasi” ketika memimpin di masa lampau. Terhadap para
capres kategori ini, beberapa jajak pendapat menemukan penolakan publik
terhadap sejumlah nama.
Kedua, kelompok capres karbitan yang ujuk-ujuk mencalonkan diri
tanpa mengukur kapasitas diri, rekam jejak yang telah dibukukan; tanpa
kemampuan mengenali dan merumuskan permasalahan-permasalahan utama negara dan
bangsa serta tidak siap dengan solusi secara mendasar dan berkesinambungan.
Karena karbitan, kelompok capres ini jelas bukan capres yang mekar karena
memar dalam karier kepemimpinan masing-masing.
Belajar dari penolakan dini dari publik atas sejumlah nama
capres, di masa mendatang sebaiknya setiap partai politik berbenah diri
secara sungguh-sungguh dalam sistem dan proses pengaderan secara berjenjang
dalam struktur kepengurusan partai politik. Seorang kader partai politik
harus mau meniti karier politik dari bawah, merangkak secara bertahap,
jenjang demi jenjang, yang terus dipantau dan dicatat rekam jejak
masing-masing dalam suatu sistem seleksi yang transparan, akuntabel, dan
demokratis. Cara-cara penunjukan oleh ”Bapak Besar” dan oleh ”Ibu Besar”
harus dihentikan.
Pemilu batal?
Upaya penegakan sistem dan proses demokrasi-konstitusional
berada di ambang bahaya yang nyata (present
and clear danger) jika proporsi mereka yang dipaksa golput dan yang
terpaksa golput melebihi tiga perempat dari jumlah penduduk yang berhak
memilih pada tahun 2014, baik saat pemilu legislatif maupun saat pemilihan
presiden.
Mereka yang golput secara ideologis dan berdasarkan analisis
politik yang waras dan rasional—terkait kebuntuan yang terakumulasi dalam
sistem dan SDM politik, baik di parpol maupun di lembaga-lembaga pengemban
demokrasi konstitusional—sudah pasti enggan menuju bilik suara pada 9 April
dan 6 Juli nanti. Proporsi golput ideologis ini terbatas di kelas menengah
terdidik perkotaan. Mungkin sudah kasep mengubah sikap mereka sampai dengan
hari pemungutan suara. Kesempatan ini akan dimanfaatkan oleh para manipulator
suara, khususnya di tingkat kecamatan.
Mereka yang terpaksa golput karena mayoritas caleg adalah
petahana dan menolak wajah-wajah di daftar calon presiden, mungkin sekali
akan menumpahkan kekesalan mereka sekaligus mencegah manipulasi suara dengan
cara mencoblosi semua gambar partai politik dan caleg serta calon presiden
yang berlaga. Ini suatu bentuk perlawanan terhadap politisi, partai politik,
dan penyelenggara negara.
Bagi partai politik yang berhasil melakukan regenerasi caleg dan
calon presiden, mereka sebaiknya menonjolkan secara all out wajah-wajah caleg dan calon presiden muda yang terbukti
mumpuni dalam hal rekam jejak. Mudah-mudahan para calon golput yang menjadi
golput karena alasan terpaksa, mengurungkan niat mereka dan dengan itu kita
bersama-sama bukan hanya dapat menyelamatkan Pemilu 2014, melainkan juga
menyelamatkan demokrasi konstitusional di negeri tercinta ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar