Politik
Profesi Guru
Halili
; Dosen Fakultas Ilmu Sosial Universitas
Negeri Yogyakarta
|
KOMPAS,
25 Februari 2014
MENTERI Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh menegaskan bahwa
pemerintah akan menempatkan profesi guru layaknya dokter atau apoteker.
Seorang sarjana pendidikan tidak otomatis menjadi guru profesional.
Untuk menjadi guru profesional, lulusan fakultas keguruan dengan
gelar sarjana pendidikan (SPd) tetap wajib mengikuti pendidikan profesi guru.
Demikian pernyataan Mendikbud yang dirilis situs Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan (11/2/2014).
Mendikbud menyamakan profesi guru dengan dokter dan apoteker.
Sarjana kedokteran (SKed) untuk menjadi dokter harus menempuh pendidikan
profesi. Begitu pula dengan sarjana farmasi, tak otomatis jadi apoteker.
Dengan analogi tersebut, di kesempatan yang lain Mendikbud menyatakan guru
akan diberi gelar formal ”gr” (guru), similar dengan ”dr” atau ”apt”. Cara
pandang demikian amat problematik dan cenderung misleading.
Sertifikasi guru
Pada masa lalu guru diidentikkan dengan ”pahlawan tanpa tanda
jasa”, juga disimbolisasi sebagai ”Oemar Bakri” seperti dalam satir Iwan
Fals. Dalam imajinasi itu, guru adalah sosok asketis: sederhana, tulus
mengabdi, dan pantang berbicara apalagi menuntut feedback finansial atas pengabdiannya itu.
Dalam situasi demikian, guru—juga pendidikan—dibiarkan
”seadanya”. Tugas pokok guru direduksi menjadi subject matter delivery, agen pelaksana kurikulum formal. Dalam
pemerintahan Soeharto, guru dikooptasi sedemikian rupa melalui Persatuan Guru
Republik Indonesia sehingga sepenuhnya menjadi birokrat penopang Orde Baru.
Guru tak lagi jadi ujung tombak pembangunan bangsa, tetapi alat kekuasaan
rezim. Mereka ”diangkat-angkat” secara sosial melalui lagu-lagu, himne, dan
seremoni peringatan Hari Guru, tetapi kesejahteraan mereka dibiarkan berada
di bawah standar juga kompetensinya.
Sang ”Oemar Bakri” pantang mempersoalkan gaji. Perekrutan guru
pun penuh kronisme, nepotisme, dan jauh dari prinsip meritokrasi dan
profesionalisme. Di sisi lain anggaran Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
lebih banyak digunakan untuk patgulipat proyek: pengadaan buku-buku minus
grand design dan program-program indoktrinasi, seperti lewat penataran P-4.
Hasilnya, guru tak banyak berkontribusi bagi kinerja pendidikan,
indeks pembangunan manusia, angka partisipasi kasar, angka partisipasi
sekolah, dan bahkan untuk soal pemberantasan buta huruf.
Setelah reformasi, muncul kesadaran kolektif untuk mereformasi
politik profesi guru, terutama berkenaan dengan kesejahteraan dan peningkatan
kompetensi. Keluarlah kebijakan sertifikasi guru. Harus diakui, sertifikasi
guru pada mulanya merupakan kebijakan yang diambil untuk meningkatkan kesejahteraan
mereka secara selektif dengan pertimbangan anggaran yang tidak tak terbatas.
Sertifikasi guru sekaligus pintu masuk untuk peningkatan kompetensi agar guru
menjadi agen pokok pembangunan sumber daya manusia, avant garde pembangunan
nasional. Jadi, sertifikasi bukan—dan semestinya bukan—semata formalisasi
(apalagi reduksi) profesi guru, layaknya dokter, apoteker, atau profesi
formal lainnya.
Tidak adil
Secara anatomis, profesi guru jelas berbeda dengan dokter atau
apoteker. Perbedaan tersebut paling tidak bisa diidentifikasi dari dua aspek:
jalur perekrutan dan implikasi sertifikat profesi. Dari aspek jalur
perekrutan, profesi dokter tak mungkin berasal dari sarjana non-kedokteran.
Demikian pula apoteker, tidak mungkin sarjana nonfarmasi. Jika mau diperluas,
profesi advokat juga bukan hanya dari sarjana fakultas hukum atau fakultas
hukum Islam (syariah).
Guru tidak demikian. Secara faktual guru tidak hanya direkrut
dari latar gelar akademik sarjana pendidikan atau lulusan fakultas keguruan.
Guru bisa dari latar belakang apa pun yang kemudian menimbulkan masalah
ketidaklinearan. Sangat banyak guru berlatar pendidikan komputer mengajar
IPS, sejarah, dan sebagainya. Jadi, sarjana pendidikan bukan satu-satunya
gelar akademik prasyarat untuk jadi guru. Apalagi secara sistemik pendidikan
profesi guru memang secara sengaja disiapkan untuk meng-guru-kan tidak hanya
sarjana dari fakultas kependidikan atau keguruan, tetapi juga
non-kependidikan. Di sisi kompetisi dan probabilitas, ini tidak adil!
Guru juga berbeda dengan dokter, apoteker, atau advokat dari
sisi lingkup pemanfaatan keprofesionalannya. Dokter, apoteker, dan advokat
bisa memanfaatkan keprofesionalan mereka dalam dua area sekaligus: publik dan
privat, sementara guru hanya publik. Mereka bisa memprivatkan profesi dan
membisniskan keprofesionalannya, guru tidak bisa. Guru hanya dapat
memanfaatkan keprofesionalannya untuk orientasi pada publik, di sekolah, baik
negeri maupun swasta (dengan asumsi swasta pun menyelenggarakan tugas formal
negara, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa).
Guru muda
Jadi, menyamakan guru dengan profesi-profesi di atas jelas
problematik dan sesat. Kebijakan pengembangan profesi guru pun berpotensi
salah jika didasarkan pada cara pandang keliru itu.
Daripada men-”dokter”-kan profesi guru dengan kebijakan yang
njelimet dan kontraproduktif, pemerintah lebih baik fokus pada guru muda
selain terus meningkatkan efektivitas program sertifikasi guru yang ada.
Pengembangan kualitas guru generasi matahari terbit (sunrise generation) dan kesejahteraan mereka merupakan PR amat
penting pemerintah. Secara faktual, banyak guru muda yang nyambi sehingga
pengembangan kompetensinya terbengkalai. Sebagian besar guru muda (honorer,
guru kontrak, dan guru tidak tetap) digaji jauh di bawah upah minimum buruh.
Bahkan, banyak dari mereka yang dibayar hanya Rp 100.000-Rp 300.000 per bulan
dengan perhitungan Rp 10.000-Rp 15.000 per jam per minggu yang diberlakukan
untuk sebulan. Mereka harus ”sabar” dengan situasi ini minimal 5 tahun. Ini
potret nyata!
Jika situasi tersebut dibiarkan, calon-calon guru terbaik akan
memilih profesi lain yang lebih menjanjikan (secara finansial). Hal ini mulai
terjadi. Lulusan cumlaude fakultas kependidikan lebih memilih menjadi pegawai
kontrak di bank atau perusahaan swasta. Ada juga yang memilih asal bisa CPNS,
misalnya sebagai penyuluh di Kementerian Pertanian. Sering penulis temui
sarjana pendidikan memilih menggunakan ijazah SMA atau SMK-nya untuk melamar
sebagai CPNS sebagai pengawal tahanan di kejaksaan atau sopir di instansi
lainnya.
Di sisi lain, pemerintah membuka kemungkinan melalui pendidikan
profesi guru bagi sarjana hukum yang ”susah” jadi advokat, sarjana teknik
yang ”sulit bekerja” di dunia keteknikan, dan sarjana dengan gelar akademik
non-kependidikan lain yang sulit bersaing di kompetensi akademik intinya.
Padahal, pemerintah telah mencanangkan program Generasi Indonesia Emas 2045.
Hanya kepada para guru terbaiklah amanat pembangunan generasi emas tiga
dekade mendatang dapat kita mandatkan. Hal itu membutuhkan politik profesi
guru yang tepat dan adil yang tidak reduksionis dan meminggirkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar