Kereta
Bandara
Ardi
Winangun ; Penggiat Komunitas Penulis Lapak Isu
|
OKEZONENEWS,
27 Februari 2014
Setelah
Bandar Udara Internasional Kuala Namu, Deli Serdang, Sumatera Utara, membuka
dan menyediakan jasa kereta bandar udara yang melayani para penumpang pesawat
yang hendak meninggalkan atau menuju ke bandar udara, selanjutnya beberapa
bandar udara di Indonesia melakukan hal yang sama.
Bandar
udara kedua yang sudah melakukan penyediaan jasa kereta adalah Bandar Udara
Minangkabau, Padang, Sumatera Barat. Selanjutnya menyusul Bandar Udara
Internasional Soekarno Hatta, Cengkareng, Banten; Djuanda, Sidoarjo, Jawa
Timur; Adi Sucipto, Jogjakarta; dan Ahmad Yani, Semarang, Jawa Tengah.
Dari
sekian bandar udara itu, Soekarno-Hatta yang harus bersusah payah membuka
jalur baru sebab bandara tersibuk di Indonesia itu jauh dari jalur kereta
api. Sedang Djuanda dan Ahmad Yani tinggal membelokkan sedikit rail-nya saja.
Kedua bandar udara itu letaknya tak jauh dari jalur kereta api. Ahmad Yani
kurang kurang dari 500 meter dari rail. Untuk Adi Sucipto keberadaan bandar
udara dengan stasiun kereta sudah melekat, tinggal optimalisasi saja
antarbangunan itu, tinggal mengintegrasikan.
Menyediakan
layanan kereta bandar udara tentu akan semakin memanjakan penumpang pesawat.
Dengan adanya layanan itu maka waktu tempuh dari dan menuju ke bandar udara
akan semakin efisien sebab akan terbebas dari macet. Keluhan yang paling
dirasakan penumpang pesawat dari dan ke Bandar Udara Soekarno Hatta adalah
sering macetnya perjalanan karena padatnya lalu lintas di Jakarta.
Dibanding
dengan Kuala Lumpur Malaysia dan Singapura, Indonesia jauh tertinggal dalam
soal kereta bandar udara. Bila kita pernah di Kuala Lumpur International
Airport (KLIA), kita akan melihat bagaimana bersih, aman, nyaman, tertib, dan
biaya terjangkau dari pelayanan kereta bandara udara. Dengan pelayanan yang
demikian membuat para penumpang pesawat hilang stress akibat rasa bosan di udara.
Kereta
bandar udara yang terdiri dari KLIA Express dan KLIA Transit, sepertinya tak
pernah penuh sehingga setiap penumpang mendapat tempat duduk. Di sinilah
kelebihan lain dari kereta bandar udara di negeri jiran itu. Pemerintah
Malaysia tak mengejar untuk dari keberadaan kereta bandar udara. Kalau
mengejar untung mereka seperti angkutan umum di Indonesia, yakni menunggu
penuh baru jalan.
Bersih,
nyaman, dan aman pada KLIA Express, KLIA Transit, dan pengelolaan stasiun itu
tak terlepas dari mental orang Malaysia yang tertib dan merasa fasilitas umum
harus dijaga bersama sehingga mereka tak merokok, membuang sampah, dan duduk
sembarangan. Mental masyarakat itulah yang membuat suasana kereta bandar
udara dan stasiun menjadi begitu lega dan bersih.
Saya
tak bisa membayangkan bagaimana wajah kereta bandar udara dan stasiunnya di
Indonesia. Pertama kali dioperasionalkan, bisa jadi suasananya aman dan
nyaman namun selanjutnya wajahnya bisa lain. Kelemahan orang Indonesia adalah
tidak bisa merawat fasililtas yang ada.
Penulis
mempunyai bayangan bahwa kereta bandar udara di Indonesia nanti akan menambah
kekumuhan dan kepadatan di bandar udara. Kalau kita lihat stasiun kereta api
dan bandar udara di Indonesia, jumlah orang yang hilir mudik di tempat itu
sangat melimpah. Limpahan orang di tempat itu bukan karena banyaknya
penumpang namun juga orang-orang yang mengais rejeki, mulai dari tukang ojek,
sopi taxi baik resmi atau gelap, calo tiket, pedagang kaki lima, penjemput,
dan orang-orang yang tujuannya tidak jelas.
Bila
di bandar udara ada stasiun kereta maka itu akan mengundang pencari rejeki
seperti di atas, yakni tukang ojek, sopir taxi baik resmi atau gelap, calo
tiket, pedagang kali lima akan semakin banyak. Dengan adanya kereta bandar
udara akan membuka ‘lapangan kerja’ baru bagi masyarakat. Sebagai tempat
lapangan kerja baru tentunya akan diminati banyak orang. Dan di sinilah
bertambahnya kepadatan itu terjadi. Bayangkan nanti kepadatan di
Soekarno-Hatta yang setahun dikunjungi 64 juta penumpang akan bisa bertambah
jutaan bila ada stasiun kereta bandar udara.
Mungkin
tidak menjadi masalah bila mental masyarakat Indonesia bisa diatur, tertib,
dan mematuhi aturan yang ada. Kalau kita lihat secara nyata, mental
masyarakat Indonesia susah melakukan hal yang demikian sehingga bandar udara
yang sudah padat akan bertambah padat hingga akhirnya menjadi kumuh.
Bagaimana tidak kumuh kalau orang-orang yang tidak jelas tujuannya nongkrong
di situ, bagaimana tidak kumuh kalau pedagang kali lima buka lapak seenaknya
sendiri.
Bisakah
pedagang kali lima dan orang-orang yang tak jelas ditertibkan? Sekali dua
kali bisa namun selanjutnya petugas keamanan sudah malas karena mereka tidak
jera-jera. Dan akhirnya terjadi kong kalikong antara pedagang kali lima dan
petugas keamanan bandar udara. Kong kalikong yang terjadi adalah, pedagang
kali lima memberi sesuatu kepada petugas dengan imbalan bisa berjualan di
bandar udara. Tak hanya pedagang kaki lima namun taxi gelap yang melakukan
langkah yang sama.
Kalau
kita di Soekarno-Hatta sering kita menemukan pedagang kali lima yang menjual
makanan, jam, atau barang lain tanpa takut ditangkap petugas. Baik dengan
trolly maupun menenteng tas mereka menawarkan dagangannya kepada calon
penumpang pesawat. Bahkan yang lucu, bila selepas tengah malam atau menjelang
subuh, pernah kita temukan tukang pijit membuka praktek di salah satu
terminal.
Dengan
kondisi mental masyarakat yang masih demikian maka keberadaan kereta bandar
udara di satu sisi memang bisa memberi pelayanan yang efisien dan cepat bagi
penumpang pesawat yang mau dan dari bandar udara namun di sisi lain akan
menambah kepadatan dan kekumuhan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar