Multitasking
dalam Pelaksanaan K-13
Khoiruddin
Bashori ; Psikolog Pendidikan, Tinggal di Yogyakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 24 Februari 2014
KURIKULUM 2013 (K-13) telah
menggelinding. Meskipun diawali dengan perdebatan yang berkepanjangan, pada
akhirnya semua pihak, `terpaksa' atau sukarela, berusaha dengan sekuat tenaga
mengimplementasikannya, terutama pada sekolah-sekolah yang ditunjuk menjadi
sekolah sasaran. Di balik kecemasan atau kegalauan para guru pelaksana,
terdapat kegembiraan yang tebersit. Guru merasa kembali diberi ruang untuk
berekspresi secara lebih merdeka.
Kegalauan yang dirasakan
umumnya berkaitan dengan kurangnya kepercayaan diri guru untuk dapat
melaksanakannya dengan baik. Setelah mereka mengikuti sosialisasi atau
pelatihan khusus yang dilakukan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
(Kemendikbud), kecemasan tersebut belum dapat terobati dengan baik.
Apalagi
jika ditambah dengan persoalan instruktur, yang menurut mereka, belum cukup
dapat `menjelaskan' substansi dan praktik baik K-13 itu sendiri. Kabar
gembiranya, para guru terlihat sangat antusias untuk berbuat yang terbaik
bagi terlaksananya kurikulum baru ini. Pemangku kepentingan pendidikan di
sekolah umumnya menaruh harapan besar, bahwa dengan K-13, generasi bangsa ke
depan akan menjadi lebih baik.
Tuntutan multitasking
Kehadiran K-13, yang memang
mensyaratkan kemampuan multitasking
bagi pelakunya, bertepatan dengan menguat nya budaya multitasking dalam
perkembangan budaya modern yang didominasi oleh ICT (information and communication technology) dalam berbagai
bentuknya. Tradisi interkoneksi dan kebutuhan akan kecepatan menjadi warna
tersendiri dalam budaya baru abad ke-21.
Multitasking
sendiri sebenarnya adalah kemampuan untuk melakukan dua jenis kegiatan atau
lebih pada saat bersamaan dengan mengandalkan audio (bicara) ataupun visual
(penglihatan). Meskipun pada awalnya itu istilah dunia teknologi informasi,
kini sudah menjadi istilah jamak dalam pergaulan hidup masyarakat yang
berkemajuan. Sesuai dengan Permendikbud No 65 Tahun 2013 tentang Standar
Proses, pembelajaran mencakup pengembangan ranah sikap, pengetahuan, dan
keterampilan yang dielaborasi untuk setiap satuan pendidikan.
Ketiga ranah kompetensi
tersebut memiliki lintasan perolehan (proses psikologis) yang berbeda. Sikap
diperoleh melalui aktivitas `menerima, menjalankan, menghargai, menghayati,
dan mengamalkan'. Pengetahuan diperoleh melalui aktivitas `mengingat,
memahami, menerapkan, menganalisis, mengevaluasi, dan mencipta'. Keterampilan
diperoleh melalui aktivitas `mengamati, menanya, mencoba, menalar, menyaji,
dan mencipta'.
Permendikbud tersebut juga
menjelaskan bahwa karakteristik kompetensi beserta perbedaan lintasan daan
lintasan perolehan turut serta memengaruhi karakteristik standar proses. Untuk
memperkuat pendekatan ilmiah (scientific),
tematik terpadu (tematik antarmata pelajaran), dan tematik (dalam suatu mata
pelajaran) perlu diterapkan pembelajaran berbasis penyingkapan/penelitian (discovery/inquiry learning). Untuk
mendorong kemampuan peserta didik untuk menghasilkan karya kontekstual, baik
individual maupun kelompok, sangat disarankan menggunakan pendekatan
pembelajaran yang menghasilkan karya berbasis pemecahan masalah (project-based learning).
Dalam pelaksanaan K-13 yang
tematik integratif demikian, guru memang dituntut untuk tidak sekadar kreatif
melakukan interkoneksi terhadap berbagai materi yang mengacu kepada tema
tertentu, tetapi juga disarankan untuk melakukan berbagai kegiatan
pembelajaran secara bersama-sama. Siswa didorong dan difasilitasi untuk dapat
memanfaatkan berbagai sumber belajar secara bermakna, guna memperkuat dan
memperkaya pemahaman dan penghayatan siswa terhadap tema-tema yang sedang
dipelajari. Guru yang kreatif dan melek teknologi tidak teknologi tidak akan
mengalami banyak kesulitan melakukan tugas-tugas demikian.
Masalahnya, seberapa banyak
Republik ini memiliki stok guru kreatif dan melek teknologi informasi? Namun,
pelaksanaan uji kompetensi guru (UKG), yang dilaksanakan beberaktu lalu
menyisakan banyak cerita lucu sekaligus memprihatinkan. Beberapa guru meminta
anak mereka membelikan laptop untuk UKG, padahal beliau belum dapat mengoperasikannya.
Atau guru yang berkeringat dingin saat mengerjakan soal di depan komputer.
Ada lagi yang mouse-nya sampai
terjatuh karena tidak paham bagaimana cara memegangnya dengan benar.
Multitasking vs refleksi kritis
Multitasking sebenarnya
memiliki dua macam. Pertama, multitasking
sederhana, dalam arti sempit, yaitu apa yang di kenal dengan parallel processing. Orang mengerjakan
dua tugas atau lebih dalam waktu yang bersamaan. Ini terjadi, misalnya,
ketika siswa membaca buku sambil mendengarkan musik. Adapun jenis yang kedua
ialah task-switching. Multitasking jenis kedua ini terjadi
jika seseorang dengan cepat berpindah dari mengerjakan tugas yang satu ke
tugas berikutnya. Contoh yang kedua ini, seperti ketika siswa sedang membaca
buku, ada layanan pesan singkat (SMS) masuk segera direspons.
Meskipun terdapat perbedaan
tipis di antara kedua perilaku tersebut, implikasinya sungguh sangat berbeda.
Parallel processing, misalnya,
mungkin memang meningkatkan efisiensi, terutama ketika salah satu tugas
melibatkan kegiatan motorik seperti berjalan, atau tindakan lain yang sudah
dilakukan secara rutin (Tugend, 2008).
Sebaliknya, rapid switching antartugas mental yang berbeda-beda dapat
menurunkan efisiensi, terutama jika tugas-tugas itu menuntut proses kognitif
yang lebih menantang. Studi menunjukkan bahwa setiap pergeseran perhatian
dari satu tugas ke tugas yang lain membutuhkan aktivasi sirkuit saraf yang
berbeda, yang dikoordinasikan oleh frontal lobe (Rubinstein, Meyer, & Evans, 2001). Switching ini memakan waktu, terutama ketika tugas mental
tersebut baru atau belum begitu familier.
Dalam sebuah studi yang
menyelidiki efek media multitasking
di dalam kelas, satu kelompok mahasiswa diizinkan menggunakan laptop selama
kuliah, dan kelompok lain tidak. Ternyata yang menggunakan laptop memiliki
skor lebih rendah pada tes memori tradisional terhadap isi kuliah. Para
peneliti juga mencatat, bagaimanapun, kinerja mahasiswa secara keseluruhan
dalam kuliah ini tidak terlalu terpengaruh oleh fakta bahwa mereka didorong
untuk menggunakan laptop di kelas dan telah aktif melakukan multitasking
sepanjang semester; hasil ini mungkin terjadi karena pembelajaran dilakukan
secara nontradisional, sangat dinamis, dan interaktif (Hembrooke & Gay, 2003).
Siswa yang sangat sibuk mungkin
berpikir bahwa mereka akan dapat menyelesaikan tugas dengan melakukan
multitasking, tetapi ternyata, menurut penelitian ini, dengan cara tersebut
mereka justru malah membutuhkan lebih banyak waktu guna mencapai tingkat kinerja
yang sama pada tugas akademik yang dibebankan (Viadero, 2008).
Peneliti lain bahkan menemukan bahwa interupsi
benar-benar dapat memfasilitasi kinerja pengambilan keputusan, jika tugas
yang diinterupsi sederhana dan interupsi ini berbeda dengan tugas aslinya (Speier, Valacich, & Vessey, 2007).
Dengan kata lain, multitasking tidak selalu buruk dalam
proses belajar mengajar. Ini juga tidak lantas membuat siswa menjadi lebih
mengalami kesulitan untuk menyelesaikan tugas. Namun, kita juga dapat
menyimpulkan bahwa switching tugas pada khususnya meningkatkan jumlah waktu
yang diperlukan untuk menyelesaikan tugas. Multitasking baik untuk
meningkatkan kualitas pembelajaran dengan menggunakan sistem memori yang
beraneka ragam, yang pada akhirnya berimplikasi pada fleksibilitas siswa
dalam menggunakan pengetahuan yang sudah dipelajari.
Hilangnya perhatian dan
waktu yang dihabiskan untuk beralih dari satu tugas ke tugas mungkin memiliki
efek buruk pada kemampuan siswa dalam mempelajari fakta dan konsep baru yang kompleks.
Yang perlu diwaspadai dengan
lebih serius ialah jangan sampai dengan tradisi baru multitasking ini siswa dan guru malah kehilangan kedalaman
berefleksi, melakukan permenungan terhadap setiap fenomena yang dipelajari. Pasalnya,
refleksi kritis inilah sebetulnya yang justru dapat mendekatkan siswa pada
spiritualitas yang dikehendaki oleh K-13. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar