Draf
Nol Indonesia
Rene
L Pattiradjawane ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS,
26 Februari 2014
KITA
mengajukan pertanyaan bagaimana sinergi klaim tumpang tindih kedaulatan di Laut
Tiongkok Selatan yang begitu kusut ditempuh melalui cara politik, diplomasi,
dan hukum. Kita khawatir, draf nol Indonesia Menlu Marty Natalegawa tidak
rampung sebelum pergantian pemerintahan hasil pemilihan presiden akhir tahun
ini.
Menlu
Natalegawa perlu menyadari, banyak perubahan drastis terjadi tidak hanya di
Laut Tiongkok Selatan, tetapi juga di Laut Tiongkok Timur ketegangan dengan
peluang konflik terbuka atas kepulauan kosong dan batu karang di berbagai
titik di kedua laut tersebut. Upaya sinergi Menlu Natalegawa ini yang menjadi
persoalan pokok sampai KTT Menlu ASEAN di Phnom Penh tidak mampu menghasilkan
komunike bersama yang tidak pernah terjadi dalam sejarah ASEAN.
Ada
dua hal harus dipahami bersama, pertama, kebangkitan Tiongkok harus berhadapan
dengan negara besar seperti AS, Jepang, dan India baik secara ekonomi,
perdagangan, maupun militer di kawasan strategis Indo-Pasifik. Ini tecermin
dari unjuk kekuatan Beijing melakukan latihan maritimnya di bagian timur
Lautan India dan memilih menggunakan selat-selat di Indonesia bagi kapal
perangnya untuk melintas.
Kedua,
pertumbuhan ekonomi dan perdagangan yang masif menyebabkan Tiongkok melakukan
berbagai cara politik, diplomasi, dan hukum secara unilateral sesuai
kepentingan nasionalnya. Ini tecermin bagaimana Beijing ”menghina” Presiden
Filipina Beniqno Aquino III karena ”kesal” atas langkah Manila membawa
persoalan sembilan garis putus-putus klaim Tiongkok ke arbritase
internasional.
Oleh
karena itu, bagi draf nol Indonesia untuk menjembatani klaim tumpang tindih
Laut Tiongkok Selatan antara ASEAN sebagai dinamisator dan Tiongkok sebagai
negara tunggal dengan banyak klaim tumpang tindih.
Kita
membagi tahapan tata berperilaku (code
of conduct) yang mengikat secara hukum sebagai draf nol-A mengatur
perilaku antarnegara ASEAN. Dan, draf nol-T sebagai pegangan setiap negara
anggota ASEAN yang memiliki klaim (Malaysia, Brunei, Filipina, Vietnam, dan
Indonesia) dengan Tiongkok untuk menyelesaikannya secara bilateral ataupun
multilateral.
Ada
faktor perlu direnungkan mencari solusi bagi perdamaian dan stabilitas
regional. Pertama, diplomasi megafon yang terjadi di kawasan dalam dua tahun
terakhir oleh berbagai pihak menunjukkan Tiongkok tidak ingin menyelesaikan
klaim tumpang tindihnya menurut prinsip dan norma-norma hukum internasional
atas wilayah maritim, khususnya terkait penggunaan samudra secara damai dan
kerja sama pengelolaannya.
Kedua,
klaim tumpang tindih tidak hanya dengan Tiongkok, tetapi antarnegara ASEAN
(termasuk tumpang tindih zona ekonomi eksklusif). Tiongkok ingin ”mimpi”-nya
tentang konsep pembangunan Jalur Sutra Maritim (Haishang Sichou zhi Lu)
memiliki legitimasi kedaulatan Beijing secara utuh.
Di
ASEAN, sejak lama pertikaian klaim wilayah diselesaikan melalui mekanisme
hukum internasional, seperti Sipadan-Ligitan (Indonesia-Malaysia) atau Preah
Vihear (Thailand-Kamboja). Ketika hukum internasional berbicara, tidak ada
negara protes dan tindakan unilateral, karena semangat kohesif hukum
internasional dijunjung semua anggota ASEAN.
Draf
Nol-A/T harus dirumuskan secara cepat dan tepat, dan hanya melalui ASEAN dan
peranan Indonesia, kita memastikan pemeliharaan kawasan ini tidak akan
meningkatkan berbagai bentuk militerisasi dan intimidasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar