Ekonomi
Tidak Lagi Rentan
Umar
Juoro ; Ekonom
Senior
di Center for Information and Development Studies dan
Habibie Center
|
REPUBLIKA,
24 Februari 2014
Indonesia pernah dimasukkan
sebagai salah satu dari lima negara yang rentan terhadap krisis (the fragile five) bersama Brasil,
India, Turki, dan Afrika Selatan. Cirinya adalah tingginya defisit neraca
berjalan yang membuat nilai tukar mata uang tertekan. Namun, dengan menurunnya
defisit neraca berjalan dari 4,4 persen pada triwulan III menjadi dua persen
dari PDB pada triwulan IV, sekalipun keseluruhan pada 2103 defisit masih
cukup tinggi, 3,2 persen, Indonesia tidak lagi dipandang rentan. Neraca
perdagangan juga sudah surplus cukup besar.
Implikasinya, modal asing
masuk lagi ke pasar modal dan obligasi, indeks mengalami penguatan, dan rupiah
juga terapresiasi. Pertanyaannya adalah apakah perbaikan ini akan
berkelanjutan atau mengalami permasalahan lagi?
Dengan sangat terbukanya ekonomi
Indonesia, pengaruh eksternal, terutama kebijakan bank sentral AS, the Fed, berpengaruh besar pada suku
bunga, nilai rupiah, inflasi, bahkan pertumbuhan. Jika the Fed mempertahankan
suku bunga rendah dan tidak mengurangi stimulasi secara drastis (tapering),
pengaruhnya positif terhadap ekonomi Indonesia, rupiah menguat, suku bunga
tidak naik, dan pertumbuhan ekonomi lebih tinggi.
Namun, sebaliknya, jika The Fed menaikkan suku bunga atau
paling tidak memperbesar tapering,
nilai rupiah akan melemah (terdepresiasi) dan suku bunga harus dinaikkan
sehingga konsumsi dan pertumbuhan melemah. Hal ini yang paling menentukan stabilitas
makroekonomi Indonesia.
Tampaknya, sampai akhir
2014, The Fed masih akan mempertahankan kebijakan moneter dengan suku bunga
rendah dan taperingyang tidak agresif. Bank sentral Eropa dan Jepang juga
tetap mempertahankan kebijakan moneter bunga rendah. Jika demikian, suku
bunga tidak dinaikkan, tetap dengan BI Rate 7,5 persen dan rupiah yang lebih
kuat rata-rata sekitar Rp 11.500 per dolarnya.
Selanjutnya, apakah kita
dapat mengurangi defisit neraca berjalan ke tingkatan sekitar dua persen PDB,
ini tidak mudah karena masih lemahnya ekspor dan kuatnya impor, terutama
barang modal dan minyak. Apalagi, diberlakukannya larangan ekspor mineral
dapat mengurangi nilai ekspor secara signifikan.
Kredit perbankan kemungkinan
juga pertumbuhannya lebih rendah. Tingginya deposito membuat likuiditas
relatif ketat. BI tampaknya masih akan mempertahankan kebijakan moneter yang
relatif ketat yang menekan pertumbuhan kredit. Karena itu, pertumbuhan kredit
investasi akan banyak terkoreksi.
Sekalipun Indonesia tidak
lagi dipandang masuk dalam kelompok rentan, ketidakpastian yang menyebabkan
volatilitas masih membayangi perekonomian. Ditambah lagi, dengan bagaimana
hasil pemilu dan pilpres berpengaruh terhadap ekonomi.
Jika hasil pemilu dan pilpres
sesuai dengan kehendak rakyat, yang tampaknya sejalan dengan pandangan investor,
ekonomi akan mengalami penguatan signifikan. Sebaliknya, jika hasilnya
berbeda, kemungkinan ekonomi akan terkoreksi. Berbagai survei menunjukkan
PDIP dan Golkar berada di posisi teratas untuk pemilu legislatif dan untuk
elektabilitas Joko Widodo jauh di atas capres lainnya. Hanya, apakah Jokowi
akan menjadi capres masih menjadi pertanyaan.
Dengan berbagai tantangan
tersebut, ekonomi Indonesia masih cukup baik dengan pertumbuhan sekitar 5,7
persen dan inflasi yang menurun sekitar 5,5 persen. Kita masih dapat
mengharapkan hasil yang lebih baik jika tantangan-tantangan tersebut dapat
diatasi dengan lebih baik juga. Pertumbuhan dapat lebih tinggi jika investasi
dapat difasilitasi dengan lebih baik. Inflasi dapat lebih rendah jika
perbaikan infrastruktur akibat banjir dapat dilakukan dengan segera. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar