Mewaspadai
Menguatnya Politik Simulacra
J
Kristiadi ; Peneliti Senior CSIS
|
KOMPAS,
25 Februari 2014
INGAR-bingar elite politik dalam kenduri akbar yang saling
berebut kekuasaan menjelang Pemilu 2014 tidak pernah menyurutkan semangat
melemahkan lembaga-lembaga yang dianggap dapat membendung hasrat dan ambisi
eksesif mereka meraih kekuasaan. Beberapa peristiwa akhir-akhir ini
mempertegas niat tersebut.
Pertama, hasrat memandulkan Komisi Pemberantasan Korupsi dengan
tajuk penyempurnaan UU KUHP. Untuk mewujudkan tekad itu, disusupkan beberapa
pasal yang menghilangkan ketentuan korupsi sebagai kejahatan luar biasa,
penghapusan penyelidikan, perizinan, pengaturan penahanan, serta penyidikan,
dan sebagainya. Dengan harapan, mereka makin leluasa menjarah kekayaan
negara. Ketentuan-ketentuan tersebut sangat berpengaruh terhadap kinerja
institusi yang selama ini berhasil membuat koruptor belingsatan dan jungkir
balik, mencoba lolos dari ancaman penjara. Dorongan nafsu menguras kekayaan
negara mengabaikan keresahan publik dan masukan KPK sebagai pengguna UU itu.
Kedua, memperkuat cengkeraman kuku kekuasaan kepentingan di
Mahkamah Konstitusi. Lembaga yang seharusnya independen dan sangat
bermartabat tersebut kini menjadi ajang perebutan pengaruh politik. Lebih
tragis lagi, MK mengabulkan uji konstitusi UU Nomor 4 Tahun 2014 tentang
Mahkamah Konstitusi yang semangatnya ingin menyelamatkan MK. Ketentuan dalam
UU yang diharapkan dapat membebaskan MK dari intervensi kepentingan politik,
yakni tidak menjadi anggota partai politik dalam jangka waktu paling singkat
tujuh tahun sebelum diajukan sebagai calon hakim konstitusi, dibatalkan MK
dengan dalih membela hak asasi dan hak konstitusional anggota parpol. Kasus
skandal korupsi akbar Akil Mochtar tidak berarti semua anggota parpol
berkelakuan buruk.
Argumen tersebut sangat dirasakan menyamarkan realitas bahwa
dewasa ini korupsi politik sudah mengorupsi Indonesia. Oleh karena itu,
secara apriori dan kategoris, kader partai yang menjadi hakim MK dalam
membuat keputusan pasti cenderung lebih mementingkan pertimbangan politik
daripada keadilan. Para politisi juga sangat berkepentingan melakukan
intervensi karena semakin banyak kader parpol terlibat kejahatan luar biasa
tersebut. Dapat dipastikan pula menjelang pemilihan dua hakim MK, para
politisi akan saling bertransaksi mengisi lowongan tersebut. MK telah
menyandera dirinya sendiri.
Ketiga, putusan MK terhadap permohonan pengujian konstitusionalitas
tentang pemilu serentak yang diajukan Koalisi Masyarakat Sipil yang dimotori
Effendi Gazali memerlukan waktu satu tahun tiga bulan. Putusan tersebut
diundur-undur diduga karena intervensi politik untuk mempertahankan
persyaratan pencalonan pilpres dengan ambang batas 20 persen kursi DPR. Pengambilan
keputusan tersebut dirasakan sebagai penyesatan logika demokrasi karena
menutup kesempatan rakyat mempunyai kandidat presiden alternatif, di luar
capres yang disodorkan parpol besar
di DPR.
Penyesatan alur pikir logika juga terjadi dalam kasus Wali Kota
Surabaya. Ancaman dan tekanan politik uang kepada Risma serta dugaan
pemalsuan dokumen pengangkatan wakil wali kotanya mendorong sosok yang
namanya masuk nominasi World Mayor Prize
2012 itu berkeras mengundurkan diri. Namun, tengara jahat tersebut
ditepis dengan menyamarkan ”krisis politik” di Surabaya hanya bersumber dari
kesalahan prosedur administrasi dalam proses perekrutan Wakil Wali Kota
Surabaya.
Fenomena kepalsuan dengan mengaburkan realitas melalui tanda,
simbol, atau perilaku yang berbanding terbalik dari kenyataan atau kebenaran
disebut simulacra. Logika sesat sengaja dibangun sehingga terjadi pemelintiran
makna. Kalau gejala ini dibiarkan tanpa kontra argumen yang didasarkan atas
logika sehat dan realitas empiris, masyarakat akan teperdaya dan memercayai
tanda, simbol, dan perilaku palsu sebagai realitas. Gejala seolah-olah
dianggap sebagai kebenaran. Perpolitikan dewasa ini sarat dengan fenomena
simulacra. Kerumunan manusia yang memburu kekuasaan disebut partai politik.
Padahal, perilaku kerumunan itu jauh dari fungsi dan tanggung
jawab parpol yang dalam dirinya melekat nilai-nilai yang memuliakan
kekuasaan. Mereka bukan parpol sejati. Demikian pula penamaan kerumunan
manusia lain dalam wadah DPR, DPRD, pemerintah, negara, dan sejenisnya lebih
tepat disebut seolah-olah dari ada realitas. Alasan utama, perilaku
lembaga-lembaga yang seharusnya mengabdi pada kepentingan masyarakat ternyata
melakukan hal sebaliknya.
Penyamaran realitas menjelang Pemilu 2014 yang semakin semarak
dikhawatirkan mengacaukan pilihan rakyat memilih kandidat wakil rakyat.
Terlebih kalau kerancuan persepsi beriringan dengan tingkat literasi politik
publik yang rendah serta keterbatasan akses informasi akan menghasilkan badut-badut
politik yang hanya piawai melakukan akrobat serta transaksi politik tanpa
komitmen jelas.
Francis Fukuyama melalui bukunya, The End of History and The Last Man (1992), mengingatkan, pada
masyarakat yang tingkat pendidikannya rendah, demokrasi tidak dapat bekerja
sebagaimana semestinya; diktator modern dapat lebih efektif mewujudkan
kondisi sosial yang mendorong pertumbuhan ekonomi dan demokrasi yang stabil.
Rakyat melalui sejarah perjuangan yang panjang telah dapat
menempa diri sebagai bangsa yang tidak hanya berhasil menjaga eksistensi dan
survivalitasnya, tetapi juga bergerak menuju tatanan kehidupan yang semakin
beradab. Namun, menghadapi Pemilu 2014 yang sudah di depan mata, masyarakat
tetap harus semakin waspada terhadap politik simulacra yang menyesatkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar