Hakikat
Ancaman Pemilu 2014
Herie
Purwanto ; Kepala Satuan Pembinaan Masyarakat (Kasat Binmas)
Polres Pekalongan Kota, Dosen Fakultas Hukum Universitas Pekalongan (Unikal)
|
SUARA
MERDEKA, 27 Februari 2014
PEMILU Legislatif 2014
tinggal beberapa hari lagi. Suhu politik kian menghangat. Imbasnya, suhu
keamanan dan ketertiban masyarakat pun ikut terpengaruh. Karena itu, Polri
yang mendapat amanat oleh UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia untuk memelihara kamtibmas, tidak bisa tinggal diam. Upaya
antisipasi perlu dilakukan sejah jauh-jauh hari. Termasuk beberapa hari lalu
dengan menggelar Operasi Mantap Brata, operasi khusus kepolisian yang
bertujuan pengamanan Pemilu 2014.
Latihan simulasi pengamanan
pemilu digelar dari tingkat Mabes Polri hingga polres. Dalam simulasi,
diasumsikan bagaimana ancaman rusuh massa dihadapi oleh Satuan Pengendalian
Massa. Diskenariokan, personel Dalmas berhadapan dengan massa yang awalnya
damai, kemudian meningkat eskalasinya menjadi massa yang beringas, hingga
akhirnya terjadi kerusuhan. Tidak ingin kerusuhan meluas, diterapkan
Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 16 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian
Massa, secara bertahap, dari tindakan bersikap lunak hingga penggunaan
senjata api.
Terhadap simulasi tersebut,
muncul pertanyaan, sudah sedemikian gawatkah hakikat ancaman Pemilu 2014,
sehingga Polri menskenariokan simulasi-simulai pengaman seperti itu? Selain
bentuk show force tentang kesiapan
Polri dalam menghadapi Pemilu 2014 tadi, apa upaya lain yang dilakukan?
Polri tak mau mengambil
risiko sekecil apa pun kemunculan benih ancaman yang ingin menggagalkan
tahapan pemilu. Karena itu, dari upaya preemtif, preventif, hingga represif
sudah dipersiapkan. Upaya preemtif dilaksanakan dengan mengedepankan
Bhabinkamtibmas dan fungsi intelijen, yang bertugas mendeteksi dini hakikat
ancaman yang masih berada dalam tataran potensi gangguan.
Upaya berikutnya,
mengupayakan fungsi preventif atau pencegahan, yang diemban oleh polisi
berseragam. Kehadiran polisi berseragam ini untuk mencegah tiap bentuk
hakikat ancaman yang muncul dalam tataran ambang gangguan, atau adanya
peningkatan eskalasi gangguan keamanan.
Tataran berikutnya berupa
tindakan represif atau penegakan hukum. Dalam konteks penegakan hukum
terhadap tindak pidana pemilu, Polri bersama dengan Kejaksaan dan Panwaslu
berada dalam satu wadah, yaitu penegakan hukum terpadu (gakkumdu).
Namun, tidak terbantahkan
risiko kemunculan ekses dari tindak pidana umum sangat melekat dalam
perjalanan tahapan pemilu itu sendiri. Terbukti di beberapa tempat, sudah
terjadi perusakan posko pemenangan pemilu caleg atau parpol, intimidasi
terhadap caleg ataupun eksekutif, seperti diberitakan media.
Hakikat
Ancaman
Kondisi hakikat ancaman
terhadap situasi kondusif pemilu tidak lepas dari fakta bahwa Pemilu 2014
sangat rentan terhadap kemunculan konflik. Untuk pemilu legislatif, di
tingkat Jateng ada 917 caleg yang memperebutkan 77 kursi DPR. Untuk DPD ada
32 calon yang memperebutkan 4 kursi, sedangkan 1.038 caleg propinsi
memperebutkan 100 kursi di DPRD I. Untuk DPRD kota/kabupaten tercatat 15.415
caleg yang menginginkan kursi di daerahnya masing-masing 1.549 kursi
tersedia.
Masing-masing caleg tentu
mempunyai basis massa. Makin mendekati pelaksanaan, makin terasa gerakan
mereka untuk bisa meloloskan diri dari “lubang semut”. Situasi ini, sangat
memungkinkan bibit gangguan keamanan berubah menjadi ancaman nyata seperti
tindakan kampanye hitam, intimidasi, perusakan bahkan sampai teror yang
mengarah pada keselamatan jiwa.
Menghadapi hal ini, Polri
telah berada di jalur yang benar, yaitu melakukan sinergitas polisional atau
menjalin sinergi dengan berbagai pihak, misal dengan TNI, Bawaslu, KPU
ataupun pihak lain yang terkait langsung atau tidak langsung dengan
penyelenggaran pemilu. Khusus dengan TNI, sudah ditandai tangani memory of
understanding (MOU).
Panglima TNI membuka diri,
untuk memberikan bantuan penebalan pasukan kepada Polri bila dibutuhkan.
Kehadiran TNI mem-back-up Polri
mengamankan pemilu, tidak berada di garis depan, yang langsung berhadapan
dengan massa. Kehadiran TNI untuk menambah kekuatan dan tidak diberikan
sektor tersendiri. Kewenangan bertindak di lapangan, pada saat tugas perbantuan,
atas perintah dari pimpinan Polri yang meminta tugas bantuan itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar