Korban
Korupsi
Dedi
Haryadi ; Deputi
Sekjen Transparansi International Indonesia
|
KOMPAS,
27 Februari 2014
Siapa
korban bencana letusan Gunung Kelud?
Siapa korban pelanggaran hak asasi manusia pada kerusuhan Mei 1998,
beberapa tahun silam?
Pertanyaan
ini relatif mudah dijawab. Kita bisa tahu secara akurat jumlah korban, nama,
domisili, dan identitas demografis lain dari korban. Namun, tidak demikian
halnya dengan korban korupsi. Siapa korban korupsi proyek Hambalang? Siapa
korban korupsi Dana Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah? Paling
banter kita mengatakan bahwa korban kasus korupsi adalah rakyat, publik, atau
warga.
Busyro
Muqoddas, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), mengatakan, ”Korupsi merupakan kejahatan kemanusiaan
yang membunuh rakyat pelan-pelan. Rakyat adalah korban korupsi yang paling
menderita.”
Klaim
tersebut sebenarnya lebih retorika ketimbang faktual. Jika ditanya lebih
lanjut siapa, berapa, di mana dan bagaimana kondisi para korban korupsi itu,
pasti tak terjawab. Mengapa sulit mengenali korban korupsi?
Berat sebelah
Pertama,
berat sebelah fokus. Selama ini perhatian kita terfokus pada sosok pelaku
korupsi (koruptor). Badan pengetahuan (body
knowledge) kita tentang koruptor sangat baik dan lengkap. Kita tahu siapa
pelakunya, apa motifnya, bagaimana rencana, tujuan, dan modusnya, aliran
dananya, modus penyelamatan aset hasil korupsi, bagaimana konteks dan
lingkungan yang menyebabkan seseorang korupsi, dan lain-lain. Termasuk kita
memikirkan secara serius bagaimana menghukum koruptor supaya menimbulkan efek
jera.
Namun,
tidak demikian halnya dengan korban korupsi. Aneh memang, korupsi membuncah
di mana-mana, menyeret ribuan koruptor, menimbulkan kerugian negara triliunan
rupiah, tetapi kita tidak bisa menemukan dan mengenali korban korupsi. Karena
itu, mulai sekarang kita harus menggeser fokus perhatian kepada korban. Ini langkah pertama dan
penting dalam memuliakan korban korupsi.
Kedua,
berat sebelah analisis. Selama ini analisis kerugian korupsi lebih berfokus
pada analisis kerugian negara. Yang dibicarakan berapa nilai kerugian
keuangan negara, bagaimana membuktikan, dan bagaimana mengembalikan uang dan
aset yang dicuri ke kas negara.
Kita
kurang memberikan perhatian pada kerugian sosial. Ke depan kita harus lebih
serius menggali dan mengakumulasi pengetahuan tentang kerugian sosial
korupsi, yaitu kerugian yang terjadi dan dipikul masyarakat (juga lingkungan
hidup), baik perorangan, kelompok warga, maupun komunitas. Termasuk di
dalamnya kerugian pada perempuan, anak-anak, kelompok minoritas, dan marginal
lainnya.
Ketiga,
implikasi langsung dari berat sebelah fokus dan berat sebelah analisis adalah
terjadinya berat sebelah pisau (alat) analisis. Karena aspek yang dianalisis
adalah kerugian keuangan negara, pisau atau alat analisis yang banyak dipakai
dan dikembangkan adalah audit keuangan.
Ke
depan, alat analisis ini tentu masih bisa dipakai, tetapi jelas tak memadai.
Kita harus mengembangkan dan menggunakan audit sosial lebih serius.
Dengan
audit sosial yang baik dan ajeg kita bisa mengetahui aktualisasi dan impak
belanja-belanja pemerintah di tingkat masyarakat atau pelaksanaan program,
proyek atau kegiatan pembangunan. Selain efisiensi, efektivitas penggunaan
audit sosial juga memungkinkan kita menggali informasi tentang masukan,
keluaran, dampak, dan yang lebih penting kelompok sasaran mendapat manfaat
atau tidak.
Penggunaan
metode ini secara partisipatif menjanjikan hasil lain, yaitu kelompok sasaran
program secara bersamaan bisa diberdayakan secara politik. Ini sangat penting
sehingga memungkinkan mereka mereklaim hak sosial, budaya, politik, dan
ekonomi yang hilang karena dikorupsi.
Keempat,
sikap minimalis dan subsistensi warga. Sulit rasanya bagi seorang warga atau
komunitas untuk secara sukarela berani mengklaim dan memberikan testimoni
(kesaksian) bahwa dirinya (mereka) adalah korban korupsi dari sebuah proyek
atau program pembangunan.
Misalnya, para orangtua atau siswa penerima
dana bantuan operasional sekolah (BOS) tidak merasa dirinya korban korupsi
meski nilai uang BOS yang mereka terima disunat. Ada sikap minimalis dan
subsisten di sini: menerima sedikit saja sudah untung. Sikap yang sama bisa
kita temukan di berbagai lembaga penerima dana bantuan. Alih-alih bersikap
kritis mempertanyakan dari mana sumber dana, mekanismenya, para pengurus
organisasi ini cenderung menerima saja bantuan dana hibah atau bantuan sosial
yang digelontorkan kepala daerah atau para politisi jelang pemilihan umum.
Sikap ini merupakan lahan subur para koruptor untuk ”mencuci uang” hasil
korupsinya.
Sikap
ini tentu bukan sebuah kutukan, melainkan produk dari gejala gagal paham.
Warga dan komunitas yang diasumsikan sebagai ”korban” korupsi, plus para
aktivis anti korupsinya, mengalami gejala gagal paham.
Mereka
gagal memahami hubungan penting ini: 1) relasi kekuasaan negara dengan warga
dalam pembiayaan biaya operasional pemerintahan dan pembangunan, 2) posisi
dan keterlibatan warga dalam proses dan kebijakan anggaran, 3) posisi dan
keterlibatan warga dalam merancang, melaksanakan dan memantau
program/kegiatan pembangunan. Karena gagal memahami ketiga jenis relasi ini,
gagal juga dalam merumuskan posisi politiknya sehingga gagap mereklaim hak
sosial ekonomi dan politik yang hilang akibat korupsi.
Dengan
pendidikan politik warga yang baik, sikap tersebut bisa diubah sehingga warga
lebih pintar dan militan.
Agenda ke depan
Ada
empat agenda penting ke depan dalam upaya kita memuliakan korban korupsi.
Pertama, membangun dan mengakumulasi pengetahuan dan praksis tentang korban
korupsi, kerugian sosial, dan audit sosial. Pemahaman kita tentang ketiga hal
itu harus sama baiknya dengan pemahaman kita tentang koruptor, kerugian
negara, dan audit keuangan.
Ke
depan pemahaman kedua sisi jadi lebih simetris. Lembaga riset bisa berperan
penting dalam proses membangun dan mengakumulasi pengetahuan ini.
Kedua,
penguatan korban korupsi. Tentu saja upaya membangun dan mengakumulasi
pengetahuan tersebut bukan hanya untuk memenuhi hasrat latihan intelektual
semata, melainkan juga ikhtiar penting untuk memperkuat korban-korban
korupsi.
Ada
dua komponen penting di sini: 1) meningkatkan kapasitas korban korupsi sehingga memahami proses
korupsi dan terampil mereklaim hak ekonomi, politik. dan sosial yang tidak
terpenuhi karena berkecamuknya korupsi; 2) mendekonstruksi nilai-nilai yang
tak cocok dan menghambat korban korupsi memahami korupsi dan terampil
mereklaim hak-haknya.
Bersamaan
dengan proses dekonstruksi ini, kita harus merekonstruksi nilai-nilai dan
pandangan yang mendukung korban korupsi melawan kezaliman dan ketidakadilan
korupsi.
Ketiga,
mengembangkan lembaga advokasi korban korupsi. Memuliakan korban korupsi
merupakan ranah kerja advokasi baru. Lembaga advokasi yang ada, seperti
Lembaga Bantuan Hukum, sudah bisa menangani korban-korban konflik agraria,
hubungan industrial, pelanggaran HAM, dan lain-lain.
Namun,
sependek pengetahuan saya, belum ada lembaga advokasi yang mumpuni menangani
korban korupsi. Di sinilah urgensinya mengembangkan kapasitas dan kompetensi
lembaga advokasi yang menangani korban korupsi. Termasuk dalam upaya ini
adalah mengembangkan kompetensi paralegal menangani isu korban korupsi.
Keempat,
membangun infrastruktur kelembagaan penanganan korban korupsi. Perangkat
kelembagaan baik peraturan, organisasi pelaksana, kewenangan, dan anggarannya
harus disiapkan. Relatif mudahnya mengenali dan menangani korban bencana alam
dan korban pelanggaran HAM dimungkinkan oleh adanya perangkat kelembagaan
lebih siap meski tidak selalu berhasil.
Agenda
di sini cukup jelas, bagaimana misalnya kita mereklaim kerugian sosial ke
dalam peraturan dan perundangan. Dari segi kelembagaan, mungkin Komisi HAM
diperluas kewenangan dan tugasnya untuk juga menangani korban korupsi. Tak
sulit mengintegrasikan isu memuliakan korban korupsi ke dalam isu HAM karena
keduanya sekerabat. Korupsi potensial menyukat pemenuhan hak-hak ekonomi,
sosial, politik dan budaya warga.
Jika
serius berkomitmen dan mengerjakan keempat agenda itu, sebenarnya kita bukan
hanya memuliakan korban korupsi, tetapi juga memberantas kemiskinan,
pemiskinan, dan pemenuhan HAM. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar