Politik,
Etika, dan Statistika
Asep
Saefuddin ; Rektor Universitas Trilogi; Guru Besar Statistika
FMIPA IPB
|
MEDIA
INDONESIA, 26 Februari 2014
“Sebuah
partai modern sebaiknya mempunyai lembaga atau unit yang berkaitan dengan
riset dan inovasi.”
TAHUN 1977 ketika saya
mengambil statistika sebagai bidang keahlian S-1, Pak Andi Hakim Nasoetion
(guru besar statistika IPB) memper lihatkan sebuah buku klasik yang ditulis
oleh Darrel Huff (1954) ber judul How
to Lie with Statistics. Di dalam buku itu ada konotasi bahwa statistika
dapat mengelabui orang bila dipergunakan tanpa landasan kebenaran. Anekdotnya
adalah ada tiga kebohongan di dunia ini: kebohongan (lies), kebohongan yang nista (damned
lies), dan statistika (statistics).
Setelah lulus saya mulai
mengerti anekdot tersebut, bahwa penggu naan statistika untuk sesuatu yang
belum tentu benar terlihat akan sangat meyakinkan. Wajar bila di beberapa
negara maju dosen statistika meminta mahasiswa me reka berjanji tidak akan
menggu nakan statistika untuk menutupi kebohongan. Statistika adalah suatu ilmu
yang berkaitan dengan proses pengambilan keputusan berdasar kan sebagian
informasi dari populasi. Melalui pendekatan statistika (yang benar), kejadian
yang akan da tang atau keadaan populasi dapat di prediksi melalui data yang
tersedia.
Dengan semakin berkembangnya metode-metode statistika, prediksi
prediksi yang dilakukan umumnya cenderung benar. Kesalahannya relatif kecil
sehingga sering diperoleh suatu kesimpulan berbasis statistika identik dengan
hasil sensus atau hasil akhir suatu proses yang lengkap. Saat ini, statistika
sudah menjadi alat canggih dalam menganalisis berbagai bidang, seperti
industri, perbankan, bisnis, ekonomi, telekomunikasi, ke sehatan, sosial, dan
politik.
Di semua bidang tersebut,
statis tika bisa jadi alat untuk legitimasi dan pengambilan keputusan yang
sah. Maka dari itu, ilmu ini sangat erat kaitannya dengan etika dan moralitas.
Bila tidak dilandasi dengan etika dan moral yang kukuh, tidak mustahil
statistika dijadikan alat pengambilan keputusan untuk kepentingan pihak
tertentu yang be lum tentu benar. Kebohongan yang dikemas dengan metode
statistika terlihat bagaikan kebenaran. Itulah sebabnya statistika (yang
salah) lebih berbahaya daripada damned
lies. Inilah yang harus dihindari.
Dewasa ini, aplikasi
statistika sering dipergunakan dalam dunia politik. Manakala survei ini
dilakukan oleh sebuah lembaga independen yang menerapkan statistika secara benar,
walaupun tidak berarti suatu kebenaran mutlak, hasilnya dapat
dipertanggungawabkan. Akan tetapi, bila sebuah survei dilakukan oleh suatu
lembaga yang berafiliasi ke sebuah partai tertentu, hasilnya bisa saja
dipertanyakan.
Walaupun lembaga itu mengklaim telah menerapkan metode
statistika dengan benar.
Di dalam statistika, independensi kelembagaan
menjadi syarat perlu selain kejujuran yang diterjemahkan dalam bentuk
metodologi.
Statistika
dan partai
Sebuah partai modern
sebaiknya mempunyai lembaga atau unit yang berkaitan dengan riset dan
inovasi. Di dalamnya harus mempunyai ahli statistika untuk melakukan survei pendapat,
uji coba metode kampanye, dan metode riset yang tepat untuk bahan evaluasi
internal partai. Bukan untuk konsumsi publik. Hasil survei atau uji coba
perlakuan tertentu itu kemudian dianalisis untuk perbaikan partai ke depan.
Hal itu juga berlaku bagi pemerintahan atau lembaga bisnis yang ingin maju
secara benar, bukan sekadar citra.
Bisa juga sebuah partai
mempunyai lembaga survei yang dibuat seolah-olah independen, tetapi
dipergunakan untuk mengelabui masyarakat. Misalnya, ketua partai tersebut
atau seorang tokoh menempati urutan pertama hasil survei tidak berbasis pada
metode yang benar. Secara statistika hasilnya disebut `bias' atau tidak
menggambarkan keadaan populasi sebenarnya. Inilah yang disebut kebohongan
yang berlindung di balik statistika.
Bagi masyarakat yang belum
terlalu melek statistika, bisa jadi percaya akan hasil yang terlihat canggih
yang sebenarnya tidak benar itu. Keadaan ini, selain tidak mengedukasi
masyarakat, juga sebenarnya dapat merugikan partai itu sendiri, yakni pada
saat pemilu ketua partai atau seorang tokoh itu jauh dari urutan pertama.
Jadi, statistika itu adalah ilmu yang tidak dapat dilepaskan dari etika dan
kejujuran untuk mencari kebenaran, bukan untuk mengelabui. Pelanggaran
terhadap keduanya berarti sudah terjadi pelanggaran terhadap tahap awal dari
metodologi (statistika).
Efeknya justru merugikan partai itu sendiri atau
lembaga yang tidak menerapkan statistika secara benar. Dengan kata lain, use statistics, don't abuse it.
Etika
hitung cepat
Hitung cepat biasa dipakai
un tuk menduga perolehan suara. Ini bagian dari aplikasi statistika juga. Peluang
untuk benar juga tinggi. Akan tetapi, hasil sementara hitung cepat tidak
boleh diumumkan pada saat pencoblosan masih berlang sung. Apalagi disiarkan
lewat layar kaca yang bisa dilihat oleh kalangan yang berhak memilih.
Mengapa? Karena hal itu akan memengaruhi psikologi pemilih yang belum melakukan
pencoblosan. Dus, penerapan hitung cepat pun harus dibungkus dengan etika dan
moral. Bila tidak, kejadian akan menjadi kacau, misal nya, seorang kandidat
yang menang karena tahap-tahap awal hitung cepat menempati urutan pertama
yang berpengaruh kepada pemilih berikutnya. Dia mencoblos yang dia tahu sudah
menempati urutan atas dalam hitung cepat menit-menit per tama. Di sini etika
sangat penting.
Untuk melindungi etika dan
statistika ini, regulasi menjadi penting. Negara yang memegang etika dengan
baik juga akan menerapkan statistika dengan benar. Alhasil, ilmu-ilmu
statistika jadi berkembang karena ingin mencari kebenaran. Kompleksitas
persoalan juga menuntut penyesuaian statistika yang terus membuat ilmu ini
maju.
Bila aplikasi statistika menerobos keadaan yang kompleks dengan
pendekatan standar, selain menyesatkan juga membuat ilmu statistika mandek. Hal
ini akan merugikan masyarakat, negara, dan ilmuwan itu sendiri. Bila
ingin mencari kebenaran dalam dunia politik, pakailah statistika dan etika.
Jangan dipisahkan. Kalau tidak, masyarakat akan terkelabui oleh suatu trik
yang lebih parah daripada damned lies.
Mengerikan. Maka, jauhilah perilaku itu agar negara kita maju dan bermartabat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar