Kontroversi
Kemendikti-Ristek
Azyumardi
Azra ; Guru Besar Sejarah; Direktur Sekolah
Pascasarjana UIN Jakarta; Pernah Menjadi Anggota Komite Akademik ISMC Aga
Khan International University, London
|
KOMPAS,
26 Februari 2014
GAGASAN
Forum Rektor Indonesia tentang pembentukan kementerian khusus yang menangani
pendidikan tinggi dan riset mendapat cukup banyak tanggapan. Salah satunya
datang dari Profesor Daoed Joesoef (Kompas 18/2/2014).
Entah
di mana terjadi miskomunikasi, wacana tentang kementerian ini disebut,
yang menempatkan pendidikan tinggi di
bawah Kementerian Riset dan Teknologi.
Bagi
saya yang juga hadir sebagai salah satu narasumber dalam Konvensi Forum Rektor
Indonesia (FRI) di Universitas Sebelas Maret (UNS), Surakarta, 30-31 Januari
2014—yang merekomendasi pembentukan kementerian pendidikan tinggi dan
riset—pemberitaan dan wacana yang berkembang di publik tidak sepenuhnya
sesuai dengan diskusi dalam konvensi tersebut. Karena itu, perlu sedikit
elaborasi tentang gagasan Kemendikti-Ristek.
Kemendikti-Ristek
Gagasan
dan wacana tentang perlunya pembentukan kementerian khusus yang menangani
pendidikan tinggi sesungguhnya tidaklah baru. Wakil Presiden Jusuf Kalla pada
2008-2009 pernah mengumpulkan berbagai pihak untuk membahas dan merumuskan
pembentukan Kementerian Pendidikan
Tinggi dan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (KPT-Iptek). Hasilnya adalah naskah
akademis tentang pembentukan kementerian ini bagi pemerintahan pasca Pemilu
2009. Namun, karena Jusuf Kalla tidak berhasil menang dalam Pilpres 2009,
rencana pembentukan KPT-Iptek tidak terlaksana.
Banyak
alasan kuat mendasari pembentukan kementerian ini, seperti terlalu besarnya
Kemdikbud yang menangani pendidikan dasar, menengah, dan tinggi sehingga
keberatan beban dan tidak
fokus.
Selain itu, berada di bawah Kemdikbud, pendidikan tinggi kian terlihat
mengalami resentralisasi. Lalu muncul pandangan dari banyak kalangan bahwa
perguruan tinggi negeri kini cenderung hanya menjadi unit pelaksana teknis
Kemdikbud.
Walhasil,
dengan pemisahan pendidikan tinggi menjadi kementerian sendiri, perguruan
tinggi (PT) bisa lebih mengembangkan otonominya. Dengan begitu, menjadi lebih
mungkin bagi PT untuk memaksimalkan pencapaiannya. Tidak hanya dalam bidang
pendidikan, tetapi juga penelitian dan pengabdian masyarakat.
Selain
itu, perguruan tinggi—khususnya PT negeri—memiliki sumber daya manusia
relatif lebih banyak dan berkualitas tidak hanya untuk pengajaran, tetapi
juga dalam penelitian. Berbagai survei dan data menunjukkan, sejumlah PT
papan atas Indonesia menghasilkan banyak penelitian inovatif yang dikutip
secara internasional dibandingkan dengan lembaga khusus untuk riset dan
pengembangan iptek seperti LIPI dan BPPT. Namun, karena dana penelitian
relatif sangat minim, PT tidak dapat memaksimalkan kapasitas penelitiannya untuk
pengembangan iptek.
Sementara
itu, kegiatan riset di Indonesia terpencar-pencar pada berbagai lembaga dan
instansi, seperti Kemenristek, LIPI, dan BPPT. Institusi-institusi ini
bergerak sendiri-sendiri tanpa koordinasi sehingga tidak mampu mencapai hasil
maksimal dalam memajukan iptek.
Karena
itu, kemunculan gagasan pembentukan kementerian tersendiri bagi pendidikan
tinggi dan riset menjadi masuk akal. Di lingkungan FRI, gagasan itu menemukan
momentum ketika forum ini dipimpin Laode M Kamaluddin, Rektor Unissula,
Semarang (2013). Kelihatan untuk kepentingan itu Laode menulis buku
Re-orientasi (Strategi) Pendidikan Nasional Indonesia (2015-2020), yang juga
disosialisasikan di FRI di UNS Surakarta.
Membahas
tentang pentingnya reorientasi dalam pendidikan nasional, Laode menggagas
perubahan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menjadi Kementerian
Kebudayaan, Pendidikan Dasar, dan Menengah. Laode juga mengusulkan
pembentukan Kementerian Pendidikan Tinggi, Riset dan Teknologi
(Kemendikti-Ristek). Kementerian ini bertanggung jawab atas pendidikan tinggi
sekaligus menggerakkan dan mengoordinasikan penelitian dan pengembangan riset
iptek menjadi lebih integratif dan fokus.
Universitas riset
Masalahnya
sekarang, PT seperti apa yang mampu melakukan riset inovatif dan terobosan?
Jika sudah berada di bawah payung Kemendikti-Ristek, PT tampaknya lebih
memiliki peluang untuk menghasilkan inovasi melalui riset lebih serius yang
dapat menjadi terobosan inovatif dalam iptek.
Karena
itu, PT perlu meninjau ulang ketentuan tentang tugas para dosen. Mereka wajib
tidak sekadar mengajar, tetapi juga melakukan penelitian. Memang tidak semua dosen memiliki imajinasi,
kreativitas, dan kapabilitas untuk melakukan riset yang bermutu. Kebanyakan
dosen bahkan cenderung terpaku hanya dalam pemenuhan salah satu misi pokok
PT, yaitu transmisi ilmu pengetahuan, pencerdasan, dan pembudayaan para
mahasiswa. Tugas ini terutama benar pada tingkat strata 1 (S-1), tetapi mesti
tidak demikian pada tingkat S-2 dan S-3.
Karena
itu, PT perlu mengembangkan diri dari ”PT pengajaran (teaching university)”
menjadi PT berbasis riset (research-based university). Dalam kerangka ini, perekrutan dan promosi
dosen wajib lebih didasarkan pada riset inovatif untuk memajukan iptek
daripada sekadar mengajar mahasiswa.
Penelitian
yang dilakukan para dosen semestinya bukan sekadar riset rutin untuk kenaikan
pangkat dengan dana APBN/DIP/PT terbatas, melainkan juga dengan melibatkan
dana melalui kemitraan, baik dengan lembaga dalam negeri maupun internasional.
Hasil penelitian juga bukan untuk sekadar pertanggungjawaban administratif
keuangan; lebih penting lagi guna disebarluaskan melalui jurnal atau
penerbitan lain yang diakui pada tingkat internasional.
Langkah
sangat urgen adalah PT berbasis riset memerlukan pengembangan program
pascasarjana untuk menjadi pusat pendidikan yang lebih berorientasi pada
riset daripada sekadar pengajaran. Program pascasarjana semestinya
diberdayakan menjadi ”mesin penelitian (engine
of research)” PT bersama berbagai lembaga riset otonom di lingkungan PT.
Sebuah
PT berbasis riset memerlukan sedikitnya 25 persen mahasiswa pascasarjana dari
jumlah total mahasiswa PT bersangkutan (S-1, S-2, dan S-3). Peningkatan
jumlah mahasiswa program pascasarjana untuk mencapai persentase seperti itu
jelas bukan dengan memperbanyak program nonreguler semacam program eksekutif,
program akhir pekan, atau program kelas jauh.
Program-program
seperti ini—yang cenderung lebih berorientasi untung (profit
making)—sebaliknya justru mengakibatkan tergradasinya program pascasarjana
menjadi tempat memperoleh gelar S-2 dan S-3 secara mudah dan cepat. Padahal,
semestinya program pascasarjana menjadi pusat pengkajian lanjutan (center for advanced studies) yang
menghasilkan berbagai temuan penelitian inovatif untuk kemajuan iptek. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar