Jumat, 07 Februari 2014

Perekrutan Hakim Agung

Perekrutan Hakim Agung

Harifin Tumpa   ;   Mantan Ketua Mahkamah Agung
KOMPAS,  07 Februari 2014
                                                                                                                       
                                                                                         
                                                      
HARI Selasa (4/2) lalu, Komisi III DPR menolak semua calon hakim agung yang diajukan oleh Komisi Yudisial. Di media massa, ada beberapa alasan penolakan yang dikemu-kakan oleh anggota DPR yang terhormat. Ada yang berpendapat karena calon-calon tersebut berada di bawah standar. Ada pula yang beralasan bahwa calon-calon tersebut telah pernah ditolak oleh DPR.

Jika melihat alasan-alasan tersebut, akan banyak pertanyaan yang muncul. Misalnya, standar apa dan bagaimana yang dipakai DPR sebagai ukuran untuk meloloskan seseorang menjadi hakim agung? Siapa yang membuat standar tersebut? Kalau ada standar, apakah Komisi Yudisial di dalam menentukan calon yang lolos seleksi tidak memakai suatu standar? Kenapa ada hakim agung yang sekarang lolos menjadi hakim agung setelah beberapa kali ditolak oleh DPR?

Karena alasan-alasan tersebut meragukan obyektivitasnya, kemudian muncul praduga, jangan-jangan DPR balas dendam atas dipangkasnya kewenangan DPR oleh putusan Mahkamah Konstitusi.

Kelihatannya, dengan adanya putusan MK, peranan DPR untuk menentukan hakim agung menjadi lebih kecil karena hanya boleh menolak atau menerima calon yang diajukan tersebut, tidak ada lagi yang perlu dinegosiasikan. Dalam benak saya, pengertian menolak itu hanya terbatas jika ada laporan negatif yang menyangkut sang calon. Hal inilah yang harus diklarifikasi dan dicari kebenarannya oleh Komisi III. Apabila laporan masyarakat tersebut benar, DPR akan menolak calon tersebut. 
Akan tetapi, apabila laporan itu tidak benar, tidak ada alasan bagi DPR untuk menolaknya.

Alasan di bawah standar tidak dapat lagi dijadikan alasan penolakan karena profesionalisme sang calon telah diuji secara bertahap oleh tim Komisi Yudisial. Tidak adanya standar baku yang diperlakukan oleh DPR menimbulkan kesan seolah-olah penolakan itu hanya karena perbedaan selera. Keputusan DPR
tentu harus kita hormati, tetapi, masyarakat juga berhak menyikapi secara kritis jika ada putusan yang kurang obyektif atau dilakukan dengan sewenang-wenang.

Sejarah perekrutan hakim agung

Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, pengangkatan hakim agung dilakukan dengan sangat sederhana. Cukup diusulkan oleh ketua Mahkamah Agung kepada presiden dan presiden mengeluarkan surat keputusannya. Pengusulan Mahkamah Agung didasarkan pada pantauannya selama ini berdasarkan rekam jejak hakim yang bersangkutan, baik dari segi teknis maupun integritas.

Pada umumnya yang diangkat adalah ketua pengadilan tinggi. Kalau seorang hakim telah menduduki jabatan ketua pengadilan tinggi di Medan, Makassar, Jakarta, Bandung, Semarang, dan Surabaya, langkah berikutnya adalah hakim agung. 

Perjalanan panjang dari seorang hakim sampai menjadi ketua pengadilan tinggi berarti telah melampaui batu ujian yang tidak kecil. Memang harus diakui bahwa manusia itu tidak ada yang sempurna. Jadi, kalau mau dicari-cari kesalahannya, pasti ketemu juga.

Dari pantauan sejarah, model perekrutan dengan pola tersebut menunjukkan hasil yang sangat bagus. Kita kenal hakim besar seperti Wiryono, Subekti, Azikin Kusumatmaja, Widyowati, dan Indroharto. Mereka tidak pernah melalui fit and proper test. Mereka  adalah hakim-hakim karier yang mulai dari bawah. Memang kemudian ada jaksa dan politisi masuk hakim agung, tetapi jumlahnya tidak banyak.  Pada waktu itu yang cukup banyak adalah yang berasal dari militer karena masa itu adalah masa dwi fungsi ABRI.

Sesudah berlakunya UU No 14/1985, turut campur politisi dalam perekrutan hakim agung dimulai. Pernah suatu ketika jumlah hakim agung yang diterima lebih banyak yang berasal dari jalur nonkarier. Tata cara perekrutannya diusulkan oleh Mahkamah Agung kepada DPR, kemudian DPR melakukan fit and proper test. Hasilnya diserahkan kepada presiden.

Pada waktu ada perubahan UUD 1945, yang mengamanatkan adanya Komisi Yudisial untuk menjaring hakim agung, peranan Mahkamah Agung dalam perekrutan hakim agung menjadi hampir-hampir tidak ada. Di dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisal, peranan  Mahkamah Agung sama sekali tidak disebut dalam proses perekrutan hakim agung.

Pada mulanya proses perekrutan yang berasal dari hakim karier diajukan oleh Mahkamah Agung kepada Komisi Yudisial. Namun, lama-kelamaan calon yang diterima oleh Komisi Yudisial yang berasal dari hakim karier dapat diterima dari perorangan, tanpa usul dari Mahkamah Agung. Akibatnya, pernah suatu ketika ada seorang hakim yang pernah diberikan sanksi oleh Mahkamah Agung, tetapi diterima oleh Komisi Yudisial.

Melihat situasi ini, pada waktu saya menjadi Ketua Mahkamah Agung pada tahun 2009, saya memutuskan Mahkamah Agung tidak perlu lagi mengusulkan calon hakim agung. Mekanisme penerimaan calon hakim agung diserahkan sepenuhnya kepada  Komisi Yudisial. Memang ada sesuatu yang ganjil dalam Undang-Undang Komisi Yudisial tersebut: mengapa pemakai (user) tidak dilibatkan dalam penerimaan calon hakim agung?

Mekanisme yang berjalan selama ini, Komisi Yudisial mengusulkan tiga orang calon untuk dipilih salah satunya oleh DPR. Terasa sekali mekanisme ini sering kali penuh dengan nuansa politis karena yang dipilih kadang-kadang jauh dari prediksi umum, terutama bagi orang yang mengerti seluk-beluk pengadilan dan kualitas masing-masing hakim. Kalau kita melihat hasil dari mekanisme ini, secara faktual tidak begitu menggembirakan. Kita lihat, misalnya, dari hasil seleksi dengan mekanisme seperti tersebut di atas, ternyata ada hakim agung yang diberhentikan karena melanggar kode etik. Ada juga hakim agung yang disebut-sebut terlibat kasus suap-menyuap walaupun belum dapat dibuktikan.

Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi, yang menyatakan bahwa DPR tidak perlu lagi melakukan fit and proper test, DPR cukup menentukan menerima atau menolak calon yang bersangkutan, telah mengurangi nuansa politisasi penerimaan calon hakim agung. Sayang sekali mekanisme penolakan belum ada aturannya sehingga terkesan DPR mengada-ada. Aturan inilah yang harus segera diadakan oleh DPR.

Tak ada mekanisme sempurna

Dari sejarah mekanisme perekrutan hakim agung yang terlihat dari uraian di atas, ternyata tidak ada satu pun mekanisme yang dapat menjamin hakim agung yang benar-benar andal dan mekanisme yang memuaskan.

Sistem pertama hakim agung diusulkan oleh Mahkamah Agung kepada presiden. Walaupun hasilnya cukup bagus dari segi kualitas hakim agung, kelemahannya terletak pada mekanismenya, yaitu hanya hakim yang dikenal oleh pimpinan MA yang dapat dijaring.  Sistem yang kedua, hakim agung diusulkan oleh MA kepada DPR, nuansa politiknya sangat tinggi. Kepentingan parpol kadang-kadang sangat menonjol.

Sistem yang ketiga, sama dengan sistem yang kedua, nuansa politisnya lebih menonjol. Pendekatan politis lebih berperan daripada kemampuan individual.
Sistem yang keempat, yaitu Komisi Yudisial mengusulkan kepada DPR dan DPR meneruskan kepada presiden, apabila calon tidak ditolak DPR, akan memberikan kekuasaan lebih besar kepada Komisi Yudisial sehingga memerlukan lagi pengawasan terhadap Komisi Yudisial. Bagaimana hasilnya, sejarah yang akan  berbicara.

Sistem yang belum pernah dicoba adalah yang menentukan calon yang akan diusulkan  kepada DPR adalah Komisi Yudisial bersama Mahkamah Agung. Komisi Yudisial akan fokus pada integritas hakim, sedangkan Mahkamah Agung akan menilai dari kualitas profesionalisme hakim. Tentu mekanisme ini memerlukan perubahan undang-undang.

Kekhawatiran ke depan

Tersendatnya proses perekrutan hakim agung, baik karena Komisi Yudisial yang sangat ”pelit” meloloskan calon hakim agung maupun karena ”keanehan” di DPR, dapat menimbulkan kevakuman atau kekurangan hakim agung. Apabila ini terjadi, yang rugi adalah pencari keadilan atau masyarakat.

Apalagi akhir-akhir ini santer terdengar bahwa usia pensiun hakim agung akan dikembalikan ke usia 67 tahun. Saya tidak mengerti logika apa di balik keinginan ini, kecuali—mungkin—sifat arogansi. Di negara-negara ASEAN, seperti Filipina dan Thailand, sudah lama menganut semua hakim tingkat pertama sampai kasasi pensiun pada usia 70 tahun. Bahkan, di Singapura, hakim agung pensiun pada usia 75 tahun. Belum lagi jika kita bandingkan dengan hakim di AS atau Eropa.

Menurunkan usia hakim agung, akan membawa sejumlah konsekuensi yang cukup signifikan. Di antaranya, pertama, merekrut hakim agung memerlukan waktu yang panjang dan biaya yang besar. Kedua, menemukan calon hakim agung yang berkualitas bukanlah hal yang mudah. Ketiga, hakim agung yang sekarang sudah berusia 67 tahun harus meninggalkan perkara yang mungkin sudah dipelajarinya. 
Keempat, pengalaman sebagai hakim agung tidak dapat dipelajari dan memerlukan waktu untuk mendapatan pengalaman itu.

Tentu saja pendapat yang penulis kemukakan di atas sekadar untuk menjadi pertimbangan. Sebab, bagaimanapun semua akan berpulang kepada hati nurani anggota DPR yang terhormat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar