KPK
Tak Usah Galau
Harkristuti
Harkrisnowo ; Guru Besar Fakultas Hukum UI
|
KOMPAS,
28 Februari 2014
HARI-hari
ini media membahas dilanjutkan atau tidaknya pembahasan Rancangan
Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Rancangan Undang-Undang
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana sesuai tuntutan Komisi Pemberantasan
Korupsi dan para pegiat anti korupsi.
Pernyataan
bahwa kedua RUU ini akan menggerogoti KPK tentu membuat semua orang Indonesia
berang. Lalu apakah sumber kegaduhan sebenarnya? Sungguhkah ini manuver
politik untuk mendebilitasi KPK?
RUU
KUHP sebenarnya bukan RUU yang muncul kemarin sore, tetapi sudah dirancang
sejak awal 1970-an untuk menggantikan KUHP sekarang yang sudah berlaku 1915.
Tim perancang dipimpin para profesor hukum pidana, dari Prof Sudarto hingga
Prof Muladi.
Upaya
rekodifikasi dan unifikasi memakan waktu lama dengan banyak perdebatan
sengit. Namun, semua sepakat bahwa RUU KUHP perlu untuk menegakkan kembali
nilai-nilai dasar sosial (basic social
values), berperan sebagai ultimum
remedium, dan menjunjung HAM.
Tahun
1986 Buku I selesai. Buku II selesai 1993 dan diserahkan Prof Mardjono kepada
Menteri Kehakiman. Namun, upaya Menteri Kehakiman berikutnya, Muladi, agar
dibahas di DPR tidak berhasil. Tahun 2004 dibentuk tim RUU KUHP di bawah Prof
Muladi untuk menyempurnakan dan harmonisasi empat misi utama:
dekolonialisasi, demokratisasi, konsolidasi, serta harmonisasi dan
humanisasi.
Baru
pada akhir 2012 RUU KUHP diserahkan Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin
kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan diteruskan ke DPR pada 11
Desember 2012.
RUU
KUHAP relatif baru karena beranjak dari KUHAP tahun 1981. Tim penyusun
diketuai Prof Jur Andi Hamzah dan melibatkan elemen-elemen terkait. Walau ada
perdebatan, penyusunan ini dilandasi kesepakatan bahwa penting sekali menegakkan
sistem peradilan kriminal terintegrasi (the
integrated criminal justice system) dengan kesamaan asas yang menjunjung
tinggi HAM sebagaimana dimandatkan Konstitusi, serta pentingnya mekanisme
kontrol guna menghindari penyalahgunaan kekuasaan.
Berbagai
instrumen HAM internasional juga dijadikan acuan, misalnya Konvensi Anti
Penyiksaan, Pendanaan Terorisme, dan Konvensi Korupsi.
Akar polemik
Lalu
apa akar polemiknya? Bermula dari pandangan KPK bahwa pembahasan kedua RUU
akan mengurangi bahkan menghilangkan kewenangan KPK. Padahal, RUU KUHP bukan
semata-mata mengatur korupsi. Dari 766 pasal, hanya 15 pasal tentang korupsi.
RUU
KUHP adalah upaya mengindonesiakan KUHP eks penjajah, yang mengatur sebagian
besar tindak pidana: mulai dari pengemisan, penganiayaan, pemerkosaan,
pencurian, penghinaan, pembunuhan, perdagangan orang, hingga pelanggaran HAM
berat. Korupsi tentu penting diatur, tapi apakah pembahasan terhadap 751
pasal—termasuk 211 pasal dalam Buku I tentang Ketentuan Umum—harus ditunda
demi menanti pembahasan 15 pasal korupsi? Apalagi ada Pasal 211 yang memberi
peluang mengatur lex specialis di
luar KUHP.
RUU
KUHAP memuat aturan mengenai tata cara polisi mulai dari penangkapan,
penahanan, pemeriksaan, sampai lembaga pemasyarakatan, yang berlaku untuk
semua tindak pidana, bukan hanya untuk korupsi. Bahkan, hukum acara pidana
untuk penanganan korupsi telah diatur secara khusus dalam UU Tindak Pidana
Korupsi (Tipikor) dan UU KPK. Tidak mungkin penanganan perkara pencurian atau
penganiayaan sama dengan korupsi. Lex
specialis juga dibuka peluangnya dalam Pasal 3 Ayat (2) RUU KUHAP.
Intinya,
Pasal
211 RUU KUHP dan Pasal 3 Ayat (2) RUU KUHAP ini mematahkan argumentasi bahwa
dengan berlakunya kedua UU ini kelak maka UU pidana di luar KUHP menjadi
hilang. Justru kedua RUU ini kelak bila diberlakukan merupakan
lex generalis atau ketentuan umum, tetapi eksistensi UU pidana khusus lain
yang berperan sebagai lex specialis
tetap diakui.
Maka
tak akan terjadi penghapusan UU ataupun delegitimasi keberadaan lembaga
seperti KPK, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Badan
Narkotika Nasional (BNN), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), dan
lain-lain. Tidak betul pendapat KPK bahwa kedua pasal pengecualian hanya
berlaku bagi tindak pidana perbankan dan perpajakan.
Harus
diakui perancang RUU KUHP luput merumuskan kedua tindak pidana dalam ranah
hukum administrasi ini. Namun, lex
specialis umumnya lebih ditujukan pada hukum yang masuk dalam satu genre, dalam hal ini hukum pidana UU
pidana murni seperti UU Tipikor, Pencucian Uang, Pengadilan HAM, dan
Terorisme. Dikatakan oleh Silvia Zorzetto (2012), ”…lex specialis… is often used to solve redundancy in law… a tool to
prevent the simultaneous application of special and general compatible
rules.” Tak mungkin ada lex specialis
manakala tidak ada lex generalis.
Pengaturan delik pokok diperlukan dalam RUU KUHP, diatur lebih khusus dalam
UU sektoral.
Kejahatan luar biasa
Istilah
kejahatan luar biasa (extra-ordinary
crimes) dalam hukum internasional adalah kejahatan terhadap kemanusiaan,
genosida, kejahatan perang, dan agresi. Konvensi PBB tentang korupsi tak
memakai istilah itu walau sepakat bahwa korupsi adalah kejahatan yang
mengurangi kualitas hidup manusia.
Menempatkan
UU Tipikor dan UU KPK sebagai lex
specialis, bukan hanya hukum materiil tentang korupsi yang diatur,
melainkan juga hukum acara pidana. Karenanya, penyelidikan
(Pasal 43 dan 44 UU KPK), penyitaan (Pasal 47), dan penyadapan (Pasal 12),
sebagian dari kewenangan KPK saat ini, tidak akan diderogasi RUU KUHAP.
Walau
demikian, tetap harus diperhatikan bahwa mekanisme kontrol urgen untuk
memastikan akuntabilitas penegak. Jika KPK memandang Hakim Pemeriksa
Pendahuluan terlampau restriktif, misalnya, harus dicarikan solusi agar KPK
tidak dipandang sebagai lembaga yang anti kontrol atau control-proof.
Kegalauan
KPK akan potential elimination dengan
demikian sebenarnya tidak perlu terjadi. KPK masih diperlukan memberantas
kejahatan korupsi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar