Etika
dan Monopoli Politik Kuasa
Joko
Wahyono ; Analis Politik dalam Program Pascasarjana
UIN Sunan
Kalijaga, Yogyakarta
|
SINAR
HARAPAN, 25 Februari 2014
Pemilu Legislatif 2014 sudah di depan mata. Wajah pemburu
kekuasaan kian bertebaran di mana-mana.
Ruang publik milik “masyarakat warga” (zivilgesellschaft) sesak dijejali polah tingkah dan gerak-gerik
mereka. Membanjirnya poster, spanduk, baliho di jalanan, atau ramainya acara
blusukan dan safari politik ke masyarakat kiranya cukup mengonfirmasi fakta
itu. Mereka bertarung lewat visualisasi citra secara massif untuk
memperebutkan ingatan kolektif masyarakat, yang diharapkan akan memberikan
dukungan suara saat hajatan demokrasi elektoral itu digelar. Sebuah gambaran
bagaimana demokrasi dirayakan dengan kegaduhan pencitraan di tengah ketiadaan
responsibilitas publik.
Selain muncul wajah-wajah baru, wajah-wajah lama yang kini masih
menjabat di parlemen juga kembali, bahkan memonopoli politik kuasa.
Bertenggernya wajah-wajah lama dalam bursa calon anggota legislatif 2014,
menjadi bukti bahwa jabatan memiliki daya pesona yang memikat siapa saja, tak
terkecuali mereka.
Pesona jabatan dan kekuasaan membuat mereka tampil seperti manusia-manusia
kemaruk (bahasa Jawa); rakus, selalu merasa kurang, dan tidak pernah puas
dengan apa yang telah didapatkan. Sebuah jabatan menjadi batu loncatan untuk
mendapatkan kedudukan yang lebih tinggi, prestisius, atau minimal sebagai
batu penopang langgengnya status sosial mereka di masyarakat.
Menurutnya, jabatan dan kekuasaan adalah segala-galanya. Menjadi
pejabat, meminjam perspektif Abraham Maslow, diletakkan pada hierarki
tertinggi dari keseluruhan kebutuhan manusia.
Menjabat seakan menjadi satu-satunya tafsir atas aktualisasi dan
bermaknakan hidup. Tidak heran jika mereka sering tak bergeming dan tetap
melaju menunggangi kursi jabatannya, meski nyata-nyata telah mengalami
kekacauan peran, gagal mandat dan tanggung jawab, bahkan terindikasi korupsi
sekalipun.
Hasrat kuasa kenyataan ini semakin memperkuat tesis purba filsuf
Jerman, Friedrich Nietzsche dalam Thus
Spoke Zarathustra: A Book for All and None (1892), bahwa kekuasaan dan
kekuatan adalah eksistensi hasrat manusia sebenarnya.
Hasrat berkuasa (the will
to power) bagi Nietzsche adalah cermin dari manusia bermental tuan (ubermensch) yang selalu ingin
dilayani, bukan mentalitas budak yang seluruh hidupnya didedikasikan untuk
melayani. Padahal, khitah demokrasi sejatinya menempatkan rakyat sebagai
tuan. Rakyat di negara demokrasi adalah raja pada tataran massa.
Dengan kedaulatannya, rakyat adalah pemberi kuasa kepada
pejabat. Pejabat dengan kuasa yang diberikan seharusnya diperuntukkan untuk
mengabdi (baca: melayani) kepada rakyat. Sayangnya, kerja politik dan
kekuasaan selama ini bukan ditundukkan pada apa yang semestinya (das sollen) itu. Realitas politik
diejawantahkan hanya sebatas pertarungan kepentingan dan perebutan kekuasaan sich.
Kecenderungannya menghalalkan segala cara. Terbukti, untuk
memenuhi hasrat kuasa itu, mereka rela mengeluarkan jutaan, bahkan miliaran
rupiah.
Sebuah nominal yang jika dikalkulasi dengan pendapatan resmi
sebagai pejabat publik terkadang tidak masuk akal. Seakan memang tidak ada
yang gratis dalam politik; nothing is
free in politics. Persoalan cara mengembalikan modal politik (political cost) itu tampaknya sudah
diperhitungkan secermat mungkin dari awal.
Terlebih, panggung politik menyediakan berbagai macam sumber
daya (resources) yang berlimpah
untuk bisa diperebutkan dan dikuasai. Anthony Giddens dalam The Constitusion of Society (1984)
mengungkapkan, ada dua sumber daya yang membentuk struktur dominasi, yakni
sumber daya alokatif dan otoritatif. Sumber daya alokatif menyangkut
penguasaan barang-barang yang bersifat materiil atau ekonomi.
Sumber daya otoritatif berkaitan dengan penguasaan terhadap
individual (rakyat) atau institusional (lembaga pemerintahan) secara politis.
Hasrat berkuasa seseorang cenderung didorong libido untuk menguasai kedua
sumber daya tersebut.
Tak hanya itu, Pierre Bourdieu dalam Language and Symbolic Power (1991) juga menyebutkan, kekuasaan
adalah simbol. Artinya, hasrat berkuasa menjadi pejabat publik atau politikus
tidak gerakkan penguasaan barang-barang ekonomi atau politis, melainkan nafsu
libidinal imateriil, seperti, kepuasan, pencitraan, atau gengsi yang secara
simbolik untuk menstrukturisasi kelas masyarakat.
Tanggung Jawab
Jika sudah demikian, tujuan politik (kekuasaan) seperti yang
diidam-idamkan Aristoteles, yakni sebagai wahana membangun masyarakat utama
(sejahtera), hanya akan menjadi utopia belaka. Kegiatan politik yang
seharusnya digerakkan manusia-manusia agung dan bijaksana yang dibimbing oleh
etika.
Kesadaran nurani dan akal budinya (homo sapiens), kini dihuni manusia-manusia bebas pemuja hasrat
kuasa (homo desiderare). Bahkan,
kepekatan nafsu untuk berkuasa ini telah meruntuhkan batas-batas moralitas
dan imoralitas. Bisa dilihat bagaimana pencapaian kepentingan egoistik
kekuasaan ditempatkan di atas nilai-nilai tanggung jawab publik.
Timbullah gejala civic schizophrenia. Kecenderungannya
meminggirkan segala yang civic dan public. Padahal, orientasi demokrasi
menghendaki tanggung jawab publik (public
accountability) diletakkan sebagai entitas tertinggi di atas tanggung
jawab politik (political accountability).
Bung Hatta mengatakan, demokrasi tidak akan berjalan baik tanpa
adanya rasa tanggung jawab. Demokrasi dan tanggung jawab ibarat dua sisi
keping mata uang yang tidak bisa dipisahkan, sebagaimana hak dan kewajiban.
Pemerintahan demokratis dan tanggung jawab publik adalah dua segi timbal
balik sebagai tuntutan moral-etika.
Moral-etika adalah landasan legitimasi kekuasaan. Pemisahan
moral-etika, tanggung jawab dengan kekuasaan niscaya akan menggerogoti
kekuasaan itu sendiri dari dalam. Jabatan dan kekuasaan memang memiliki
kekuatan yang menggoda.
Mantan Presiden Cekoslowakia, Vaclav Havel (1991),
memperingatkan bahwa semua itu delusif, palsu, dan sangat berbahaya. Jika
seorang pengenggam kekuasaan tidak mampu menaklukkannya di bawah bimbingan
etika, kesadaran nurani, dan akal budi, ia akan terbutakan olehnya. Akhirnya,
penjara menjadi pelabuhan terakhir bagi manusia-manusia pemuja hasrat kuasa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar