Antara
Politik dan Sepak Bola
Seno
Gumira Ajidarma ; Wartawan
|
TEMPO.CO,
25 Februari 2014
Menengok "hasil" kerja sebagian besar lembaga survei,
terlihat bahwa dua kuda balap terdepan dalam wacana calon presiden RI
terus-menerus dipegang oleh dua nama: Jokowi dan Prabowo Subianto. Untuk
menguji popularitasnya (bukan dalam pengertian "disukai", tapi
sekadar "masuk berita" saja), melalui klak-klik-klak-klik pada
mesin Indonesia Indicator yang melacak 337 media daring (online), saya
bandingkan mereka dengan dua nama dari hiburan rakyat paling digemari, yakni
sepak bola: Cristiano Ronaldo dan Lionel Messi. Secara teoretis, politik
mehong di Indonesia popularitasnya bukan tandingan sepak bola internasional,
tapi dalam konteks dunia maya Indonesia, baiklah kita lihat apa yang terjadi.
Dalam tujuh hari terakhir sebelum Senin, 24 Februari 2014, nama
Jokowi terlacak dalam 65,4 persen dan Prabowo tercatat 9,8 persen dari 1.710
berita. Dalam 30 hari terakhir, Jokowi naik menjadi 65,2 persen, Prabowo
masih 10,3 persen dari 8.902 berita. Dalam 3 bulan terakhir, angka Jokowi
64,6 persen dan Prabowo kebagian 10,2 persen dari 32.949 berita.
Diadu dengan dua nama dari ranah sepak bola internasional,
Cristiano Ronaldo dan Lionel Messi, terjadi kompetisi menarik. Dalam 6 bulan
terakhir, Jokowi menyabet 68,3 persen dan Prabowo hanya 9,5 persen, sementara
Ronaldo mendapat 11,2 persen dan Messi 11 persen dari 60.740 berita. Adapun
dalam setahun terakhir, tak kurang dari 73,4 persen berita memuat Jokowi dan
persentase Prabowo naik menjadi 10,5 persen. Sementara itu, Ronaldo kebagian
8,1 persen dan Messi hanya 8 persen dari 87.812 berita-semua ini dalam
konteks media daring Indonesia.
Nama Prabowo Subianto ternyata bisa bersaing dengan Cristiano
Ronaldo dan Lionel Messi, meski angka ketiganya dari sudut mana pun tetap
inferior dibanding perolehan Jokowi. Ketika Cristiano Ronaldo mendapat kartu
merah dalam La Liga Spanyol, dia kurang menjadi berita dalam tiga minggu. Ini
tentu menjadi keuntungan bagi Messi dalam tujuh hari terakhir, yang meraup
20,1 persen dan Ronaldo hanya 4,7 persen. Komposisi persentase ini tampak
"nyata" sebagai representasi teruji, bukan kibulan.
Namun bukan popularitas nama-namalah yang saya uji, melainkan
antara politik dan sepak bola. Tadinya, ini ditujukan untuk menguji dugaan
bahwa politik (biasanya) menyebalkan sebagai tontonan, dan sepak bola tak
kalah asyiknya disaksikan sebagai sirkus politik: perang psikologis
antar-pelatih, strategi dalam jual-beli transfer pemain, plus tentu saja
praksis dari taktik dan keterampilan individual pemain yang berkarakter di
lapangan (jangan lupa, via kacamata media). Jika mengacu pada masa Orde Baru
pada 1980-1990-an, jelas persaingan antara Napoli dan Diego Maradona di
dalamnya dengan AC Milan yang mengandalkan Trio Belanda (Ruud Gullit, Frank
Rijkaard, dan Marco van Basten) lebih layak diikuti ketimbang
"persaingan" Golkar, PPP, dan PDI (belum pakai
"Perjuangan") saat itu.
Sinisme? Ya, yang syukurlah gugur, karena politik Indonesia kini
rupanya sudah bukan "sepakbola gajah" lagi. Persaingannya beneran,
meskipun uang masih dipakai juga. Artinya, politik Indonesia sudah lebih
"layak tonton". Pertanyaannya sekarang, dalam asumsi bahwa dengan
segala aspek politisnya sepak bola tetap dipandang sebagai hiburan,
terlacaknya popularitas berita-berita politik menunjukkan gejala apa? Sepak
bola tersaingi oleh politik sebagai hiburan potensial, ataukah politik sudah
lebih dihargai sebagai wacana serius yang boleh lebih diperhatikan daripada
sepak bola?
Dapat saya ringkaskan, meskipun konstruksi struktural persaingan
politik dan sepak bola itu sama, hasil akhirnya mempunyai akibat berbeda:
kalah-menangnya Barcelona, Real Madrid, Manchester United, Chelsea, dan
Manchester City barangkali penting bagi kebahagiaan pendukungnya-artinya
mempunyai dampak "spiritual", tapi tidak memberi akibat konkret
dalam kehidupan praktis. Sebab, sepak bola jika dikembalikan kepada
"hakikat"-nya (astaga!) memang adalah "main bola" (baca:
keterampilan memainkan bola dengan kaki) sahaja, betapapun telah menjadi
fenomena bisnis hiburan (sekali lagi: via media) yang spektakuler.
Adapun dalam politik, menang-kalahnya Jokowi atau Prabowo
agaknya dianggap akan memberi akibat langsung bagi kehidupan masing-masing
(rumah sakit gratis, sekolah gratis, dan tunjangan kemiskinan?), meskipun
suka atau tidak suka kepada kepribadiannya yang maha-dahsyat (awas, via
media!) itu tetap merupakan faktor determinan tak teringkari. Berbeda dengan
masa Orde Baru, ketika rakyat begitu apatis terhadap politik "sepak bola
gajah", politik Indonesia masa kini tak lagi sekadar "layak
tonton". Dengan demikian, nama Prabowo bisa menyaingi popularitas
Cristiano Ronaldo dan Lionel Messi, tapi juga telah dihargai dalam harkat
politik itu sendiri: hasil akhir yang ikut kita tentukan akan mempengaruhi
kehidupan kita bersama. Mungkin kesadaran semacam ini akan membuat angka
golput berkurang dalam Pemilu 2014. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar