Bencana
versus Sabda Alam
Sujiwo
Tejo ; Dalang
|
TEMPO.CO,
27 Februari 2014
Sudah
saatnya kita tak terus-terusan kurang ajar kepada alam. Menyebut letusan
gunung berapi, tanah longsor, banjir bandang, tsunami, dan sejenisnya sebagai
bencana alam adalah bentuk kekurangajaran itu. Dengan istilah bencana alam,
sadar atau tidak, terkandung kemarahan atau minimal kekesalan kita kepada
alam.
Bukankah
letusan gunung, hujan abu, dan sebagainya hanyalah peristiwa fisika-kimia
biasa agar alam secara keseluruhan senantiasa mencapai keseimbangan baru? Hal
yang sudah niscaya dalam hukum alam seperti itu, sama halnya dengan pemuaian,
penguapan, gravitasi, dan sebagainya, kok dengan sepihak dan sewenang-wenang
kita tuding sebagai bencana?
Dengan
istilah yang mengandung unsur penyalahan alam, aktivitas memindahkan manusia
terkesan sebagai kegiatan mengungsikan orang-orang dari ruang dan waktu milik
mereka sebelumnya yang kemudian direnggut oleh alam. Padahal, kesibukan itu
hanyalah bahu-membahu bagi sesama untuk sementara guna mengembalikan ruang
dan waktu yang mereka pinjam dari alam sebagai nyonya ruang dan waktu.
Saat
letusan gunung, angin topan, dan semacamnya terjadi, selalu mengharukan
melihat polisi dan tentara rukun dalam membantu warga-pemandangan yang langka
untuk "job-job" lain. Sayang, pada saat serentak, selalu membuat
sedih. Sedihnya, pekerjaan yang guyub-sentosa itu sejatinya didorong oleh
niat mengungsikan manusia dari hak milik ruang dan waktunya. Yang dipindahkan
pun mempunyai rasa serupa. Adegan lantas tak ubahnya dengan pemandangan
mengungsikan warga dari hak milik ruang dan waktunya yang terenggut oleh
peperangan.
Padahal,
peperangan jelas-jelas berbeda dengan letusan gunung. Peperangan itu bencana.
Letusan gunung, seperti halnya angin puting-beliung dan sejenisnya, adalah
sabda alam. Mereka adalah keniscayaan-keniscayaan yang berlangsungnya tidak
bergantung pada nafsu, hasrat, cita-cita, dan lain-lain manusia.
Ini
sama halnya sabda alam yang terucap dalam hukum gravitasi bumi. Buah apel
akan jatuh bila dilepas. Tak peduli apa harapan Galileo maupun Newton
terhadap nasib buah tersebut.
Apakah
jatuhnya apel adalah bencana? Rasanya semua akan sepakat untuk mengatakannya
tidak. Herannya, dalam musyawarah tata nilai, sadar maupun tidak, semua masih
mufakat bahwa letusan gunung adalah bencana alam.
Buntut
lain dari penggunaan idiom bencana alam masih banyak. Di antaranya, kegiatan
yang dianggap sebagai pemulihan dari akibat letusan gunung dan semacamnya
disebut penanggulangan. Lahirlah, misalnya, lembaga yang dinamai Badan
Nasional Penanggulangan Bencana. Konsisten dengan anggapan sebagai bencana,
letusan gunung pun dianggap sebagai masalah. Masalah, sebagaimana lilitan
utang, skripsi yang tak kunjung rampung, dan sebagainya, harus ditanggulangi.
Padahal,
sejatinya, yang bermasalah itu siapa? Yang mencari perkara, ya, kita. Kita
semua termasuk saya. Yang berkehendak tinggal di atas ribuan kilometer tapal
kuda api. Kita sudah berkehendak menjadi perkara itu sendiri jauh sebelum
gunung meletus.
Alam
tak demikian. Tanah yang labil lantaran tak ditahan oleh akar-akar maupun
talut akan tunduk pada sabda alam untuk mencari kestabilan baru dengan cara
longsor. Gunung, sungai, hutan, lautan, dan sebagainya tak punya kehendak.
Mereka hanya tunduk pada hukum alam untuk selalu mencapai, itu tadi,
keseimbangan baru.
Konsekuensi
menamai sabda alam terhadap semua itu termasuk gempa, sebagai ganti bencana
alam, tentu banyak. Antara lain, tak ada lagi nama Badan Nasional
Penanggulangan Bencana. Adanya Badan Nasional Penyelarasan Sabda Alam.
Sabda
alam tak perlu ditanggulangi, tak perlu diatasi, apalagi dilawan. Sabda alam
hanya perlu diselarasi. Ini klop dengan doa agama-agama leluhur untuk tak
minta apa-apa kecuali memohon agar kita senantiasa sanggup menyelaraskan diri
dan tunduk dalam harmoni hukum semesta.
Harmonisasi
terhadap hukum alam itu bisa ditempuh melalui jalan pengetahuan. Selama
tinggal di atas tapal kuda api itu, yang percaya ilmu pengetahuan model
sekarang biarlah menyimak petunjuk-petunjuk Mbah Rono dan sejawatnya.
Yang
percaya ilmu pengetahuan model baheula biarlah menyimak petuah-petuah Mbah
Maridjan dan para sejawat serta penggantinya, yang melanggengkan
cerita-cerita tentang gegunung. Jangan sampai 129 gunung berapi di Nusantara
ini kehabisan kisah. Jangan sampai orang-orang berpikir bahwa Gunung
Karangetang, Gunung Lokon, dan Gunung Rokatenda sebentar lagi mungkin akan
meletus. Tidak! Mereka tak akan pernah meletus. Mereka, bahkan menurut Mbah
Rono, hanya akan menepati janji-janjinya.
Ya,
senantiasa mencari keseimbangan baru dan senantiasa menepati janji-janjinya.
Demikianlah sabda alam dalam dua cita rasa ilmu pengetahuan.
Soal
penggantian bencana alam dengan sabda alam, atau dengan istilah lain kalau
ada yang lebih tepat, tidak susah. Mengafkir papan-papan nama departemen
menjadi kementerian saja bisa kok. Apalagi mengganti nama-nama yang kuat
terkait dengan tata-krama kita terhadap alam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar