Kenapa
PRT Anak Rawan Teraniaya
Bagong
Suyanto ; Dosen Masalah Sosial Anak FISIP Unair
|
JAWA
POS, 26 Februari 2014
KASUS
penganiayaan yang menimpa pembantu rumah tangga (PRT) anak sesungguhnya bukan
hal baru di Indonesia. Di berbagai daerah, hampir setiap tahun dilaporkan
terjadinya kasus penganiayaan PRT anak, mulai perlakuan kasar, menjadi korban
pencabulan, hingga korban tewas karena tidak kuat menanggung penderitaan yang
mereka alami sehari-hari.
Kasus
penganiayaan PRT anak yang terbaru dilaporkan terjadi di Bogor, Jawa Barat.
Hasil investigasi Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menemukan fakta
ada 7 di antara 16 PRT yang diduga menjadi korban abuse di rumah salah seorang
mantan petinggi aparat penegak hukum ternyata adalah anak-anak di bawah umur.
Seberapa
jauh penganiayaan kepada PRT anak oleh istri aparat kepolisian itu hingga
saat ini masih menjadi bahan penyelidikan. Proses hukumlah nanti yang
menentukan apa sebetulnya yang terjadi dan siapa pihak yang harus bertanggung
jawab atas kejadian tersebut. Namun, cerita tentang PRT anak yang
diperlakukan kasar, dipukul atau ditendang majikan, disiram air panas, bahkan
disuruh makan kotoran sendiri adalah cerita yang kerap kita dengar tatkala
kasus penganiayaan PRT anak mencuat.
Di
Indonesia, kasus penganiayaan PRT anak tidak kalah miris dengan kasus
penganiayaan TKI/TKW yang selama ini terjadi di luar negeri. Meski di
Indonesia telah diberlakukan UU Perlindungan Anak dan tidak sedikit majikan
yang telah dipidana gara-gara perlakuan mereka yang buruk kepada PRT-nya,
masih saja terjadi kasus-kasus tindak kekerasan serupa.
Berbeda
dengan buruh atau pekerja pabrik yang telah memiliki keberdayaan dan telah
pula terwadahi dalam forum-forum gerakan aksi unjuk rasa yang relatif solid,
sebagai sesama pekerja, yang namanya PRT anak boleh dikata masih
terpecah-pecah dalam kelompok-kelompok kecil, bahkan individu-individu yang
sama sekali belum terlindungi.
Kasus-kasus
penganiayaan PRT anak yang terjadi di berbagai derah dan dekspose media massa
belakangan ini ibaratnya adalah fenomena ''gunung es''. Bukan tidak mungkin
di balik kasus-kasus yang mencuat sebetulnya masih ada banyak kasus
penganiayaan PRT anak lain yang belum ketahuan publik.
Studi
yang dilakukan ILO-IPEC (2000) tentang kehidupan PRT anak di sejumlah kota
besar di Indonesia menemukan, sering terjadi majikan berbuat apa saja kepada
PRT anak karena tidak adanya perlindungan hukum yang memadai. Hanya alasan
jengkel karena PRT yang bekerja di rumahnya dinilai malas, mulai berani
berpacaran, atau dinilai kerja asal-asalan, tidak sekali-dua kali majikan
lantas berhak menumpahkan kemarahan, makian, dan bahkan melakukan tindakan
kekerasan yang melukai fisik dan psikis.
Posisi
tawar yang lemah dan tidak adanya dukungan lembaga yang solid yang membela
nasib PRT anak, tampaknya, adalah salah satu penyebab kasus-kasus
penganiayaan PRT anak masih saja terjadi di tanah air ini. Bandingkan dengan
nasib PRT dari Filipina, misalnya yang selama ini tak kalah banyak bekerja di
berbagai negara seperti TKI/TKW dari Indonesia. Sudah menjadi pengetahuan
umum bahwa TKW dari Filipina yang bekerja di luar negeri umumnya memperoleh
perlindungan hukum yang memadai dari pemerintahnya. Di Singapura, para
majikan umumnya sadar dan tidak gegabah memperlakukan PRT-nya yang dari
Filipina dengan tidak adil.
Berbeda
dengan suster atau babysyter yang tanggung jawab kerja dan keahliannya sudah
jelas, serta sudah pula memiliki standar gaji yang lebih tertata, posisi PRT
sering lemah. Gaji mereka juga belum terstandardisasi dengan jelas karena
mereka melakukan pekerjaan serabutan dan berbagai pekerjaan domestik yang
dalam pandangan majikan bisa dilakukan siapa pun, khususnya perempuan miskin
dari desa.
Lebih
dari sekadar persoalan ketenagakerjaan, kasus penganiayaan yang selama ini
acap menimpa PRT anak sesungguhnya adalah buah dari konstruksi masyarakat
tentang nilai dan arti penting kerja di sektor domestik dan posisi PRT. Tanpa
disadari, apa yang dialami dan terjadi pada PRT di tanah air sesungguhnya
adalah bentuk perbudakan di dunia modern yang melanggar hak-hak asasi
manusia.
Tanpa
didukung kontrak kerja yang jelas, perlindungan hukum yang memadai, dan
kesadaran masyarakat untuk ikut mengawasi kemungkinan terjadinya pelanggaran
hak-hak pekerja di sektor informal dan nonformal, sepanjang itu pula nasib
PRT anak akan tetap rawan teraniaya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar