Rabu, 26 Februari 2014

Kenapa PRT Anak Rawan Teraniaya

Kenapa PRT Anak Rawan Teraniaya

Bagong Suyanto  ;   Dosen Masalah Sosial Anak FISIP Unair
JAWA POS,  26 Februari 2014
                                                                                                                       
                                                                                         
                                                                                                                       
KASUS penganiayaan yang menimpa pembantu rumah tangga (PRT) anak sesungguhnya bukan hal baru di Indonesia. Di berbagai daerah, hampir setiap tahun dilaporkan terjadinya kasus penganiayaan PRT anak, mulai perlakuan kasar, menjadi korban pencabulan, hingga korban tewas karena tidak kuat menanggung penderitaan yang mereka alami sehari-hari.

Kasus penganiayaan PRT anak yang terbaru dilaporkan terjadi di Bogor, Jawa Barat. Hasil investigasi Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menemukan fakta ada 7 di antara 16 PRT yang diduga menjadi korban abuse di rumah salah seorang mantan petinggi aparat penegak hukum ternyata adalah anak-anak di bawah umur.

Seberapa jauh penganiayaan kepada PRT anak oleh istri aparat kepolisian itu hingga saat ini masih menjadi bahan penyelidikan. Proses hukumlah nanti yang menentukan apa sebetulnya yang terjadi dan siapa pihak yang harus bertanggung jawab atas kejadian tersebut. Namun, cerita tentang PRT anak yang diperlakukan kasar, dipukul atau ditendang majikan, disiram air panas, bahkan disuruh makan kotoran sendiri adalah cerita yang kerap kita dengar tatkala kasus penganiayaan PRT anak mencuat.

Di Indonesia, kasus penganiayaan PRT anak tidak kalah miris dengan kasus penganiayaan TKI/TKW yang selama ini terjadi di luar negeri. Meski di Indonesia telah diberlakukan UU Perlindungan Anak dan tidak sedikit majikan yang telah dipidana gara-gara perlakuan mereka yang buruk kepada PRT-nya, masih saja terjadi kasus-kasus tindak kekerasan serupa.

Berbeda dengan buruh atau pekerja pabrik yang telah memiliki keberdayaan dan telah pula terwadahi dalam forum-forum gerakan aksi unjuk rasa yang relatif solid, sebagai sesama pekerja, yang namanya PRT anak boleh dikata masih terpecah-pecah dalam kelompok-kelompok kecil, bahkan individu-individu yang sama sekali belum terlindungi.

Kasus-kasus penganiayaan PRT anak yang terjadi di berbagai derah dan dekspose media massa belakangan ini ibaratnya adalah fenomena ''gunung es''. Bukan tidak mungkin di balik kasus-kasus yang mencuat sebetulnya masih ada banyak kasus penganiayaan PRT anak lain yang belum ketahuan publik.

Studi yang dilakukan ILO-IPEC (2000) tentang kehidupan PRT anak di sejumlah kota besar di Indonesia menemukan, sering terjadi majikan berbuat apa saja kepada PRT anak karena tidak adanya perlindungan hukum yang memadai. Hanya alasan jengkel karena PRT yang bekerja di rumahnya dinilai malas, mulai berani berpacaran, atau dinilai kerja asal-asalan, tidak sekali-dua kali majikan lantas berhak menumpahkan kemarahan, makian, dan bahkan melakukan tindakan kekerasan yang melukai fisik dan psikis.

Posisi tawar yang lemah dan tidak adanya dukungan lembaga yang solid yang membela nasib PRT anak, tampaknya, adalah salah satu penyebab kasus-kasus penganiayaan PRT anak masih saja terjadi di tanah air ini. Bandingkan dengan nasib PRT dari Filipina, misalnya yang selama ini tak kalah banyak bekerja di berbagai negara seperti TKI/TKW dari Indonesia. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa TKW dari Filipina yang bekerja di luar negeri umumnya memperoleh perlindungan hukum yang memadai dari pemerintahnya. Di Singapura, para majikan umumnya sadar dan tidak gegabah memperlakukan PRT-nya yang dari Filipina dengan tidak adil.

Berbeda dengan suster atau babysyter yang tanggung jawab kerja dan keahliannya sudah jelas, serta sudah pula memiliki standar gaji yang lebih tertata, posisi PRT sering lemah. Gaji mereka juga belum terstandardisasi dengan jelas karena mereka melakukan pekerjaan serabutan dan berbagai pekerjaan domestik yang dalam pandangan majikan bisa dilakukan siapa pun, khususnya perempuan miskin dari desa.

Lebih dari sekadar persoalan ketenagakerjaan, kasus penganiayaan yang selama ini acap menimpa PRT anak sesungguhnya adalah buah dari konstruksi masyarakat tentang nilai dan arti penting kerja di sektor domestik dan posisi PRT. Tanpa disadari, apa yang dialami dan terjadi pada PRT di tanah air sesungguhnya adalah bentuk perbudakan di dunia modern yang melanggar hak-hak asasi manusia.

Tanpa didukung kontrak kerja yang jelas, perlindungan hukum yang memadai, dan kesadaran masyarakat untuk ikut mengawasi kemungkinan terjadinya pelanggaran hak-hak pekerja di sektor informal dan nonformal, sepanjang itu pula nasib PRT anak akan tetap rawan teraniaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar