Menghindari
Gugatan Medis
Sri
Murniatiningsih ; Ketua Komite Etik dan Hukum RSUD Kabupaten
Kebumen
|
SUARA
MERDEKA, 24 Februari 2014
KEMENINGKATAN tingkat pendidikan dan kondisi sosial ekonomi
masyarakat, serta kecanggihan teknologi komunikasi, berkorelasi dengan
kemeningkatan kesadaran masyarakat akan hak atas pelayanan kesehatan.
Pelayanan kesehatan mereka peroleh melalui penyelenggaraan upaya kesehatan,
dengan inti praktik kedokteran.
Kepesatan perkembangan ilmu kedokteran dan kemajuan peralatan
medis menimbulkan harapan dokter pasti berhasil menyembuhkan/ mengobati.
Ketika terjadi ketidakberhasilan maka pasien dan keluarga kecewa. Mereka
tidak tahu atau tak mau tahu apakah cedera, cacat, atau kematian itu terjadi
karena penyakit yang memburuk, efek samping obat, risiko tindakan operasi,
keterbatasan fasilitas, kecelakaan medis; atau memang karena kelalaian dan
malapraktik.
Ketidakpuasan pasien/keluarga melahirkan konflik yang berkembang
jadi sengketa medis yang dapat berlanjut menjadi gugatan di pengadilan. Dasar
yuridis hak gugat atas pelayanan kesehatan secara lex specialis diatur dalam
Pasal 66 UU Praktik Kedokteran (UU Nomor 29 Tahun 2004), Pasal 58 UU
Kesehatan (UU Nomor 36 Tahun 2009), Pasal 32 Huruf r dan Pasal 46 UU Rumah
Sakit (UU Nomor 44 Tahun 2009).
Dalam melaksanakan pelayanan medis, dokter harus memenuhi
berbagai persyaratan, yang semua itu bertujuan melindungi dokter dan pasien.
Sekalipun peraturan praktik kedokteran makin lengkap, sorotan masyarakat
terhadap profesi dokter masih sering terjadi. Mengapa profesi dokter masih
saja disorot, masih digugat ke pengadilan, sementara UU yang mengatur profesi
dokter makin lengkap?
Salah satu penyebabnya adalah dari aspek kultur, khususnya
budaya dokter dan juga masyarakat tentang kurangnya pemahaman atas apa yang
disebut transaksi terapeutik. Dokter pun acap kurang menyadari bahwa ketika
ia menerima pasien, sebenarnya telah terjadi transaksi, perjanjian, persetujuan.
Dunia medis biasa menyebut kontrak terapeutik, yang memunculkan hubungan
hukum (perikatan) antara dokter dan pasien, yang kemudian melahirkan hak dan
kewajiban.
Pasien mempunyai hak dan kewajiban, demikian juga dokter.
Menurut ketentuan hukum, hubungan itu
berlaku sebagai undang-undang yang harus ditaati. Bila salah satu pihak tidak
memenuhi kewajibannya, pihak yang dirugikan dapat menuntut atau menggugat
pihak lain. Transaksi terapeutik pada dasarnya perjanjian antara dokter dan
pasien untuk melakukan ’’pekerjaan’’.
Bentuk prestasi yang menjadi kewajiban dokter (dan menjadi hak
pasien) adalah upaya medis yang layak dan benar berdasarkan teori kedokteran
yang telah teruji kebenarannya. Sementara bentuk kontraprestasi yang menjadi
kewajiban pasien (dan menjadi hak dokter/rumah sakit) adalah uang atau apa
saja yang bersifat materi, dengan jumlah layak, sesuai kesepakatan atau
kebiasaan yang berlaku.
Menurut Bahder Johan Nasution, dalam hukum perikatan dikenal dua
macam perjanjian. Pertama; inspanning verbintenis, yaitu perjanjian upaya,
artinya kedua pihak berjanji atau sepakat berdaya upaya secara maksimal
mewujudkan apa yang diperjanjikan.
Kedua; resultaat verbintenis, yaitu perjanjian yang akan menghasilkan resultaat
atau hasil yang nyata seperti diperjanjikan.
Sebagai Upaya
Transaksi terapeutik termasuk inspanning verbintenis atau
perjanjian upaya, karena dokter tak mungkin menjanjikan kesembuhan kepada
pasien. Dokter melakukan pelayanan kesehatan sebagai upaya menyembuhkan
pasien. Upaya ini harus dilakukan dengan penuh kesungguhan, mengerahkan
seluruh kemampuan berpedoman pada standar profesi.
Bila seluruh upaya yang dilakukan dokter atas persetujuan pasien
sudah dilaksanakan sesuai standar profesi, standar pelayanan medis, dan
standar prosedur operasional namun hasilnya tak seperti yang diinginkan, kita
tidak bisa mengatakan dokter telah melakukan wanprestasi.
Hal ini berbeda dari resultaat verbintenis, di mana pihak yang
berjanji akan memberikan resultaat, yaitu perjanjian yang akan menghasilkan
sesuai dengan apa yang dijanjikan. Contoh adalah ketika rumah sakit
menjanjikan ruang rawat inap kelas utama dengan fasilitas tempat tidur
pasien, tempat tidur penunggu pasien, kamar mandi dengan pemanas air, kulkas,
dispenser, televisi 20 inci, dan telepon. Bila janji itu tidak ditepati
karena kenyataannya tidak ada kulkas
misalnya maka rumah sakit telah melakukan wanprestasi, dan pasien mempunyai
hak menggugat.
Transaksi terapetik dimulai saat pasien datang ke rumah
sakit/tempat praktik dokter, dan bagian pendaftaran menerima pasien dan
mencatatnya. Pada pasien yang mendaftar lewat telepon, sepanjang pihak rumah
sakit/tempat praktik dokter menyatakan kesanggupannya melayani, saat itulah
transaksi terapeutik dimulai. Sikap etis dan profesional dalam mengupayakan
kesembuhan pasien akan dilihat dan dirasakan pasien dan keluarganya. Karena
itu, andai upaya yang dilakukan dokter tak berhasil, mereka mau menerima dan
tidak akan menggugat dokter/rumah sakit. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar