“Ibu”
yang Merawat NKRI
Supriadi
Rustad ; Pengelola Program Maju Bersama Mencerdaskan
Indonesia Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
|
SUARA
MERDEKA, 25 Februari 2014
ADA yang perlu saya tambahkan pada dua tulisan Prof Dr Tri
Marhaeni Pudji Astuti, "Sekolah di Atas Awan" dan "Magister
Segala Ilmu", yang dimuat berseri di harian ini (28-29/2/14). Sama
sekali bukan untuk mengoreksi artikel yang berfokus pada kisah pengabdian Sarjana
Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (SM3T), terutama di
pelosok Kabupaten Landak Kalimantan Barat itu, melainkan mengimbuhkannya
dalam perspektif lain.
Di tengah ancaman kemeningkatan segregasi sosial politik,
terutama di daerah yang tergolong sensitif, secercah sinar Indonesia baru
justru terpancar dari berbagai pelosok negeri. Di daerah terluar, terdepan,
dan tertinggal (3T), para sarjana mendidik telah menunjukkan cara merawat
negara kesatuan yang amat besar lagi plural ini.
SM3T adalah program pengabdian sarjana mendidik di daerah 3T
selama setahun. Tak hanya mengajar di sekolah, ribuan sarjana pendidikan itu
berusaha meleburkan diri untuk menjadi bagian dari kehidupan sosial tempat
mereka tinggal. Setahun mengabdi, setelah itu mengikuti Pendidikan Profesi Guru (PPG) yang merupakan bagian dari program Maju Bersama Mencerdaskan Indonesia
(MBMI) Kemdikbud.
Pertimbangan ”putra daerah”dengan segenap medan makna yang
terbangun di dalamnya, yang sering dijadikan variabel penentu dalam pemilihan
ataupun pengangkatan aparatur namun sesungguhnya potensial membuat bangsa ini
jalan mundur dalam konteks persatuan dan kesatuan, justru tidak menemukan
relevansinya dalam program ini. Pasalnya, spirit yang kemudian terbangun,
baik pada diri sarjana mendidik yang mengabdi, siswa, guru, maupun
masyarakat, adalah spirit dalam satu dekapan NKRI.
Ketika kali pertama kami luncurkan pada 2011, program SM3T
pernah diragukan diminati sarjana baru. Kenyataannya, jumlah pelamar
membeludak hingga di atas 10.000 dari kuota 3.000, hingga 2.400 peserta
dinyatakan layak. Kini, setelah memasuki tahun ketiga, mereka usai sudah
mengikuti tahap penggemblengan karakter di asrama dan PPG di berbagai lembaga
pendidikan tenaga kependidikan (LPTK). Yang kemudian tidak terduga, 78%
peserta mengajukan diri kembali bertugas di daerah 3T setelah kelak
menamatkan PPG. Benar-benar telah terjadi pergeseran cara pandang anak muda
terhadap makna Indonesia.
”Awalnya saya mengikuti
program ini karena tertarik mendapatkan pekerjaan sekaligus insentif bulanan.
Namun setelah sebulan berjalan, saya merasa harus menjadi bagian dari upaya
mencerdaskan anak-anak di wilayah tertinggal,” ungkap Sandra Novita, peserta SM3T asal Unnes yang bertugas di
Ruteng NTT.
Kedatangan peserta SM3T bak curah hujan saat kemarau panjang.
Anak-anak yang sebelumnya enggan bersekolah, dengan kehadiran para sarjana
mendidik itu merasakan sentuhan kasih sayang dari guru muda yang disebutnya
sebagai bapak ibu guru yang ”baik dan
tara pakai kekerasan”. Tak mengherankan jika kemudian muncul kekhawatiran
sebagaimana diungkapkan Andrianus Usior, siswa SMP 3 Oridek Biak Numfor
Papua, ”Tidak bisakah masa kontrak
mereka diperpanjang? Ibu Kartini yang mengajar kami, kalau bisa jangan
pulang, tetaplah di sini.”
Karena itu, pernyataan sebagaimana diungkapkan oleh Bupati Biak
Numfor, Bupati Alor, dan beberapa kepala daerah lainnya untuk bersedia
menerima para SM3T menjadi guru tetap di daerah masing-masing setelah mereka
menamatkan pendidikan, adalah nutrisi yang makin menyehatkan bangunan NKRI.
Tidak hanya di tingkat elite perasaan semacam itu muncul.
Seorang peserta SM3T di Pulau Numfor, Biak Numfor, Papua menuturkan
pengalamannya setelah sebulan berada di wilayah pengabdian. ”Tahu kalau kami jauh-jauh datang dan
sungguh-sungguh mengajar, mereka bilang, kalau bapak guru sama ibu guru tak
diangkat di sini, kami siap angkat parang.”
Kisah Rinon
Nukilan kisah lain yang tak kalah menggetarkan datang dari ujung
barat republik ini. Desa itu lebih barat dari Sabang, termasuk kawasan di
Pulau Breueh yang selama 24 jam penuh tanpa aliran listrik. Namanya Desa
Rinon, termasuk wilayah Kecamatan Pulo Aceh, Kabupaten Aceh Besar. Konon,
berasal dari kata RI non yang bisa berarti bukan RI, namun ada pula yang
menyebutkan berasal dari kata RI nol. Maksudnya di sanalah letak titik nol
RI.
Enam presiden silih berganti di negeri ini, namun belum pernah
anak-anak sekolah di sana mengibarkan Merah Putih dengan iringan lagu
”Indonesia Raya”dalam sebuah upacara. Hingga kemudian, para sarjana mendidik
itu datang melakukannya bersama guru dan murid SD. Kini, Sang Saka senantiasa
dikibarkan di depan gedung sekolah dan anak-anak riang sekali menyanyikan
”Indonesia Raya”pada setiap kesempatan. Para leluhur
telah mengajarkan bahwa negara itu secara idiomatik sebagai Ibu Pertiwi,
bukan Bapak Pertiwi. Negara yang dicita-citakan oleh nenek moyang (bukan
kakek moyang) adalah negara yang memiliki spirit keibuan sekaligus watak
kodrati asah, asih, dan asuh.
Negara ini sudah tentu harus dirawat oleh institusi berwatak
ibu yang rela jatuh bangun demi keberlangsungan generasi mendatang yang lebih
baik. Berbagai persoalan pengelolaan pendidikan saat ini justru makin meneguhkan sektor ini
sedang bekerja keras menjalankan tugas utamanya sebagai Ibu Pertiwi untuk
negara besar nan kompleks ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar