Meragukan
Janji JKN
Rahmat
Pramulya ; Dosen dan Peneliti di Universitas Teuku Umar,
Aceh Barat
|
SUARA
KARYA, 26 Februari 2014
Tahun 2014 pemerintah
meluncurkan sistem dan institusi baru dalam penanganan Jaminan Kesehatan
Nasional (JKN), yaitu dengan lahirnya Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
(BPJS) Kesehatan. Pro dan kontra terus bergulir. Aroma neoliberal pun tercium
dalam peluncuran sistem baru ini. Komersialisasi pelayanan kesehatan menjadi
bayang-bayang menakutkan yang membuat warga negara meragukan janji JKN.
Betapa tidak, JKN
sesungguhnya merupakan konsep yang dipaksakan World Trade Organization (WTO)
kepada negara-negara di dunia, termasuk Indonesia. WTO memasukkan layanan
kesehatan sebagai layanan yang tercantum dalam kesepakatan perdagangan. Dua
abad lebih Indonesia itu di bawah naungan kapitalisme. Bencana kemanusiaan
akibat tata kelola sistem kesehatan liberalistik terus mengancam masyarakat.
Industrialisasi pelayanan
kesehatan kian diperparah oleh perubahan institusi komponen utama sistem
kesehatan milik pemerintah menjadi korporasi. Seperti dijadikannya rumah
sakit sebagai Badan Layanan Umum (BLU) yang berbuah pahit harga pelayanan
kesehatan yang terus melangit. Setiap tahun terjadi kenaikan biaya kesehatan
lebih dari nilai inflasi.
Survei Global Medical Trends oleh Towers
Watson 2011 menunjukkan kenaikan biaya kesehatan di Indonesia mencapai
10-13%. Kondisi memprihatinkan ini terindikasi dari tingginya pengeluaran
biaya kesehatan out of pocket/OOP
(pembayaran tunai) di mana pada tahun 2011 OOP Indonesia lebih dari 50% dari
pengeluaran kesehatan keseluruhan. Sementara menurut Badan Kesehatan Dunia
(WHO), OOP 15-20% saja sudah berisiko mengakibatkan bencana finansial.
Ironisnya, propaganda
jaminan kesehatan yang sangat kapitalistik bernama Universal Health Coverage (Jaminan Kesehatan Semesta) kian gencar
menyerbu. Yang sesungguhnya terjadi dengan model jaminan kesehatan
kapitalistik tersebut adalah pengambilan paksa uang rakyat. Dan, ini adalah
pemalakan terhadap rakyat karena kepesertaan yang bersifat wajib. Padahal
semestinya bukan menjadi kewajiban rakyat memikul tanggung jawab pembiayaan
tersebut.
Dalam berbagai dokumen
tampak jelas adanya pembatasan peran pemerintah dalam JKN dengan diliriknya
swasta sebagai institusi penyelenggara asuransi sosial. Ada keinginan untuk
mengalihkan tanggung jawab penyelenggaraan layanan kesehatan dari pemerintah
kepada swasta dengan dalih swasta merupakan institusi yang memiliki kemampuan
lebih tinggi dalam membiayai pelayanan kesehatan atas nama peserta jaminan
sosial. Meski sesungguhnya tidak sepenuhnya benar, tata kelola
korporasi/swasta selalu lebih efisien. Review terhadap sejumlah penelitian
tidak mendukung asumsi tersebut.
Dalam praktiknya, BPJS
Kesehatan dibenarkan mengambil paksa (memalak) sejumlah uang masyarakat
(pengusaha, pekerja, maupun non pekerja) setiap bulan selama hidup dan tidak
akan dikembalikan, kecuali berupa pelayanan kesehatan sesuai tarif BPJS
Kesehatan, yaitu saat sakit. Tak hanya itu, pemalakan tersebut kian
dipertegas dengan adanya sanksi bagi peserta wajib yang telat membayar iuran.
Akibatnya, kesengsaraan
masyarakat pasti bertambah karena mereka pun harus membayar listrik, air
bersih, telepon, transportasi, pendidikan anak, biaya tempat tinggal, pangan,
pakaian yang harganya terus melangit. Tentu saja tidak dapat dikatakan,
"Itu lebih baik daripada harus mengeluarkan biaya yang nilainya jutaan
bahkan puluhan juta di saat sakit' atau hitung-hitung menabung. Karena,
sejatinya masyarakat harus dijamin pemerintah untuk pelayanan kesehatan
berkualitas dengan biaya minim bahkan gratis.
Belum lagi persoalan iuran
bila jumlah anak atau anggota keluarga lebih dari 5 orang bagi PNS dan
persoalan tidak dijaminnya pelayanan kesehatan untuk penyakit yang
terkategori wabah. Sehingga pasien demam berdarah tidak akan mendapat
pelayanan kesehatan gratis meski ia membayar premi karena demam berdarah
terkategori penyakit yang mewabah.
Potensi diskriminasi dan
buruknya kualitas pelayanan juga terlihat jelas dari pemisahan manfaat medis
dan non medis. Karena dari aspek kemanusiaan, siapa pun yang sakit sejatinya
tidak saja membutuhkan pelayanan medis terbaik tetapi juga pelayanan non
medis yang memadai seperti ruang perawatan yang nyaman, waktu tunggu yang
singkat, dan sebagainya. Seringkali perolehan manfaat medis dipengaruhi akses
terhadap manfaat nonmedis. Misal, akses layanan transportasi akan
mempengaruhi perolehan manfaat medis.
Potensi diskriminasi
semakin besar dengan konsep minimalisnya iuran yang dibayarkan pemerintah
bagi kelompok Penerima Bantuan Iuran (PBI), yaitu per kepala per bulan yang
hanya Rp 19.225. Ikatan Dokter Indonesia menilai iuran PBI yang sesuai dengan
nilai keekonomian adalah Rp 60.000 per kepala per bulan. Itu pun kelompok PBI
hanya boleh mengakses ambulance dan akomodasi kelas III.
Tentu tak boleh berkata, "Kalau mau gratis ya kelas III atau
masih untung digratiskan pemerintah.” Hal ini karena menjamin pelayanan
kesehatan gratis berkualitas terbaik bagi seluruh masyarakat harusnya menjadi
kewajiban dan tanggung jawab negara.
Meskipun BPJS merupakan
badan hukum publik, namun aroma bisnis jaminan sosial ini tampak terang dari
prinsip korporasi yang dijadikan dasar tata kelolanya. Dalam UU No 24 Tahun
2011 tentang BPJS butir b pasal 11 dinyatakan bahwa BPJS memiliki wewenang
untuk menempatkan dana jaminan sosial untuk investasi jangka pendek maupun
jangka panjang dengan mempertimbangkan aspek likuiditas, solvabilitas,
kehati-hatian, keamanan dana, dan hasil yang memadai. Logika pasar bebas
kental bermain di sini.
Jika diasumsikan setiap
orang harus membayar Rp 22 ribu maka akan terkumpul dana Rp 5,28 triliun per
bulan. Sesuai kewenangan yang diatur UU, maka dana tersebut boleh
diinvestasikan dalam bentuk investasi finansial di pasar finansial, bisa
berupa Surat Utang Negara (SUN), deposito perbankan baik on call atau
berjangka, obligasi korporasi, dan surat-surat berharga lainnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar