Ekonomi
Alternatif
Dinna
Wisnu ; Co-Founder & Direktur Pascasarjana
Bidang Diplomasi,
Universitas
Paramadina
|
KORAN
SINDO, 26 Februari 2014
Hari
Selasa kemarin saya mendapat tugas untuk menjadi salah satu panelis untuk
acara debat partai politik tentang platform ekonomi dan politik untuk Pemilu
2014.
Acara
tersebut dibuat sebagai sarana informasi bagi pemilih dalam menentukan
pilihan partai mereka. Hal yang membuat saya berpikir bukanlah acara
tersebut, tetapi kemacetan yang ditimbulkan aksi damai serikat pekerja di
Jalan Sudirman Jakarta. Menurut berita, aksi unjuk rasa itu diikuti oleh
sebanyak-banyaknya 10.000 buruh. Jumlah itu belum ditambah dengan petugas
pengaman yang berjumlah 6.180 orang dari berbagai unsur antara lain
kepolisian, TNI, bahkan Pemerintah Daerah DKI.
Aksi
itu adalah bagian dari peringatan hari jadi sebuah serikat buruh sekaligus
peluang menyampaikan tuntutan-tuntutan seperti penolakan kebijakan upah
murah, perbaikan BPJS Kesehatan, pencabutan Instruksi Presiden No 9/2013
tentang Kebijakan Penetapan Upah Minimum dalam Rangka Keberlangsungan Usaha
dan Peningkatan Pekerja, revisi Permenakertrans No 13/2012, dan penghapusan
sistem kerja kontrak/outsourcing. Bagi para pegawai yang bekerja di sepanjang
jalan Sudirman dan Thamrin, tuntutan tersebut pasti tidak asing.
Dalam
setiap aksi demonstrasi pekerja, tuntutan tersebut selalu dikumandangkan.
Terpicu oleh aksi tersebut, saya kembali teringat tentang sebuah konsep atau
kerangka berpikir bernama Social and
Solidarity Economy yang saat ini sedang didorong oleh United Nation Research Institute for
Social Change. Konsep tersebut adalah gabungan dua kerangka berpikir,
yakni solidarity economy dan social economy yang berkembang di
beberapa negara. Pendekatan social
economy adalah pendekatan atau analisis ekonomi yang kelahirannya tidak
terpisahkan dari analisis ekonomi klasik.
Banyak
interpretasi tentang pendekatan social economy, di antaranya yang menyatakan
tindakan ekonomi masyarakat tidak terlepas dari konteks sejarah, politik, dan
sosial masyarakat tempatnya berkembang. Misalnya Rencana Pembangunan Lima
Tahun (Repelita) yang dalam masa pemerintahan Orde Baru terinspirasi dari
teori modernisasi masyarakat Barat pada akhirnya tidak dapat berjalan
optimal. Ini karena ada hubungan-hubungan sosial di antara individu dan
masyarakat yang masih kental dengan hubungan sosial agrikultur, perdesaan atau
cara pandang feodal.
Sebuah
kenyataan yang lantas disebut dengan dualisme ekonomi oleh Geertz. Pendekatan
ini berbeda dengan pendekatan ekonomi klasik yang menganggap tindakan ekonomi
secara ekstrem mengikuti logika supply
and demand. Manusia dalam ekonomi klasik adalah homo economicus, yaitu manusia akan bertindak secara rasional
untuk memenuhi kebutuhannya. Tidak ada etika, moral, adat atau hal sosial
lain yang akan memengaruhi cara pikirnya secara signifikan. Karena itu
pendekatan social economy
memedulikan hal-hal yang sangat terkait dengan sifat sosial seorang manusia
dan komunitasnya.
Mereka
tertarik untuk menyelidiki berkembangnya model-model ekonomi koperasi,
lembaga keuangan adat, koperasi mikro dan modelmodel ekonomi lain di luar
sektor privat yang dikuasai investor swasta atau sektor publik yang dikuasai
negara. Karenanya ada yang menyebutnya sebagai the third-sector atau sektor ketiga. Di dalam konteks perdagangan
ekonomi dunia yang semakin liberal dan bebas, pendekatan ekonomi sosial ini
menjadi sangat relevan untuk dikaji karena muncul model-model ekonomi baru
yang tidak hanya dalam bentuk koperasi atau lembaga ekonomi mikro seperti
masa lalu.
Contohnya,
dalam konteks hubungan industrial perburuhan, ada model kerja sama ekonomi
yang dilakukan Mondragon Cooperative
Corporation, yaitu sebuah federasi koperasi yang dibentuk para pekerja di
wilayah Basque, Spanyol, pada 1956. Produk pertamanya adalah parafin (bahan
bakar gas yang dibekukan), tetapi saat ini telah berkembang hingga mencakup
sektor keuangan, industri, ritel, dan sumber daya. Jumlah pegawainya mencapai
80.321 orang.
Di
tahun 2012, salah satu cabang mereka, Fagor
Electrodom Èsticos, menghadapi masalah keuangan akibat resesi di Spanyol.
Pada saat itu, para pekerja yang diuntungkan dari krisis, yaitu pekerja di sektor
panel surya, menyadari dan setuju untuk secara sukarela mengurangi upah
mereka sebesar 7,5%. Pengurangan itu adalah salah satu bentuk subsidi mereka
terhadap pekerja lain di Fagor
ElectrodomÈsticos agar tidak mendapat pengurangan upah lebih dari 7,5%.
Selain mereka ada pula jaringan supply-chain
tekstil yang dikoordinasi koperasi Fio
Nobre dan koperasi Coop Acai.
Koperasikoperasi
tersebut adalah koperasi yang dijalankan para pekerja yang mengambil alih
pabrik-pabrik tekstil yang bangkrut. Ada pula kemudian model ekonomi yang
disebut dengan Community Currencies.
Sistem ini mengembangkan alat tukar yang nilainya lebih mahal apabila diukur
dari kacamata ekonom liberal, tetapi secara sosial dibutuhkan untuk membantu
komunitas bersangkutan. Misalnya ketika menetapkan harga kopi.
Harga
kopi yang dibayar dengan alat tukar komunitas itu mungkin relatif lebih mahal
daripada harga kopi biasa, tetapi secara sosial memiliki nilai lebih karena
kopi yang ditanam berasal dari proses produksi yang mempertahankan
keanekaragaman hayati. Model-model ekonomi tersebut adalah contoh bagaimana
masyarakat atau komunitas sebetulnya dapat mempertahankan diri dengan apa
yang mereka miliki sendiri. Perlawanan terhadap pasar bebas atau kapitalisme
neoliberal dapat dilakukan tidak hanya dengan jalan menolak melalui aksi
unjuk rasa di jalan raya, tetapi juga dapat dilakukan dengan langkah konkret
membangun ekonomi komunitas.
Hal
ini berbeda dengan yang kita saksikan di Indonesia. Selama ini masyarakat
secara tidak sadar mendasarkan perjuangan mereka atas analis ekonomi klasik
atau liberal yang sebenarnya telah memarginalkan mereka. Misalnya ketika
menyetujui perluasan program Bantuan Langsung Tunai (BLT) demi menyelesaikan
masalah kemiskinan atau terus bicara semata soal kenaikan upah. Memang
sejumlah penelitian telah menunjukkan program bantuan sosial, baik yang
diberikan pemerintah daerah atau pemerintah pusat, telah mengurangi angka
kemiskinan.
Namun
apakah angka kemiskinan tersebut akan semakin turun bila bantuan sosial
dihilangkan? Saya meyakini jawabannya tidak karena yang terjadi adalah
pelembagaan akan ketidakberdayaan. Proses partisipasi dan pemberdayaan
komunitas semestinya memberikan pemahaman kepada masyarakat yang
termarginalisasi tentang apa yang membuat mereka menjadi miskin, sulit
mendapat akses air bersih, dan sebagainya. Pemahaman atau nilai-nilai baru
tersebut yang akan mengikat mereka sebagai komunitas untuk tetap bersama
walaupun program bantuan sosial itu selesai atau tidak dilanjutkan.
Dalam
laporan Bank Dunia, Tim Nasional Percepatan Pengentasan Kemiskinan atau
laporan departemen terkait memang diperlihatkan bahwa telah tumbuh sikap
kepercayaan, kebersamaan, solidaritas atau gotong royong dari program-program
bantuan sosial yang selama ini dikucurkan. Tapi tidak dilaporkan apakah
masyarakat memiliki pemahaman tentang nilai-nilai baru seputar hal-hal yang
selama ini membuat mereka termarginalisasi. Proses atau nilai-nilai itu yang
pada umumnya akan melahirkan model-model ekonomi yang mandiri.
Segala
kelompok masyarakat, baik yang berasal dari kategori sektoral seperti buruh,
petani, pekerja informal maupun dari sektor wilayah di tiap kabupaten atau
kelurahan, penting untuk menggali dan mencari nilai-nilai sosial ekonomi yang
baru itu. Dengan cara inilah masyarakat dapat tetap bertahan dalam kepungan
ekonomi pasar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar