Nalar
Politik Pers Kekinian
Pangki
T Hidayat ; Peneliti di Bulaksumur Empat, Yogyakarta;
Aktif bergiat
di forum diskusi intelektual muda UNY
|
SUARA
KARYA, 25 Februari 2014
Sudah 68 tahun pers
mengawal perjalanan demokrasi dinegara ini. Kala itu, pada tanggal 9 Februari
1946 beberapa wartawan berkumpul di Societeit Sasana Soeka, Surakarta atau
yang kini lebih dikenal dengan sebutan Monumen Pers Nasional. Dari
perkumpulan tersebut, kemudian dibentuklah organisasi para jurnalis yang
disebut Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Sejak saat itu, tanggal 9
Februari kemudian ditetapkan sebagai hari kelahiran PWI dan sekaligus
dijadikan sebagai Hari Pers Nasional (HPN) melalui Surat Keputusan Presiden
No. 5 Tahun 1985.
Seiring berjalannya hal
tersebut, berbagai kekerasan pun turut mewarnai perjalanan pers nasional.
Bahkan, tak jarang muncul korban jiwa akibat dari pemberitaan yang
disampaikan kepada publik. Misalnya saja, kasus pembunuhan Fuad Muhammad
Syarifuddin alias Udin (jurnalis Harian Bernas di Yogyakarta), Naimullah
(jurnalis Harian Sinar Pagi di Kalimantan Barat) dan Agus Mulyawan (jurnalis
Asia Press). Juga, ada Muhammad Jamaluddin (jurnalis kamera TVRI), Ersa
Siregar (jurnalis RCTI) dan Herliyanto (jurnalis lepas tabloid Delta Pos
Sidoarjo di Jawa Timur).
Diakui atau tidak, pers
mempunyai peran signifikan dalam membentuk opini publik. Tak jarang, akibat
dari pemberitaan pers yang bertubi-tubi sebuah kasus bisa menjadi prioritas
utama para penegak hukum. Bahkan kasus yang telah lama terkubur, jika pers
kembali memberitakan secara bertubi-tubi, niscaya kasus tersebut akan dibuka
kembali.
Pasca reformasi, kebebasan
pers secara hukum diakomodir melalui Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2009
tentang Pers. Undang-undang ini mempertegas bahwa pers tidak bisa
diintervensi dalam hal apapun terkait penyajian pemberitaan. Hal ini
mempertegas posisi pers sebagai pilar keempat demokrasi (fourth estate), selain eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Namun agaknya, dewasa ini peran pers mulai bergeser. Banyak dijumpai
penggunaan pers untuk kalangan tertentu, semisal kampanye 'terselubung'
partai politik tertentu.
Hal ini jelas menjadikan
posisi pers menjadi abu-abu dimata masyarakat. Dalam pasal 3 UU No. 40 Tahun
2009 tentang Pers dijelaskan bahwa, pers nasional mempunyai fungsi sebagai
media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial serta lembaga
ekonomi. Kemudian, dalam pasal 6 disebutkan bahwa peranan pers adalah
memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui, menegakkan nilai-nilai dasar
demokrasi, mendorong supremasi hukum dan HAM, serta menghormati kebhinekaan.
Fungsi dan Peranan pers tersebut jelas mustahil diwujudkan jika pers bersifat
partisan atau memihak kelompok tertentu.
Memasuki tahun politik 2004
ini, peranan pers sangat diperlukan untuk menjaga proses sebelum dan pasca
ritual elektoral, April 2014 mendatang. Hal ini tak lepas dari peran pers
yang juga sebagai penjaga kondusivitas bangsa. Dalam hal ini, pers harus
mampu bersikap secara bijak, dan tidak hanya tunduk pada kepentingan pemilik
modal.
Bukan menjadi rahasia umum
lagi jika di ritual elektoral 2014 mendatang, beberapa di antaranya diikuti
oleh para pemilik media massa besar. Sebut saja, Surya Paloh dengan Metro
TV-nya, Aburizal Bakrie dengan TV One dan ANTV-nya, dan Hary Tanoe dengan MNC
groupnya. Oleh sebab itu, pers harus mampu menunjukkan positioning-nya secara
jelas. Artinya, pers tidak boleh dalam posisi 'abu-abu' atau bahkan
menitikberatkan pada kepentingan tertentu. Pers harus mampu menyajikan
fungsinya dengan baik sesuai amanat UU No. 40 Tahun 1999 tersebut.
Kontrol
Pers saat ini, jauh berbeda
dengan pers di zaman Orde Baru maupun Orde Lama. Kini, pers merupakan lembaga
yang powerfull dan tidak bisa diintervensi oleh kekuatan mana pun, termasuk
oleh pemerintah. Hal ini bisa menjadikan kerisauan tersendiri. Alih-alih
menyajikan berita yang berimbang dan akurat, pers kini telah berevolusi
menjadi tangan kanan para pemilik modal, yang tak lain kebanyakan juga
merangkap sebagai politikus. Artinya, tagline Hari Pers Nasional (HPN) 2014
yakni 'Pers Sehat, Rakyat Berdaulat', bisa saja hanya menjadi sebuah wacana.
Peluang terjadinya hal tersebut sangat besar mengingat pers kini tak lagi
bisa dikontrol.
Selain itu, cukup banyak
pula oknum jurnalis sering kali membuat berita tanpa memperhatikan etika
jurnalistik. Oleh sebab itu, diperlukan kearifan dan kematangan berfikir
insan pers untuk benar-benar menjalankan praktik jurnalistik dalam koridor
yang benar. Kepentingan pemilik modal ataupun kepentingan kelompok tertentu,
hendaknya tidak dibawa-bawa keranah jurnalis secara berlebihan. Karena, hal
ini tentu saja akan menjadikan informasi yang disajikan menjadi tidak akurat
dan berimbang.
Seyogianya, tagline HPN
2014 yang secara seremonial diperingati secara terpusat di Bengkulu,
baru-baru ini tidak hanya menjadi sebatas wacana semata. Orientasi ke arah
tagline 'Pers Sehat, Rakyat Berdaulat' secara nyata harus mampu diwujudkan
melalui pembenahan undang-undang sehingga kepentingan pemilik modal tidak
sepenuhnya mempengaruhi indepensi pers nasional. Keleluasaan pemilik modal
dalam mempengaruhi obyektivitas pemberitaan pers jelas menyebabkan pers
menjadi tidak sehat.
Memasuki tahun politik ini,
pers secara nyata memegang peranan penting dalam menentukan kedaulatan
rakyat. Oleh sebab itu, pers nasional harus benar-benar bersih dari
kepentingan pemilik modal maupun kepentingan golongan tertentu. Sehingga,
kedaulatan rakyat yang diwujudkan melalui pers yang sehat benar-benar murni
berasal dari suara rakyat itu sendiri. Waallahu'alam
bi ash-showwab! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar