Mandat
Partai dan Mandat Publik
Arya
Budi ; Peneliti Pol-Tracking Institute
|
KOMPAS,
25 Februari 2014
ISU penghentian Gede Pasek Suardika sebagai anggota
DPR—sekaligus juga sebagai anggota dan fungsionaris Partai Demokrat—akhir
Januari atau tiga bulan menjelang Pemilu 2014, mengingatkan saya pada kasus
Effendy Choirie dan Lily Wahid yang diberhentikan oleh PKB dengan kausalitas
sama: politik intrapartai.
Pertanyaannya, lepas dari nalar hukum yang mendasari otoritas
partai (baca: fraksi) terkait penghentian tersebut, bagaimana sebenarnya
nilai representasi dan mandat politik diatur—atau lebih tepatnya
diterjemahkan—dalam pengisian kursi legislatif di Indonesia? Namun, yang lebih
penting, untuk menjawab pertanyaan itu kita perlu menengok kembali Pemilu
2009 sebagai landasan pengalaman sehingga pertanyaan ini tak lagi muncul
setelah April 2014.
Secara umum, sistem pemilu legislatif 2014 mirip dengan 2009,
sistem proporsional terbuka (open list
system). Surat suara menampilkan daftar caleg, bukan sekadar gambar
partai. Akan tetapi, mirip bukan berarti sama. Jawabannya bisa jadi terletak
pada hal yang sering dianggap orang remeh-temeh dalam diskursus dan problema
pemilu: pencoblosan surat suara. Padahal, balloting
system sebagai satu bagian integral keseluruhan sistem pemilu telah lama
menjadi perbincangan serius di banyak negara (Pippa Norris, 2004). Dia tak
kalah pentingnya dari ambang batas suara (threshold)
dan kualifikasi kepesertaan pemilu.
Rekoneksi dengan
konstituen
Dalam satu ulasan di Kompas (24/3/2009), Eep Saefulloh Fatah
melalui artikel berjudul ”Suara Kosong dan Absennya Mandat” memulai jawaban
terkait dengan pertanyaan di atas dengan menyuguhkan ulasan perihal ambiguitas
sistem pemungutan suara. Menurut dia, surat suara yang sah dengan ditandai
hanya pada gambar/nomor partai dan tidak pada nomor/nama caleg dianggap
sebagai sebuah suara kosong. Singkatnya, kebijakan sistem surat suara
tersebut dianggap menegasikan semangat rekoneksi para anggota Dewan dengan
konstituennya melalui model proporsional terbuka. Namun, problematisasi
sistem penanda surat suara menjelang 2009 dalam ulasan tersebut justru
menciptakan pertanyaan baru yang belum selesai dijawab menjelang April 2014.
Apakah memang sebaiknya caleg terpisah oleh kelembagaan partai atau justru
melekat sebagai satu kesatuan institusi partai dengan mandat politik yang
jelas berdasarkan garis partai?
Pada dasarnya, prinsip dasar gagasan open list system dalam pemilu Indonesia mungkin bisa sedikit
membantu angka partisipasi pemilu yang rendah akibat ketidakpercayaan publik
terhadap institusi partai. Survei nasional Pol-Tracking Institute pada Oktober dan Desember 2013—satu
semester menjelang April 2014—menunjukkan Party ID publik yang sangat rendah,
17-19 persen. Artinya, ada sekitar 80 persen atau lebih publik
terombang-ambing tak tentu partai mana yang akan mereka pilih.
Akibatnya, publik bertumpu pada figur yang mereka kenal. Sistem
daftar terbuka dalam balloting system
di Indonesia memfasilitasi hal ini. Sistem pemungutan suara ini dibayangkan
mampu meningkatkan angka partisipasi karena caleg berperang sebagai
penghubung antara publik-partai-negara. Caleg mengalami transformasi peran
sebagai politisi-politisi level jalanan (street
level politicians). Caleg dibayangkan sebagai cermin refleksi partai.
Di titik ini, caleg diharapkan mampu merepresentasikan secara
bergantian sekaligus antara mandat partai yang mengajukan namanya di KPU
(representasi mandate), representasi
atas kepentingan publik yang memilihnya (representasi delegate), dan representasi atas penilaian personal terbaiknya
terkait sebuah kebijakan/isu (representasi trustee). Terkait hal ini, caleg yang akhirnya lolos murni—bukan
hasil penggantian antar waktu atau recall
partai—di DPR diharuskan taat pada partai sekaligus sumber legitimasinya
berasal langsung dari publik-pemilih.
Apalagi jika caleg memperoleh suara melampaui bilangan pembagi
pemilih (BPP) di dapilnya. Hal ini berbeda dengan logika pengisian kursi
eksekutif (presiden dan wakil presiden) yang juga sudah dipilih langsung oleh
publik sejak 2004. Mirip dengan caleg, pasangan capres-cawapres diusung oleh
partai atau gabungan partai (UUD Pasal 6A) dan kemudian dipilih oleh publik
secara langsung. Pasangan terpilih mempunyai sumber legitimasi langsung dari
pemilih.
Akibat sumber legitimasi langsung dari demos, partai
pengusung—biasanya berbentuk koalisi dalam model sistem pemerintahan
presidensial multipartai seperti Indonesia (Hanta Yuda, 2010)—tak mempunyai otoritas untuk menjatuhkan
presiden. Benar bahwa logika pengisian kursi eksekutif (baca: lembaga
kepresidenan) tidak masuk dalam sistem kelembagaan kolektif-kolegial seperti
parlemen, tetapi sudah masuk dalam sistem besar antarlembaga: trias politika.
Untuk menjatuhkan presiden, perlu melibatkan parlemen (legislatif) dan MK
(yudikatif) dan itu pun sangat sulit dilakukan menurut konstitusi Indonesia
saat ini.
Nalar representasi
Persoalannya bukan terletak pada status institusi parlemen dan kepresidenan,
melainkan pada logika sumber legitimasi seseorang menang atau lolos dalam
pemilu. Kasus Lily Wahid, Effendy Choirie, dan terakhir Gede Pasek
menunjukkan betapa mudahnya sebuah parpol ”menjatuhkan” politisinya di
parlemen sekalipun politisi itu dapat mandat langsung dari publik. Tentu
cerita akan berbeda jika sistem pemungutan suara di Indonesia masih
menggunakan sistem daftar tertutup (closed
list system) sebelum 2009 di mana publik hanya bisa memilih gambar partai
dan parpol punya otoritas penuh memutuskan siapa kader yang akan masuk
Senayan.
Sebagai misal, kasus pencopotan Gede Pasek sebagai anggota Dewan
sekaligus politisi/anggota (baca: caleg) Partai Demokrat. Prosesnya DPP
Demokrat melalui Fraksi Demokrat di parlemen cukup melayangkan surat
pencopotan keanggotaan Gede Pasek di DPR kepada Sekjen DPR. Alasan pencopotan, yakni pelanggaran ”kode
etik partai”, tentu tidak terlalu penting dipersoalkan dalam nalar birokratik
Sekjen DPR. Jika kita konsisten dengan nalar representasi melalui sistem
pemilu proporsional daftar terbuka, prosedur delegitimasi anggota Dewan hasil
pilihan publik pada pemilu tentu tidak semudah seperti perusahaan
memberhentikan karyawannya.
Atau nalar representasi kembali melalui sistem daftar tertutup
bisa menjadi opsi lain di balik dilema logika representasi dan konstitusi
ini. Tentu pilihan ini dalam diskursus pelembagaan parpol sebagai kerangka
besar pelembagaan demokrasi akan lebih baik. Namun, kita harus ingat catatan
penting kausalitas memilih sistem pemungutan daftar terbuka: kelembagaan partai yang lemah dan
ketidakpercayaan publik pada partai. Jika catatan terakhir ini mampu
”dihapus” oleh parpol dengan mentransformasi organisasi kepartaian sebagai
lembaga yang akuntabel, demokratis, dan terbuka, sistem daftar tertutup bisa
jadi pilihan. Disiplin partai jadi lebih bernyawa baik bagi calon anggota
Dewan maupun publik pemilih. Semua kembali pada kesadaran para aktor politik.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar