Selamat
Datang Studi Multidisipliner
Sulistyowati
Irianto ; Direktur Sekolah Pascasarjana Multidisiplin
UI
|
KOMPAS,
25 Februari 2014
BERKEMBANGNYA ilmu multidipliner sudah menjadi kecenderungan
ilmu pengetahuan global saat ini. Kemajuan suatu universitas ditandai oleh
keterbukaannya terhadap perkembangan ilmu baru.
Ketika suatu universitas menetapkan dirinya sebagai universitas
riset seharusnya riset multidisipliner menjadi tulang punggungnya. Mandat
universitas sebagai rumah produksi ilmu pengetahuan menjadi mandat pula bagi
lembaga yang menyelenggarakan pendidikan dan riset studi multidisipliner.
Di banyak universitas maju di Asia didirikan lembaga kajian
multidisipliner dengan mengundang para ahli dari berbagai latar belakang
keilmuan meneliti isu tertentu dengan produktivitas tulisan dan kerja sama
internasional yang sangat intensif. Dukungan (finansial) negara terhadap
universitas sangat kuat. Begitulah mereka memajukan universitasnya.
Bagaimanakah universitas dan ilmuwan di Indonesia memosisikan
studi multidisipliner? Sungguhpun ada begitu banyak orang pintar dan potensi
besar di kalangan ilmuwan Indonesia, produktivitasnya dianggap kurang
dibandingkan dengan ilmuwan di negara-negara Asia. Terkaitkah itu dengan
sukarnya para ilmuwan menerima perkembangan ilmu baru? Ataukah mereka lebih
takut terhadap administrasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang lamban
dalam merespons perkembangan ilmu baru?
Dari Barat ke Asia
Puncak kemajuan dunia diramalkan akan berpindah dari negara
Barat ke Asia dan mencapai puncaknya pada 2050. Hal itu ditandai oleh akan
bertambahnya lebih dari tiga miliar orang kaya baru. Masyarakat masa depan
adalah masyarakat yang mengandalkan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam
mencapai kesejahteraannya. Di sinilah studi multidisipliner berperan karena
berangkat dari kebutuhan menyediakan penjelasan dan jawaban ilmiah yang lebih
komprehensif terhadap permasalahan yang dihadapi manusia dan masyarakat dalam
segala aspeknya.
Kompleksitas persoalan manusia akan terus berubah seiring dengan
perubahan zaman. Tuntutan menjawab permasalahan kekinian dan masa depan ini
melahirkan teori dan metodologi baru yang tidak dapat ditampung lagi dalam
ilmu-ilmu monodisiplin.
Para ilmuwan tidak bisa lagi membendung kebutuhan mempelajari
dan meminjam ilmu lain untuk mencapai penjelasan yang paling mendekati
kebenaran. Sangat mungkin seorang ahli kesehatan masyarakat mempelajari ilmu
politik karena menemukan bahwa persoalan kesehatan masyarakat ternyata
terletak pada kebijakan politik. Seorang astronom merasakan banyaknya hal
yang tidak terjelaskan oleh fisika sehingga ia mendalami filsafat dan menjadi
filsuf. Ilmuwan hukum mengembangkan etnografi hukum karena membutuhkan metode
penelitian untuk mencari penjelasan bagaimana bekerja hukum dalam masyarakat.
Namun, para penekun studi multidisipliner sering dihadapkan pada
pertanyaan: di mana pohon ilmunya? Apalagi administrator pendidikan juga
mengaitkan karier akademik seseorang dengan linearitas ilmunya (sungguhpun
ini tidak masuk akal), tetapi cukup menakutkan bagi banyak akademisi.
Apakah pertanyaan tentang ”pohon ilmu” ini masih relevan karena
hibrida berbagai disiplin ilmu adalah kesejatian dari perkembangan ilmu itu
sendiri. Karakter yang melekat dalam studi-studi multidisipliner adalah
holistik, menyeluruh, dan sangat terbuka terhadap sumbangan perkembangan
terakhir dari teori dan metodologi dari ilmu-ilmu lain dan besar kemungkinan
melahirkan hibrida ilmu baru yang bersifat lintas disiplin.
Pada masa awal antropologi hukum dipelajari di Indonesia, timbul
debat tentang manakah pohon ilmunya: ilmu hukum atau antropologi? Menjawabnya
tidak sederhana karena para perintisnya adalah para ahli hukum dan
antropolog. Ahli hukum tidak puas terhadap pendekatan yuridis normatif yang
melihat teks hukum sebagai benda mati, tidak ada ruang untuk menjelaskan
bagaimana manusia merespons hukum.
Antropolog membutuhkan spesialisasi baru untuk menjelaskan
bidang hukum, yang tidak menjadi fokus antropologi. Mereka bersama-sama
mengembangkan suatu hibrida ilmu baru yang tidak bisa dijelaskan secara
monodisiplin. Manakah pohon ilmu studi jender yang sudah jauh berkembang
dalam berbagai aspeknya, dan di dalamnya terkandung secara berkelindan pendekatan,
di antaranya psikologi, kesehatan, sosial, ekonomi, politik, kultural, dan
hukum?
Kurikulum 3.0
Perkembangan studi multidisipliner terkait dengan arah
pendidikan tinggi global yang menuju Kurikulum 3.0 adalah menempatkan
mahasiswa sebagai pembelajar aktif, dosen sebagai fasilitator, dan
universitas menyediakan berbagai mata kuliah yang diminati mahasiswa.
Kurikulum harus mengarah pada aktualisasi kebebasan akademik. Mahasiswa boleh
memilih mata pelajaran apa saja yang disukainya, yang dirasa dapat menunjang
minat penelitiannya.
Fakultas monodisiplin pun perlu mempertimbangkan kurikulum yang
bersifat liberal arts bagi mahasiswa baru. Mereka diperkaya dengan berbagai
macam ilmu pengetahuan yang menunjang sebelum memasuki ilmu keahliannya
sendiri. Dengan demikian, mahasiswa akan memasuki sekolah hukum, sekolah
kedokteran, atau sekolah teknik dalam keadaan sudah mengerti bangunan ilmunya
sendiri, dan konstelasinya bersama ilmu-ilmu lain. Kelak mereka akan lulus
tidak sekadar sebagai tukang!
Kurikulum semacam ini akan melahirkan penelitian dengan kebaruan
teori dan metodologi, yang menjawab tantangan global, dan memberi rekomendasi
strategis masalah manusia dan masyarakat. Sudah saatnya universitas di
Indonesia, dan administrasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, memberi
tempat yang layak bagi para ilmuwan yang kreatif, inovatif, dan punya daya
saing. Biarkanlah mereka mencurahkan segenap potensi intelektual dan
mendedikasikan hidupnya bagi kelahiran ilmu-ilmu baru tanpa batas
kompartementalisasi ilmu.
Hargailah prestasi dan integritas mereka, termasuk memenuhi
haknya sebagai profesor, dan mendukung sepenuhnya lembaga tempat mereka
bekerja. Jangan pernah lagi menutup program S-3 studi multidisipliner dengan
dalih tidak ada S-1-ya. Sekolah pascasarjana sudah tentu harus memiliki
program S-3 sesuai dengan esensinya. Selanjutnya dukunglah karena dukungan finansial
negara terhadap universitas adalah amanat konstitusi.
Reformasi birokrasi Indonesia (UU No 5/2014 tentang Aparatur
Sipil Negara) haruslah menjadi bagian dari reformasi tata kelola universitas
juga. Hendaknya universitas beralih dari organisasi yang cenderung
menciptakan regulasi menjadi organisasi yang menciptakan nilai dan budaya
akademik. Bukankah kita ingin mewujudkan cita-cita para pendiri bangsa kita
agar Indonesia jadi pusat ilmu dunia seperti zaman Sriwijaya? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar