Revisi
KUHP dan KUHAP
Agus
Riewanto ; Dosen
Program Pascasarjana Ilmu Hukum
Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Surakarta
|
REPUBLIKA,
24 Februari 2014
Hari-hari ini publik
disuguhi kontroversi revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Sejumlah kalangan menolak revisi
terhadap dua kitab undang-undang (UU) ini, karena ditengarai materinya tak
sensitif terhadap agenda pemberantasan korupsi, bahkan melemahkan posisi KPK.
KUHP dan KUHAP adalah UU
yang paling tua usianya dibandingkan dengan UU yang lain. Bahkan KUHP adalah
warisan produk hukum Belanda. Sedang kan KUHAP, walaupun produk asli
Indonesia, namun juga telah berusia senja 32 tahun (dibuat tahun 1981).
Itulah sebabnya mengapa kita harus merevisi kedua kitab ini untuk dapat
berkorespodensi dan berkesinambungan dengan semangat zaman reformasi.
Sejarah mencatat keinginan
untuk merevisi KUHP dan KUHAP ini bukan baru kali ini menjadi perdebatan,
namun telah terjadi sejak era Orde Baru dengan berbagai macam variasi
kontroversinya. Akibatnya, selalu gagal disahkan menjadi UU baru. Tentu
publik tak berharap revisi kali ini juga akan gagal kembali.
Membaca teks draf revisi
kedua RUU ini yang jumlahnya 766 pasal, memang harus diakui ada kesan yang
amat kuat untuk melucuti eksistensi KPK dalam pemberantasan korupsi. Paling
tidak, terdapat 10 (sepuluh) daftar inventaris masalah (DIM) yang hendak
mengamputasi kewenangan KPK dan berpotensi pada tak sensitifnya terhadap
pemberantasan korupsi, yaitu: (1) penghapusan ketentuan penyidikan; (2) KUHAP
berlaku terhadap tindak pidana yang diatur di luar KUHP; (3) hakim pemeriksa
pendahuluan (hakim komisaris) berwenang menghentikan penuntutan; (4) tidak
berwenang memperpanjang penahanan penyidikan; (5) masa penahanan singkat; (6)
penyadapan dan penyitaan harus izin hakim; (7) terhadap putusan bebas tidak
dapat diajukan kasasi ke MA; (8) putusan MA tidak boleh lebih berat dari pada
putusan PT; (9) korupsi tidak masuk kejahatan luar biasa; dan (10) suap atau
gratifikasi tidak masuk delik korupsi, tapi masuk delik tindak pidana
jabatan.
Jika dilihat dari 10 pasal
dalam DIM itu tampaklah bahwa draf revisi KUHP dan KUHAP ini lemah dari aspek
political will untuk memberantas
korupsi. Karena harus diakui kinerja KPK dalam pemberantasan korupsi selama
ini berhasil mengikis perilaku korupsi pejabat negara dan memenjarakannya.
KUHP dan KUHAP adalah UU induk
yang merupakan hasil kodifikasi dan unifikasi materi hukum pidana yang
tersebar dalam berbagai produk UU yang lain. Karena itu, kedua UU tersebut
diharapkan menjadi produk pamungkas untuk dapat menampung segala model dan
varian kejahatan tindak pidana.
RUU ini diharapkan pula menjadi
produk hukum pidana yang seragam dalam rangka memperkuat kebijakan politik hukum
di Indonesia yang menempatkan negara sebagai agen tunggal manajemen pembuatan
hukum di tengah pluralisme hukum. Meminjam ungkapan John Griffiths dalam
Ratno Lukito (2006: 81) disebut state
law pluralism atau weak legal
pluralism, di mana kehidupan pluralisme hukum dalam nation state
dimungkinkan eksistensinya, namun negaralah yang selalu berperan sebagai agen
tunggal dalam proses katalisasi maupun legalisasinya.
Jika dibaca menyeluruh
pasal-pasal dalam draf RUU KUHP dan KUHAP ini harus diakui cukup sempurna
jika di bandingkan dengan produk RUU di tahun- tahun sebelumnya. Terutama
dilihat dari aspek perlindungan hak asasi manusia (HAM) terhadap subjek hukum
pidana.
Oleh karena itu tak ada
alasan cukup kuat untuk menunda proses revisi terhadap KUHP dan KUHAP ini
dilihat dari tiga aspek subjek hukum pidana ini. Kritik banyak kalangan agar
prioritas revisi hanya pada KUHP, agak sulit diterima, sebab antara KUHP dan
KUHAP adalah ibarat sekeping mata uang, keduanya tak bisa dipisahkan sebagai
satu kesatuan sistem.
Di titik ini DPR dan
presiden perlu mendengarkan masukan KPK, bahkan DPR dan presiden perlu
mengundang KPK untuk hadir dalam pembahasan revisi terhadap RUU ini. Kendati
secara normatif berdasarkan Pasal 20 UUD 1945 yang berhak mengajukan, membahas,
dan mengajukan RUU adalah DPR dan presiden.
Tak ada salahnya jika KPK
dilibatkan dalam tahap-tahap awal pembahasan draf revisi RUU ini. Tentu bukan
dimaksudkan sebagai intervensi KPK terhadap DPR dan presiden dalam proses
pembuatan UU, namun sebagai upaya untuk memastikan bahwa DPR dan presiden
memiliki sensitivitas terhadap pemberantasan korupsi.
Sisa waktu masa kerja DPR
yang kurang dari 100 hari tak cukup menjadi alasan untuk menunda revisi kedua
RUU ini sepanjang DPR dapat berkonsentrasi dalam pembahasannya. Bukankah draf
revisi RUU ini telah lama disiapkan oleh sejumlah tim ahli, baik dari unsur
pemerintah maupun DPR.
Agar kinerja dan anggaran
APBN yang dipergunakan dalam menyiapkan proses RUU ini tidak sia-sia, maka
revisi RUU ini perlu terus dilanjutkan. Untuk itu yang perlu dilakukan dalam
waktu dekat ini adalah kesediaan DPR dan presiden untuk lebih terbuka
menerima masukan, saran, dan kritik untuk memperbaiki sejumlah pasal dalam
RUU ini yang tak sensitif terhadap pemberantasan korupsi dan melemahkan
fungsi KPK.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar