“Kekerasan”
dalam Dunia Pendidikan
Niswatul
Khoiroh ; Peraih Beasiswa Monash Institute
untuk IAIN
Walisongo Semarang
|
HALUAN,
25 Februari 2014
Sampai detik ini, tidak banyak orang yang mengamati tentang
problema yang cukup serius dalam dunia pendidikan. Hal ini terkait dengan
terbitnya buku “Kekerasan Simbolik di Sekolah” karya Nanang Martono, yang
telah membuka mata kita, bahwa masih ada kekerasan yang dilakukan di sekolah,
baik oleh oknum dari dalam maupun oknum dari luar sekolah. Jika mendengar
kata kekerasan, otak akan langsung merekam bahwa itu adalah kekerasan secara
fisik, seperti yang masih sering terjadi di Indonesia pada saat ini.
Sejak dahulu, kekerasan selalu menjadi jalan utama untuk
menerapkan kedisiplinan pada anak. Di pesantren, sekolah, bahkan di rumah,
kekerasan seakan sudah dihalalkan. Sebagian hal itu memang dapat menimbulkan
efek jera pada sang anak. Namun, pada sebagian yang lain kekerasan malah
menjadi beban mental, gangguan psikis, ketakutan, bahkan trauma. Apalagi jika
itu diterapkan pada anak yang masih dalam tahap awal pembelajaran.
Pada realitanya kekerasan masih sering terjadi, khususnya dalam
dunia pendidikan. Di Indonesia
misalnya, siswa SD Islam Sudirman, Cijantung, Jakarta Timur, mengalami
tindakan kekerasan fisik dari gurunya. Mulutnya dilakban sampai luka-luka,
karena sering ramai di dalam kelas (28 November 2006). Siswi SMP 282 Jakarta
juga mendapatkan tindak kekerasan dari guru Bahasa Inggrisnya, ditampar
karena tidak mengerjakan tugas yang diberikan (Ramadhan, 2008).
Melihat rentetan kejadian di atas, dapat diartikan bahwa konsep
kekerasan yang dilakukan tidak lagi mengedepankan masalah kedisiplinan. Akan
tetapi lebih pada tekanan psikis pribadinya, yang merasa tindakan yang
dilakukan siswa tersebut telah menyinggung harga diri sang guru.
Seharusnya guru bisa bersikap lebih
dewasa dalam hal ini. Kekerasan fisik seperti itu hanya akan menimbulkan
dampak negatif.
Hal tersebut berbeda dengan kekerasan simbolik yang diungkap
Nanang Martono, dalam bukunya yang bersumber dari sebuah ide sosiologi
pendidikan, Pierre Bourdieu. Dalam
buku tersebut penulis menyimpulkan, bahwa kekerasan simbolik adalah kekerasan
yang hanya bersifat simbol, tidak secara nyata, berjalan perlahan, akan
tetapi implikasinya sangat mengena bagi psikologi anak didik atau murid.
Seperti pembagian kelas yang membedakan antara kelas favorit dan kelas yang
tidak favorit. Kelas favorit lebih diisi dengan siswa dari kalangan atas
(kaya), dan yang tidak favorit diisi dengan siswa dari kalangan bawah
(miskin).
Membedakan antara kelas atas dan kelas bawah, berarti secara
perlahan telah melakukan penindasan kepada si miskin. Dari keterbatasan
ekonomi, membuat siswa mandek sekolah. Akibatnya, otak yang seharusnya diasah
dan didesain untuk masa depan malah mengalami stagnasi, bahkan kemunduran
secara pola pikir. Anak yang seharusnya berprestasi terkalahkan oleh anak
dari kalangan “penikmat”.
Ditambah lagi dengan munculnya BSE (Buku Sekolah Elektronik),
yang terkhususkan untuk siswa SD. Kekerasan simbolik di sini terakses lebih
banyak dalam buku Bahasa Indonesia. Mata pelajaran Bahasa Indonesia di
tingkat Sekolah Dasar, merupakan mata pelajaran yang masih dalam tahap
pengenalan huruf, menyusun kata dan pembentukan kalimat dari benda-benda yang
ada di lingkungan sekitar sang anak.
Namun, BSE Bahasa Indonesia yang menunjang proses pembelajaran,
malah memuat bahasa dari orang kalangan atas (kaya), yang kebanyakan tidak
dikenal dan tidak terdapatkan di lingkungan anak dari kalangan bawah
(miskin). Seperti penyebutan nama papa, mama, eyang. Penyebutan pekerjaan
seperti dokter, pilot, pramugari. Penyebutan tempat liburan, pantai, Taman
Mini, Puncak, atau bahkan penggambaran denah rumah yang menggambarkan bentuk
garasi mobil, kulkas, mesin cuci. Siswa SD yang tidak pernah mengenal
kata-kata seperti itu sebelumnya, imajinasinya akan terpaksa berputar,
membayangkan apa-apa yang belum pernah ia lihat.
Masa kanak-kanak adalah masa pembentukan karakter juga penanaman
moral, respon dan daya ingatnya sangat dipengaruhi oleh lingkungan di
sekitarnya. Imajinasinya sangat luas berkait dengan apa yang diketahuinya.
Adanya BSE tentu tetap ada dampak positif dan negatifnya untuk sang anak.
Jika ia tidak dikenalkan dengan sesuatu yang tidak pernah diketahui sebelumnya,
maka ia akan tetap tidak tahu, atau akan tahu tapi dalam proses yang lama.
Akan tetapi, jika sang anak tetap dipaksa untuk menerima apa
yang sudah menjadi ketentuan, maka bisa jadi ia malah menganggap bahwa apa
yang ada di lingkungan sekitarnya adalah buruk, tidak termasuk dalam kualitas
pendidikan yang diajarkan di sekolahnya.
Pertama, keluargalah yang paling berperan penting dalam
pembentukan karakter dan pengetahuan pertama kali pada sang anak. Ke dua,
guru yang harus bisa mengarahkan imajinasi siswanya pada imajinasi yang dapat
diterima dan sesuai dengan kapasitasnya. Seberapa penting BSE itu terbit
tidak akan berpengaruh apapun pada siswa, jika tidak ada pengarahan dari sang
guru. Hanya sedikit saja dari siswa SD yang mau membaca sendiri buku sekolah
yang diterimanya, di sinilah peran guru sangat dibutuhkan.
Tidak hanya seorang guru yang pintar dan bisa menguasai
muridnya, akan tetapi lebih dibutuhkan akan guru yang benar-benar mempunyai
jiwa kecintaan pada pengabdian. Mampu menyamaratakan hak dan kewajiban atas
peserta didiknya. Waallahua’lam bil
assawab. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar