Rabu, 26 Februari 2014

“Kekerasan” dalam Dunia Pendidikan

“Kekerasan” dalam Dunia Pendidikan

Niswatul Khoiroh  ;   Peraih Beasiswa Monash Institute
untuk IAIN Walisongo Semarang
HALUAN,  25 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                                                                                       
Sampai detik ini, tidak banyak orang yang mengamati tentang problema yang cukup serius dalam dunia pendidikan. Hal ini terkait dengan terbitnya buku “Kekerasan Simbolik di Sekolah” karya Nanang Martono, yang telah membuka mata kita, bahwa masih ada kekerasan yang dilakukan di sekolah, baik oleh oknum dari dalam maupun oknum dari luar sekolah. Jika mendengar kata kekerasan, otak akan langsung merekam bahwa itu adalah kekerasan secara fisik, seperti yang masih sering terjadi di Indonesia pada saat ini.

Sejak dahulu, kekerasan selalu menjadi jalan utama untuk menerapkan kedisi­plinan pada anak. Di pesantren, sekolah, bahkan di rumah, kekerasan seakan sudah dihalalkan. Sebagian hal itu memang dapat menimbulkan efek jera pada sang anak. Namun, pada sebagian yang lain kekerasan malah menjadi beban mental, gangguan psikis, ketakutan, bahkan trauma. Apalagi jika itu diterapkan pada anak yang masih dalam tahap awal pembelajaran.

Pada realitanya kek­erasan masih sering terjadi, khususnya dalam dunia pendidikan.  Di Indonesia misalnya, siswa SD Islam Sudirman, Cijantung, Jakar­ta Timur, mengalami tinda­kan kekerasan fisik dari gurunya. Mulutnya dilakban sampai luka-luka, karena sering ramai di dalam kelas (28 November 2006). Siswi SMP 282 Jakarta juga mendapatkan tindak kekerasan dari guru Bahasa Inggrisnya, ditampar karena tidak mengerjakan tugas yang diberikan (Ramadhan, 2008).

Melihat rentetan kejadian di atas, dapat diartikan bahwa konsep kekerasan yang dilakukan tidak lagi mengedepankan masalah kedisiplinan. Akan tetapi lebih pada tekanan psikis pribadinya, yang merasa tindakan yang dilakukan siswa tersebut telah menyinggung harga diri sang guru. Seharusnya  guru bisa bersikap lebih dewasa dalam hal ini. Kekerasan fisik seperti itu hanya akan menimbulkan dampak negatif.

Hal tersebut berbeda dengan kekerasan simbolik yang diungkap Nanang Martono, dalam bukunya yang bersumber dari sebuah ide sosiologi pendidikan, Pierre  Bourdieu. Dalam buku tersebut penulis menyimpulkan, bahwa kekerasan simbolik adalah kekerasan yang hanya bersifat simbol, tidak secara nyata, berjalan perlahan, akan tetapi implikasinya sangat mengena bagi psiko­logi anak didik atau murid. Seperti pembagian kelas yang membedakan antara kelas favorit dan kelas yang tidak favorit. Kelas favorit lebih diisi dengan siswa dari kalangan atas (kaya), dan yang tidak favorit diisi dengan siswa dari kalangan bawah (miskin).

Membedakan antara kelas atas dan kelas bawah, berarti secara perlahan telah melakukan penindasan kepada si miskin. Dari keterbatasan ekonomi, membuat siswa mandek sekolah. Akibatnya, otak yang seharusnya diasah dan didesain untuk masa depan malah mengalami stagnasi, bahkan kemunduran secara pola pikir. Anak yang seharusnya berprestasi terkalahkan oleh anak dari kalangan “penikmat”.

Ditambah lagi dengan munculnya BSE (Buku Sekolah Elektronik), yang terkhususkan untuk siswa SD. Kekerasan simbolik di sini terakses lebih banyak dalam buku Bahasa In­donesia. Mata pelajaran Bahasa Indonesia di tingkat Sekolah Dasar, merupakan mata pelajaran yang masih dalam tahap pengenalan huruf, menyusun kata dan pembentukan kalimat dari benda-benda yang ada di lingkungan sekitar sang anak.

Namun, BSE Bahasa Indonesia yang menunjang proses pembelajaran, malah memuat bahasa dari orang kalangan atas (kaya), yang kebanyakan tidak dikenal dan tidak terdapatkan di lingkungan anak dari kala­ngan bawah (miskin). Seperti penyebutan nama papa, mama, eyang. Penyebutan pekerjaan seperti dokter, pilot, pramugari. Penyebutan tempat liburan, pantai, Taman Mini, Puncak, atau bahkan penggambaran denah rumah yang meng­gambarkan bentuk garasi mobil, kulkas, mesin cuci. Siswa SD yang tidak pernah mengenal kata-kata seperti itu sebelumnya, imajinasinya akan terpaksa berputar, membayangkan apa-apa yang belum pernah ia lihat.

Masa kanak-kanak adalah masa pembentukan karakter juga penanaman moral, respon dan daya ingatnya sangat dipengaruhi oleh lingkungan di sekitarnya. Imajinasinya sangat luas berkait dengan apa yang diketahuinya. Adanya BSE tentu tetap ada dampak positif dan nega­tifnya untuk sang anak. Jika ia tidak dikenalkan dengan sesuatu yang tidak pernah diketahui sebelumnya, maka ia akan tetap tidak tahu, atau akan tahu tapi dalam proses yang lama.

Akan tetapi, jika sang anak tetap dipaksa untuk menerima apa yang sudah menjadi ketentuan, maka bisa jadi ia malah menganggap bahwa apa yang ada di lingkungan sekitarnya adalah buruk, tidak termasuk dalam kualitas pendidikan yang diajarkan di sekolahnya.

Pertama, keluargalah yang paling berperan penting dalam pembentukan karakter dan pengetahuan pertama kali pada sang anak. Ke dua, guru yang harus bisa mengarahkan imajinasi siswanya pada imajinasi yang dapat diterima dan sesuai dengan kapasitasnya. Seberapa penting BSE itu terbit tidak akan berpengaruh apapun pada siswa, jika tidak ada pengarahan dari sang guru. Hanya sedikit saja dari siswa SD yang mau mem­baca sendiri buku sekolah yang diterimanya, di sinilah peran guru sangat dibutuhkan.

Tidak hanya seorang guru yang pintar dan bisa menguasai muridnya, akan tetapi lebih dibutuhkan akan guru yang benar-benar mempunyai jiwa kecintaan pada pengabdian. Mampu menyamaratakan hak dan kewajiban atas peserta didiknya. Waallahua’lam bil assawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar