Jebakan
Mitos Politik
Ribut
Lupiyanto ; Deputi Direktur C-Publica
(Center for
Public Capacity Acceleration) Yogyakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 27 Februari 2014
PEMILU 2014 akan menjadi
pemilu ke 11 sejak Indonesia berdiri. Jalan panjang yang telah dilalui
idealnya membawa perbaikan signifikan dari pemilu ke pemilu. Faktanya,
kualitas pemilu baik dari aspek prosedural dan substansial masih menapaki
jalan terjal.
Pemilu perdana 1955 layak
diapresiasi sebagai tonggak pertama Indonesia belajar demokrasi. Di tengah
situasi yang labil dan penuh konflik, pemilu berhasil mengikutsertakan 80
partai politik (parpol), organisasi massa, dan puluhan perorangan. Pemilu
selanjutnya di era Orde Baru dapat dikatakan sebagai fase pemilu tipu-tipu.
Rekayasa politik dilakukan sistematis untuk memenangkan mutlak Golongan Karya
(Golkar).
Era Reformasi membawa angin
segar bagi iklim demokrasi. Pemilu 1999 terlaksana dan diyakini sebagai
tonggak baru demokrasi Indonesia. Tercatat 48 parpol menjadi peserta dan
pemilu berlangsung lancar. Pemilu 2004 kembali memberikan catatan penting.
Dalam pemilu ini untuk pertama kalinya rakyat memilih langsung anggota
legislatif serta presiden dan wakil presiden. Catatan positif juga lahir pada
Pemilu 2009 dengan pemberlakuan sistem proporsional terbuka. Sayangnya, dari
segi partisipasi terus terjadi penurunan. Partisipasi Pemilu 1999 sebesar 92%
terus turun hingga pada Pemilu 2009 menjadi 71%.
Mitos
politik
Di balik
perubahan-perubahan positif, ritual elektoral masih terus memegang erat
mitos-mitos politik. Mitos politik umumnya muncul sebagai produk politik
tradisional. Menurut Karen Armstrong, mitos memiliki fungsi khusus, yaitu
menjelaskan sesuatu yg belum mampu disentuh oleh logos (nalar, akal). Dalam
perjalanan waktu, mitos mengalami komodifikasi, yakni dirancang sebagai
komoditas guna memenuhi berbagai jenis tujuan (Endibiaro, 2014). Komodifikasi paling mutakhir ialah hadirnya
mitos politik.
Arianto (2014) memaparkan
bahwa kultur politik modern terbukti masih memberikan ruang lebar bagi
terciptanya legitimasi mitologis. Banyak bentuk mitos politik yang terus
dilestarikan dan dihembuskan ke publik demi merengkuh kemenangan mudah dengan
nalar pendek.
Pertama, mitos asumsi
massa. Massa yang terlihat berkerumun banyak akan menjadi kebanggaan dan
senjata unjuk kekuatan (show of force)
dari parpol. Model pengerahan massa menjadi aksi andalan yang diyakini bisa
membuktikan kekuatan hingga memengaruhi pilihan. Praktiknya tidak jarang yang
mengabaikan kualitas massanya. Massa berbayar menjadi fenomena lazim
menangkap peluang mitos politik ini. Implikasinya massa tersebut hanyalah
fatamorgana, bahkan tidak sedikit yang menimbulkan antipati lantaran tingkah
polah massa yang susah terkendali.
Kedua, mitos popularitas.
Popularitas memang menjadi jalan pembuka bagi elektabilitas. Sayangnya parpol
memilih cara instan dan segala upaya demi mendapatkan personel populer. Caleg
artis dan figur publik melalui rekrutmen umum menjadi andalan. Dampaknya
kaderisasi mati dan ideologisasi tidak terjadi. Populari tas juga sekuat tenaga
digapai dengan praktik praktik politik pencitraan. Dinamika figur dijual
melalui rekayasa seolah olah. Media menjadi senjata memuluskan jual citra
ini.
Ketiga, mitos modal. Biaya
selalu menjadi dilema dalam praktik berpolitik di Indonesia. Pemilu tidak
dimungkiri membutuhkan finansial tidak sedikit. Beragam cara pun dilakukan
parpol demi mempertebal kantongnya. Artis dan pengusaha menjadi incaran untuk
mengisi jabatan struktural atau caleg. Perselingkuhan politik dengan
pengusaha juga kerap terjadi melalui segenap janji imbalan pascakemenangan. Hal
itu semakin runyam dengan semakin mengguritanya politik uang. Siapa bermodal
tinggi diyakini akan memenangi kompetisi. Kampanye sering menjadi ajang adu
modal bukan adu gagasan.
Keempat, mitos putra lokal.
Putra lokal tidak bisa dimungkiri memi liki basis sosiologis lebih kuat.
Kemampuan penguasaaan teritori pun akan lebih baik dari pada orang luar. Ako
modasi terhadap putra lokal menjadi iklim positif bagi pem bangunan daerah.
Konsekuensinya, kualitas personel juga menjadi prioritas pemenuhan. Sayangnya
yang terjadi putra lokal sering dimanfaatkan sekadar menjadi pendulang suara
(vote getter). Jika menang, kualitasnya
pun pas-pasan karena tanpa dipersiapkan. Dalam suasana demografis yang
dinamis seperti sekarang, kehadiran putra lokal mestinya tidak menjadi
prioritas utama. Prioritas pentingnya ialah berbasis kualitas personel.
Kelima, mitos calon
presiden (capres) Jawa. Sejarah memang menunjukkan belum ada presiden yang
terpilih berasal dari suku non-Jawa. Habibie bisa menjadi presiden hanyalah
kecelakaan sejarah yang berbau keberuntungan. Mitos politik penduduk Jawa
digiring bahwa presiden ditempatkan sakral seperti raja. Konsekuensinya,
presiden dari suku Jawa seolah menjadi keniscayaan bagi keyakinan mitologi
penduduk Jawa. Hal ini didukung oleh dominasi suara rakyat Jawa. Sensus
penduduk 2010 menunjukkan bahwa Jawa yang luasnya hanya 6,8% dihuni oleh
57,5% penduduk Indonesia. Angka ini belum ditambah penduduk suku Jawa yang
tinggal di luar Pulau Jawa. Mitos ini pelanpelan mulai dilawan oleh parpol
sendiri mengingat ketersediaan sumber daya manusia dari luar suku Jawa yang
tidak sedikit dan tidak kalah berkualitas. Misalnya Partai Golkar yang pernah
mengusung Jusuf Kalla dan kini Aburizal Bakrie, PKB memunculkan capres Jusuf
Kalla, PKS menominasikan capres Anis Matta, dan PAN mencapreskan Hatta
Rajasa.
Melawan
jebakan
Mitos politik di atas
awalnya dipelihara sebagai bagian rekayasa politik menggiring pilihan publik.
Seiring perkembangan waktu dan peningkatan modernitas demokrasi, mitos-mitos
tersebut semakin terasa justru menjebak bahkan berpotensi menjadi bumerang.
Mitos politik juga masih menjadi batu sandungan bagi modernisasi kualitas
demokrasi. Akibat mitologi, nalar kritis dan kompetisi berkualitas menjadi
jauh dari gelaran hajatan pemilu. Semakin luas dampaknya karena terdukung
oleh situasi di mana publik mulai jenuh, galau, dan mengarah ke apati berpolitik.
Akhirnya, sebagian pemain politik terus memainkan mitos sebagai cara yang
paling mudah dalam merengkuh pengaruh.
Mitos politik semakin
runyam dan jauh dari nalar rasional dengan munculnya praktik perdukunan
politik, penokohan ratu adil, ramalan pujangga, dan lainnya. Wajah Pemilu
2014 diprediksi masih akan tetap kusam akibat mitos politik.
Jebakan mitos politik
saatnya dilawan dengan pendidikan politik. Parpol bertanggung jawab melakukan
pendidikan internal bagi caleg, pengurus, dan kadernya. Penyelenggara pemilu
berkewajiban memberikan sosialisasi publik terkait regulasi yang tidak
mengakomodasi mitos. Akademisi, LSM, dan pihak lainnya juga dituntut perannya
dalam mencerahkan publik demi penguatan kualitas demokrasi. Mitos
politik pelan tapi pasti mesti diganti oleh penilaian politik berbasis
kualitas. Personel dan institusi diukur dengan profesionalismenya serta
kompetisi diukur dengan visi dan misinya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar