Kedaulatan
Pangan Makin Jauh
Posman
Sibuea ; Guru Besar Tetap Jurusan Teknologi Hasil
Pertanian
Unika Santo
Thomas Medan
|
KORAN
JAKARTA, 25 Februari 2014
Praktik impor beras secara ilegal yang terungkap baru-baru ini
mengindikasikan pemerintah telah gagal merevitalisasi pertanian.
Implikasinya, kedaulatan pangan sebagai buah revitalisasi
pertanian seperti yang diamanatkan UU No 18 Tahun 2012 tentang Pangan belum
terwujud. Kedaulatan pangan disebutkan sebagai kemandirian untuk menentukan
kebijakan pangan sesuai dengan potensi sumber daya lokal.
Kedaulatan pangan kini tercederai dan semakin jauh dari
jangkauan bangsa dengan masuknya beras impor asal Vietnam. Pemerintah selalu
"bernyanyi" tentang keberhasilan program pembangunan pertanian
pangan dengan produksi beras meningkat setiap tahun. Bahkan produksi gabah
kering giling (GKG) dipacu ke angka 76,57 juta ton pada tahun 2014 untuk
pencapaian surplus 10 juta ton beras.
Peningkatan ini terkesan hanya sebatas wacana politik kampanye
menjelang Pemilu 2014. Niat yang seakan-akan berpihak pada peningkatan
kesejahteraan petani ini cenderung ambisius di tengah alih fungsi lahan yang
kian cepat dan masuknya beras impor secara ilegal.
Pembangunan ketahanan pangan yang mandiri dan berdaulat masih
dilakukan setengah hati. Program dan gerakan revitalisasi pertanian hanya
kuat di atas kertas namun lemah di implementasi. Sudah 10 tahun pemerintahan
SBY menggulirkan program revitalisasi pertanian, perikanan, dan perkebunan
supaya negara agraris ini dapat memutus mata rantai pangan impor.
Kenyataannya lain. Revitalisasi yang dilakukan dengan tujuan
akhir menyejahterakan petani justru makin meminggirkan petani.
Kian Lemah
Sektor pertanian harus menyediakan beras dengan harga murah guna
mengamankan variabel-variabel makro (inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan
kemiskinan).
Pertanian juga dituntut mendukung sektor industri dengan
menyediakan bahan baku murah bagi para pekerja di kota. Sementara keseriusan
pemerintah membangun pertanian yang berdaya saing tinggi untuk mengawal
kedaulatan pangan semakin lama semakin lemah.
Revitalisasi pertanian yang digulirkan Presiden SBY pada tahun
2005 untuk menciptakan kemandirian pangan yang kuat dan meningkatkan
kesejahteraan petani kini roh dan semangatnya terasa kian jauh. Indonesia
yang berada di ambang krisis pangan membuat bangsa prihatin dan miris.
Padahal pemerintah negara maju amat melindungi petaninya. Mereka
menyadari persoalan kebutuhan dasar ini tidak boleh bergantung pada negara
lain sehingga sektor pertaniannya disubsidi dalam jumlah luar biasa besar
untuk meningkatkan produksi pangan dan terjadi surplus produksi.
Kelebihan pangan memungkinkan mereka menjual di bawah harga
dasar ke negara-negara berkembang. Itulah yang mengganggu pasar.
Namun, yang membuat para pengamat ketahanan pangan di negeri ini
takjub adalah produksi beras menurut versi pemerintah selalu di atas
kebutuhan konsumsi dan surplus.
Seperti halnya produksi gabah 2013 yang mencapai 70,87 juta ton
GKG, meningkat 2,62 persen dibanding tahun 2012. Peningkatan produksi yang
siginifikan ini seakan-akan mengabaikan sejumlah kendala yang menghambat
peningkatan produksi beras.
Harga pupuk yang kian mahal, meningkatnya laju konversi lahan
pertanian, dan buruknya penyediaan benih unggul sudah pasti bermuara pada
produktivitas padi yang kian melandai.
Lahan pertanian pangan kian menyempit dengan laju tahunan
konversi yang mencapai rata-rata sekitar 100.000 hektare. Tanpa diikuti
pencetakan sawah baru di luar Jawa, sulit meningkatkan produksi padi
signifikan.
Upaya pemerintah kabupaten meningkatkan pendapatan asli daerah
di tengah hiruk-pikuk pelaksanaan otonomi menetaskan pencapaian kedaulatan
pangan yang semakin kehilangan arah.
Lahan sawah irigasi yang subur kini beralih fungsi menjadi
kawasan non pertanian pangan. Ini menjadi ancaman serius pencapaian ketahanan
pangan yang mandiri dan berdaulat. Pencapaian surplus 10 juta ton beras di
tahun 2014 semakin jauh dari harapan.
Kalah
Pola konsumsi masyarakat yang masih berpusat pada beras memaksa
pemerintah menutup defisit beras dengan membuka keran impor yang justru
memukul harga beras produk domestik.
Petani yang sudah lama menjadi objek pembangunan kembali
mengalami hidup di bawah bayang-bayang kemelaratan. Mereka bahkan semakin
terpuruk dalam kesengsaraan karena terus merugi. Harga produk pangan domestik
kalah bersaing dengan impor. Belum lagi aksi penyelundupan beras impor yang
merajalela.
Patut disadasri, karakteristik pasar beras global sangat tipis.
Volume beras yang diperdagangkan hanya sekitar 4 persen dari total produksi
global.
Dengan jumlah penduduk besar dan sekitar 60 persen dari mereka
membelanjakan pendapatannya sejumlah 25 persen untuk beras, sangatlah
berbahaya jika Indonesia mengandalkan pasokan beras dari pasar internasional.
Jila angka produksi GKG tahun 2013 bisa dipercaya sebanyak 70,87
juta ton, kebutuhan konsumsi sebesar 34 juta ton beras sudah mencukupi.
Bahkan Indonesia surplus beras yang bisa digunakan sebagai stok nasional di
gudang Bulog.
Lantas, mengapa pemerintah masih mengimpor beras? Impor terjadi
akibat gurihnya rente yang dinikmati para importir yang pada gilirannya
memukul petani.
Pemerintah sepatutnya melarang sementara impor beras untuk
mencegah anjloknya harga bahan makanan pokok ini. Apabila kebijakan itu bisa
diimplementasikan pada tahun 2014, patut diacungi jempol sebagai propetani!
Sudah bukan rahasia, urusan logistik beras yang sebagian
dipenuhi dengan cara mengimpor menjadi lahan empuk untuk meraup uang (fund
rising) di tahun politik.
Indonesia sudah lama masuk perangkap pangan impor karena
perilaku semacam ini. Ditambah dengan kesepakatan yang menguntungkan antara
importir dan oknum pejabat yang bermain di belakangnya menjadikan
"tradisi impor" seakan-akan legal sebagai pilihan tepat daripada
memproduksi beras dari dalam negeri.
Terciptalah lingkaran setan penyediaan beras nasional. Impor
dihentikan, defisit beras otomatis terjadi. Impor beras dilakukan dapat
membunuh hidup dan kehidupan petani kecil, yang pada gilirannya mendorong
stagnan proses produksi perberasan dalam negeri.
Namun, jika pemerintah masih mempertahankan kebijakan lama
mengimpor beras dalam jumlah besar, jangka panjangnya menyimpan bom waktu.
Pemerintah harus mengakhiri politik beras guna mengatasi
kemiskinan dengan mengatur tata niaganya. Dengan begitu, harganya tetap
rendah. Pemerintah sesungguhnya menekan petani secara tidak adil. Meski para
pemimpin silih berganti yang menjanjikan pembangunan pertanian dengan
berbagai istilah dan program, masalah beras tidak ada akhirnya.
Presiden SBY yang melontarkan gagasan revitalisasi pertanian,
misalnya, sampai sekarang belum terlihat jelas bidang yang sedang dan telah
direvitalisasi.
Pemerintah patut belajar dari Thailand dan Korsel yang
menyubsidi petaninya secara besar-besaran guna mendorong pembangunan
pertanian berkelanjutan. Sudah saatnya memperluas diversifikasi produk pangan
olahan untuk mengawal penguatan kedaulatan guna memutus mata rantai impor
beras sekaligus mengakhiri politik beras murah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar