Rabu, 05 Februari 2014

Refleksi Hari Jilbab Sedunia

Refleksi Hari Jilbab Sedunia

Ribut Lupiyanto  ;   Peneliti di UII-Yogyakarta, Deputi Direktur C-PubliCA
(Center for Public Capacity Acceleration)
HALUAN,  04 Februari 2014

                                                                                         
                                                      
Gerakan World Hijab Day telah sukses mengan­tarkan 1 Februari diakui sebagai Hari Jilbab Sedunia. Gerakan ini dipe­lopori oleh Nazma Khan, seorang gadis Muslim berke­bangsaan Amerika Serikat (AS). Sebanyak 1 juta orang dari sekitar 116 negara, terdiri dari muslimah dan wanita non muslim berga­bung dalam Hari Jilbab Sedunia. Khan pun melun­curkan poster edukasi ten­tang jilbab yang diterje­mah­kan ke dalam 40 baha­sa.

Kebebasan penggunaan jilbab di Indonesia sendiri sudah memasuki iklim positif dan kondusif. Sayang­nya masih dijumpai kasus-kasus kecil yang mencederai toleransi berjilbab. Pada tahun 2013 heboh polemik jilbab polwan dan jilbab siswi sekolah di Bali.

Kasus terakhir mence­derai institusi pendidikan yang digadang-gadang men­ja­di tempat yang ramah bagi penerapan multi­kultu­ralis­me. Tim Advokasi Pem­belaan Hak Pelajar Muslim Bali menemukan beberapa sekolah negeri yang mela­kukan pelarangan antara lain SMAN 1 Kuta Utara, SMAN 1 Kuta Selatan, SMAN 1 Singaraja, SMAN 2 Denpasar, SMPN 1 Kuta Selatan, SMPN 1 Singaraja, SMPN 3 Singaraja, dan SMPN 3 Kuta Selatan.

Beberapa sekolah mela­rang pemakaian jilbab bagi siswi secara eksplisit dan sebagian besar berupa pela­rangan lisan tetapi masif. Kebijakan oknum sekolah ini jika dibiarkan tentu berpotensi terjadinya kerenggangan kerukunan umat beragama hingga konflik sosial. Kejadian ini juga menjadi tamparan bagi pemerintah lantaran banyak terjadi di sekolah negeri. Sedangkan Presiden SBY baru saja menca­nang­kan Hari Kerukunan Na­sional pada tanggal 3 Januari 2014 silam.

Multikulturalisme Pen­didikan

Jilbab bagi sebagian besar muslimah bukan sekadar simbol agama, namun bagian syariat se­perti salat. Ma­yoritas ulama me­ne­tapkan peng­gunaan jilbab ada­lah wajib bagi mus­­limah baligh. Sebagian kecil menyebut sunnah  dan  mubah. Perbedaan ini meru­pakan wilayah internal Islam yang mutlak dihargai dan dilin­dungi oleh Hak Asasi Ma­nusia (HAM).

Penggunaan jilbab selain bagian HAM juga dilin­dungi konstitusi pasal 28E ayat 1. Terdapat dua pengelom­pokan hak asasi manusia, yaitu derogable rights dan non-derogable rights (Iqna, 2013). Dero­gable rights merupakan hak-hak yang boleh diku­rangi atau dibatasi peme­nuhannya oleh negara. Hak-hak yang termasuk dalam jenis ini adalah hak atas kebebasan berkumpul secara damai, hak atas kebebasan berserikat, dan hak atas kebebasan menya­takan pendapat. Semen­tara non-derogable rights adalah hak-hak yang bersifat absolut yang tidak boleh dikurang-kurangi peme­nuhannya oleh negara. Hak-hak yang termasuk dalam jenis ini telah dirumuskan dalam UUD 1945 pasal 28 I ayat (1) yang salah sa­tunya menye­but hak ber­agama. Peng­gunaan jilbab termasuk dala­m hak ber­agama dan berkategori non-derogable rights dimana negara tidak boleh mengu­rangi peme­nuhannya.

Pelarangan pemakaian jilbab bagi siswi ber­tenta­ngan dengan Pan­casila, baik sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa dan sila kedua Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Pela­rangan jilbab juga berten­tangan dengan prin­sip Bhi­n­­neka Tung­­gal Ika, salah satu dari empat pilar kebangsaan-kenegaraan Indonesia. Prinsip ini dalam wacana kontem­porer sering disebut sebagai ‘multikul­turalisme’, yang sederha­nanya adalah ‘politics of recognition’, politik penga­kuan terhadap keraga­man, termasuk dalam hal agama (Azra, 2013).

Penggunaan jilbab sama sekali tidak ditemukan unsur negatifnya. Pelara­ngan penggunaan jilbab dengan demikian tidak dapat dite­rima atas alasan apa­pun. Jilbab sekarang justru menjadi mode dan gaya hidup baru, baik bagi ibu-ibu maupun muslimah muda.

Penggunaan jilbab telah membudaya dan memasuki seluruh ruang interaksi, mulai dari arisan, resepsi, hingga mal dan kafe. Mayo­ritas masyarakat meni­lai penggunaan jilbab akan meningkatkan aura perem­puan menjadi lebih santun, humanis, dan relijius.
Budaya dan kesadaran masif berjilbab menjadi kabar baik bagi upaya menekan kekerasan terhadap perempuan. Komnas Perem­puan melaporkan selama tahun 2013 terjadi 295.836 kasus kekerasan terhadap perempuan, dima­na 91.311 diantaranya merupakan kasus-kasus kekerasan seksual. Jilbab memang bukan menjadi jaminan bebas total dari kekerasan atau pelecegan namun signifikan me­mini­malisasi.

Revisi Kebijakan

Apresiasi patut dibe­rikan kepada Kemen­terian Pen­didikan dan Kebud­ayaan serta Kementerian Agama yang be­reak­si cepat terkait kasus pelarangan jilbab di Bali. Re­ak­­si tersebut diha­rap­kan segera ditindaklan­juti secara nyata di lapangan. Pihak sekolah masih belum merasa bersalah dan berargumen semua berda­sarkan aturan sekolah atau kekurang­tahuan mengenai jilbab. Hal ini sebenarnya tidak akan terjadi jika pengawasan Dinas Pendi­dikan setempat optimal. Langkah cepat dari berbagai pihak diperlukan demi perbaikan kebijakan dan meredam keresahan sosial.

Pertama, Kemendikbud melalui Dinas Pendidikan setempat perlu segera melakukan pemanggilan kepada semua sekolah. Investigasi dan klarifikasi penting dilakukan secara bijak. Sekolah yang melanggar aturan layak dikenai sanksi. Oknum sekolah yang mela­rang secara lisan juga mesti diberi sanksi sesuai pera­turan. Institusi pendi­dikan perlu meningkatkan citra sebagai bagian terdepan dalam penegakan HAM dan kerukunan beragama.

Kedua, pihak sekolah penting segera mencabut dan merevisi aturan sekolah tentang pelarangan berjilbab. Permohonan maaf terbuka tidak ada salahnya dila­kukan demi menciptakan suasana kondusif. Setiap peraturan yang selanjutnya disusun mesti dikon­sulta­sikan kepada Dinas Pen­didikan dan pihak terkait.

Ketiga, Majelis Ulama Indonesia dan ormas ke­agamaan penting selalu mengutamakan kerukunan antar umat beragama. Ormas dan lembaga ini perlu me­redam tindakan elemen muslim agar tetap berada pada koridor keru­kunan. Sebaliknya dialog dengan mayoritas Hindu juga diperlukan untuk mendapatkan jaminan toler­ansi dan perlindungan.

Pelarangan jilbab di se­kolah meskipun di daerah minoritas merupakan para­doks bagi negara plural seperti Indonesia. Indonesia memang bukan negara agama, tetapi juga bukan negara sekuler apalagi yang tidak bersahabat pada agama  (religiously unfriendly secularism), semisal Perancis atau Turki. Turki di bawah kepemimpinan Erdogan belakangan pelan tapi pasti mulai menganulir kebijakan pelarangan peng­gunaan simbol agama di ranah kenegaraan.

Kemendikbud dapat bela­jar dari kasus di Bali ini guna mengecek di semua sekolah, khususnya daerah minoritas muslim. Hal yang sama terkait diskriminasi non muslim juga harus dihapuskan. Diskriminasi apapun dan kepada siapapun tidak bisa dibenarkan tum­buh di negara ini, apalagi di institusi pendidikan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar