Refleksi
Hari Jilbab Sedunia
Ribut Lupiyanto ; Peneliti di UII-Yogyakarta, Deputi
Direktur C-PubliCA
(Center
for Public Capacity Acceleration)
|
HALUAN,
04 Februari 2014
Gerakan World Hijab Day telah sukses mengantarkan
1 Februari diakui sebagai Hari Jilbab Sedunia. Gerakan ini
dipelopori oleh Nazma Khan, seorang gadis Muslim berkebangsaan Amerika
Serikat (AS). Sebanyak 1 juta orang dari sekitar 116 negara, terdiri dari
muslimah dan wanita non muslim bergabung dalam Hari Jilbab Sedunia. Khan pun
meluncurkan poster edukasi tentang jilbab yang diterjemahkan ke dalam 40
bahasa.
Kebebasan penggunaan jilbab di
Indonesia sendiri sudah memasuki iklim positif dan kondusif. Sayangnya masih
dijumpai kasus-kasus kecil yang mencederai toleransi berjilbab. Pada tahun
2013 heboh polemik jilbab polwan dan jilbab siswi sekolah di Bali.
Kasus terakhir mencederai
institusi pendidikan yang digadang-gadang menjadi tempat yang ramah bagi
penerapan multikulturalisme. Tim Advokasi Pembelaan Hak Pelajar Muslim
Bali menemukan beberapa sekolah negeri yang melakukan pelarangan antara lain
SMAN 1 Kuta Utara, SMAN 1 Kuta Selatan, SMAN 1 Singaraja, SMAN 2 Denpasar,
SMPN 1 Kuta Selatan, SMPN 1 Singaraja, SMPN 3 Singaraja, dan SMPN 3 Kuta
Selatan.
Beberapa sekolah melarang
pemakaian jilbab bagi siswi secara eksplisit dan sebagian besar berupa pelarangan
lisan tetapi masif. Kebijakan oknum sekolah ini jika dibiarkan tentu
berpotensi terjadinya kerenggangan kerukunan umat beragama hingga konflik
sosial. Kejadian ini juga menjadi tamparan bagi pemerintah lantaran banyak
terjadi di sekolah negeri. Sedangkan Presiden SBY baru saja mencanangkan
Hari Kerukunan Nasional pada tanggal 3 Januari 2014 silam.
Multikulturalisme Pendidikan
Jilbab bagi sebagian besar
muslimah bukan sekadar simbol agama, namun bagian syariat seperti salat. Mayoritas
ulama menetapkan penggunaan jilbab adalah wajib bagi muslimah baligh. Sebagian kecil menyebut sunnah dan mubah. Perbedaan ini merupakan wilayah internal Islam yang mutlak
dihargai dan dilindungi oleh Hak Asasi Manusia (HAM).
Penggunaan jilbab selain bagian
HAM juga dilindungi konstitusi pasal 28E ayat 1. Terdapat dua pengelompokan
hak asasi manusia, yaitu derogable rights dan non-derogable
rights (Iqna, 2013). Derogable rights merupakan hak-hak yang
boleh dikurangi atau dibatasi pemenuhannya oleh negara. Hak-hak yang
termasuk dalam jenis ini adalah hak atas kebebasan berkumpul secara damai,
hak atas kebebasan berserikat, dan hak atas kebebasan menyatakan pendapat.
Sementara non-derogable rights adalah hak-hak yang bersifat absolut yang tidak boleh
dikurang-kurangi pemenuhannya oleh negara. Hak-hak yang termasuk dalam jenis
ini telah dirumuskan dalam UUD 1945 pasal 28 I ayat (1) yang salah satunya
menyebut hak beragama. Penggunaan jilbab termasuk dalam hak beragama dan
berkategori non-derogable rights dimana negara tidak boleh mengurangi pemenuhannya.
Pelarangan pemakaian jilbab bagi
siswi bertentangan dengan Pancasila, baik sila pertama Ketuhanan Yang Maha
Esa dan sila kedua Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Pelarangan jilbab juga
bertentangan dengan prinsip Bhinneka Tunggal Ika, salah satu dari
empat pilar kebangsaan-kenegaraan Indonesia. Prinsip ini dalam wacana kontemporer
sering disebut sebagai ‘multikulturalisme’, yang sederhananya adalah ‘politics of recognition’, politik
pengakuan terhadap keragaman, termasuk dalam hal agama (Azra, 2013).
Penggunaan jilbab sama sekali
tidak ditemukan unsur negatifnya. Pelarangan penggunaan jilbab dengan
demikian tidak dapat diterima atas alasan apapun. Jilbab sekarang justru
menjadi mode dan gaya hidup baru, baik bagi ibu-ibu maupun muslimah muda.
Penggunaan jilbab telah membudaya
dan memasuki seluruh ruang interaksi, mulai dari arisan, resepsi, hingga mal
dan kafe. Mayoritas masyarakat menilai penggunaan jilbab akan meningkatkan
aura perempuan menjadi lebih santun, humanis, dan relijius.
Budaya dan kesadaran masif
berjilbab menjadi kabar baik bagi upaya menekan kekerasan terhadap perempuan.
Komnas Perempuan melaporkan selama tahun 2013 terjadi 295.836 kasus
kekerasan terhadap perempuan, dimana 91.311 diantaranya merupakan
kasus-kasus kekerasan seksual. Jilbab memang bukan menjadi jaminan bebas
total dari kekerasan atau pelecegan namun signifikan meminimalisasi.
Revisi Kebijakan
Apresiasi patut diberikan
kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementerian Agama yang
bereaksi cepat terkait kasus pelarangan jilbab di Bali. Reaksi tersebut
diharapkan segera ditindaklanjuti secara nyata di lapangan. Pihak sekolah
masih belum merasa bersalah dan berargumen semua berdasarkan aturan sekolah
atau kekurangtahuan mengenai jilbab. Hal ini sebenarnya tidak akan terjadi
jika pengawasan Dinas Pendidikan setempat optimal. Langkah cepat dari
berbagai pihak diperlukan demi perbaikan kebijakan dan meredam keresahan
sosial.
Pertama, Kemendikbud melalui
Dinas Pendidikan setempat perlu segera melakukan pemanggilan kepada semua
sekolah. Investigasi dan klarifikasi penting dilakukan secara bijak. Sekolah
yang melanggar aturan layak dikenai sanksi. Oknum sekolah yang melarang
secara lisan juga mesti diberi sanksi sesuai peraturan. Institusi pendidikan
perlu meningkatkan citra sebagai bagian terdepan dalam penegakan HAM dan
kerukunan beragama.
Kedua, pihak sekolah penting
segera mencabut dan merevisi aturan sekolah tentang pelarangan berjilbab.
Permohonan maaf terbuka tidak ada salahnya dilakukan demi menciptakan suasana
kondusif. Setiap peraturan yang selanjutnya disusun mesti dikonsultasikan
kepada Dinas Pendidikan dan pihak terkait.
Ketiga, Majelis Ulama Indonesia
dan ormas keagamaan penting selalu mengutamakan kerukunan antar umat
beragama. Ormas dan lembaga ini perlu meredam tindakan elemen muslim agar
tetap berada pada koridor kerukunan. Sebaliknya dialog dengan mayoritas
Hindu juga diperlukan untuk mendapatkan jaminan toleransi dan perlindungan.
Pelarangan jilbab di sekolah
meskipun di daerah minoritas merupakan paradoks bagi negara plural seperti
Indonesia. Indonesia memang bukan negara agama, tetapi juga bukan negara
sekuler apalagi yang tidak bersahabat pada agama (religiously
unfriendly secularism), semisal Perancis atau
Turki. Turki di bawah kepemimpinan Erdogan belakangan pelan tapi pasti mulai
menganulir kebijakan pelarangan penggunaan simbol agama di ranah kenegaraan.
Kemendikbud dapat belajar dari
kasus di Bali ini guna mengecek di semua sekolah, khususnya daerah minoritas
muslim. Hal yang sama terkait diskriminasi non muslim juga harus dihapuskan.
Diskriminasi apapun dan kepada siapapun tidak bisa dibenarkan tumbuh di
negara ini, apalagi di institusi pendidikan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar